Konten dari Pengguna

Pemerataan Akses Perpustakaan Sekolah Dasar dalam Upaya Membangun Budaya Baca

Widya Pandhega
Mahasiswi S1 Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada.
16 Juni 2024 13:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Widya Pandhega tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perpustakaan (Grhatama Pustaka DIY), Foto oleh: Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perpustakaan (Grhatama Pustaka DIY), Foto oleh: Penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Reading as Thinking and Reading as Reasoning”, ungkapan tersebut dikemukakan oleh Edward Lee Thorndike seorang tokoh Psikologi Pendidikan Modern. Berdasarkan ungkapan tersebut, membaca tidak hanya sekadar kegiatan biasa, melainkan sebuah proses belajar yang bermanfaat bagi seorang individu untuk menambah wawasan, berpikir kritis, dan berpikir analitis. Sangat disayangkan, minat baca di Indonesia tergolong ke dalam kategori rendah, Indonesia menempati peringkat 10 terbawah dalam kategori literasi membaca pada PISA 2022. Persoalan ini menjadi perhatian dan tantangan bagi pemerintah serta masyarakat karena minat baca merupakan indikator penting dalam mendorong kualitas pendidikan di Indonesia. Rendahnya minat baca di Indonesia disebabkan belum terbentuknya budaya membaca sedari usia dini. Mengapa budaya baca di Indonesia kurang terbentuk? akses terhadap perpustakaan dan buku menjadi salah satu indikator tidak terbentuknya budaya baca di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Persoalan mengenai terbatasnya akses perpustakaan ditunjukkan dengan tidak meratanya perpustakaan khususunya pada daerah terpencil. Akses perpustakaan tak merata di seluruh daerah di Indonesia menjadi salah satu indikator tingkat minat baca. Contohnya, data yang dirilis kominfo pada 2021 mengenai indeks literasi digital menunjukkan bahwa Provinsi DIY memimpin dengan skor literasi tertinggi, sementara Provinsi Maluku Utara menempati provinsi terakhir dengan skor literasi terendah (Rizki et al., 2021). Jika melakukan perbandingan antar kedua provinsi tersebut, fasilitas perpustakaan yang dimiliki memang tidak sama. Berdasarkan data yang diambil melalui data.perpusnas.go.id, Provinsi DIY memiliki sejumlah 449 perpustakaan umum (di luar perpustakaan sekolah), sementara Provinsi Maluku Utara hanya memiliki 119 perpustakaan umum. Data menunjukkan tidak meratanya akses terhadap perpustakaan, sehingga menyebabkan terdapat daerah yang tidak mendapatkan akses terhadap perpustakaan dan bahan bacaan. Variasi koleksi bahan bacaan yang dimiliki perpustakaan tampaknya juga menjadi indikator tingkat literasi.
ADVERTISEMENT
Sekolah yang menjadi ‘tempat’ pertama seorang individu belajar seharusnya menyediakan koleksi yang lengkap dan bervariasi. Namun, sering ditemui koleksi buku di perpustakaan sekolah hanya terbatas pada buku pelajaran saja, sehingga minat baca siswa kurang terbentuk. Dalam mengatasi persoalan ini, pemerintah menginisiasi digitalisasi perpustakaan dalam aplikasi iPusnas. Langkah ini baik untuk membuka akses seluas-luasnya tanpa terbatas oleh daerah tertentu. Namun, perlu dikaji ulang apakah langkah ini sesuai untuk pembentukan budaya baca yang memiliki target siswa pada Sekolah Dasar? Mengingat bahwa digitalisasi membutuhkan perangkat gawai, padahal di beberapa sekolah di daerah memiliki keterbatasan sarana dan prasarana. Penggunaan perangkat gawai yang belum tentu dikuasai oleh seluruh siswa juga menjadi salah satu alasan kurang tepatnya digitalisasi perpustakaan untuk siswa. Solusi digitalisasi ini tepat dilakukan untuk meningkatkan literasi pada rentang umur yang lebih tinggi, tidak untuk siswa sekolah dasar. Maka, untuk membangun budaya baca pada usia dini perlu ada kesadaran dari sekolah, pemerataan akses perpustakaan, serta menambah koleksi bacaan pada perpustakaan di sekolah-sekolah dasar.
ADVERTISEMENT