Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Kartini di Rumah Kita: Ibu sebagai Sekolah Pertama Bangsa
21 April 2025 9:55 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Widya Rizky Pratiwi (MPBI Universitas Terbuka) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap peringatan Hari Kartini menghadirkan kembali semangat perubahan dan perjuangan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak dasarnya, terutama dalam hal pendidikan. Namun, di balik narasi besar tentang emansipasi, terdapat satu peran perempuan yang kerap luput dari sorotan: sebagai sumber pendidikan pertama dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
Di tengah derasnya arus perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi, perempuan tetap menjadi penjaga nilai, penjaga moralitas, dan pembentuk karakter anak-anak sejak hari pertama kehidupan mereka. Mari kita telusuri jejak pemikiran Kartini tentang pendidikan dalam konteks keluarga, serta tantangan sekaligus potensi besar yang diemban oleh Kartini masa kini dalam mendidik generasi bangsa dari rumah, terutama di era digital seperti saat ini.

Kartini dan Warisan Emansipasi di Ranah Pendidikan Keluarga
Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai momen refleksi atas perjuangan perempuan dalam memperoleh hak pendidikan, kesetaraan, dan kebebasan berpikir. Kartini bukan hanya simbol emansipasi, tetapi juga pelopor kesadaran bahwa pendidikan adalah jalan utama menuju peradaban. Dalam surat-suratnya yang termaktub dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menegaskan pentingnya pendidikan perempuan, bukan hanya demi pemberdayaan diri, tetapi juga karena perempuan adalah guru pertama dalam kehidupan seorang anak.
ADVERTISEMENT
Perempuan, khususnya seorang ibu, memiliki posisi strategis dalam sistem pendidikan informal keluarga. Ia adalah sumber utama nilai, norma, dan fondasi intelektual pertama bagi anak-anaknya. Kartini memahami bahwa keluarga merupakan institusi pendidikan terkecil tetapi paling vital. Dalam keluarga, nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras, kasih sayang, dan kedisiplinan pertama kali dikenalkan. Oleh karena itu, perjuangan Kartini tidak hanya relevan dalam konteks akses pendidikan formal, tetapi juga dalam pengakuan terhadap pentingnya peran edukatif perempuan dalam rumah tangga.
Dalam banyak keluarga di Indonesia, terutama yang masih memegang budaya patriarkis, peran ibu sebagai pendidik sering dianggap sekadar peran domestik yang kurang diakui kontribusinya secara sosial. Padahal, hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan ibu dalam pendidikan anak sejak dini berpengaruh besar terhadap perkembangan kognitif dan karakter anak. Sebuah studi oleh Yoshikawa et al. (2013) dalam The Lancet menyatakan bahwa investasi pada pendidikan dan stimulasi awal di rumah oleh orang tua, khususnya ibu, berkontribusi signifikan terhadap perkembangan anak di usia sekolah.
ADVERTISEMENT
Kartini, melalui narasi dan pandangan visionernya, telah mengidentifikasi peran strategis ini jauh sebelum ilmu pendidikan modern berkembang. Ia menekankan pentingnya membentuk perempuan yang terdidik, karena dari rahim dan pangkuan seorang ibu lah lahir generasi masa depan. Maka, jika kita ingin mencetak generasi unggul, literat, dan berdaya saing, investasi terbesar dan pertama justru perlu diberikan kepada perempuan, sebagai ibu, sebagai pendidik awal, dan sebagai pendamping kehidupan anak dalam fase pertumbuhan mereka yang paling krusial.
Kartini Masa Kini: Mendidik dari Rumah dalam Era Digital
Dalam konteks abad ke-21, perempuan Indonesia menghadapi tantangan baru dalam menjalankan peran sebagai sumber pendidikan pertama dalam keluarga. Perkembangan teknologi, informasi yang tak terbendung, serta perubahan pola pengasuhan menuntut adaptasi baru. Perempuan masa kini tidak hanya dituntut menjadi ibu rumah tangga yang mendampingi anak secara fisik, tetapi juga menjadi fasilitator pembelajaran digital, pengelola emosi, serta mentor moral di tengah derasnya arus nilai global.
ADVERTISEMENT
Pendidikan anak saat ini tidak lagi terbatas pada buku atau kurikulum formal, tetapi juga melibatkan keterampilan literasi digital, pemikiran kritis, dan kemampuan memilah informasi. Di sinilah tantangan sekaligus peluang Kartini masa kini. Perempuan perlu dibekali dengan literasi digital agar mampu mendampingi anak-anak dalam berselancar di dunia informasi yang tak terbatas. Seorang ibu yang melek teknologi dapat menjadi penyaring pertama dari konten-konten yang dikonsumsi anaknya. Ia bisa membimbing anak belajar menggunakan internet secara produktif, bukan hanya sebagai pengguna pasif.
Penelitian dari Pew Research Center (Livingston & Thomas, 2019) menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dengan orang tua, terutama ibu, yang aktif terlibat dalam penggunaan teknologi cenderung memiliki pemahaman digital yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Artinya, peran ibu dalam pendidikan anak saat ini semakin kompleks, tetapi sekaligus menjadi lebih strategis dari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, dalam era pandemi dan pasca-pandemi, saat sistem pembelajaran daring menjadi bagian dari keseharian, banyak ibu yang “dipaksa” menjadi guru di rumah. Tanpa pelatihan formal, mereka harus memahami platform pembelajaran, mendampingi tugas-tugas anak, hingga membantu anak menghadapi stres belajar online. Pengalaman ini menjadi bukti konkret bahwa peran ibu sebagai pendidik pertama tak tergantikan oleh teknologi secanggih apa pun.
Namun, di sisi lain, kondisi ini juga mengungkapkan kesenjangan yang masih terjadi. Tidak semua perempuan memiliki akses, pengetahuan, atau dukungan untuk menjalankan peran edukatif ini secara optimal. Di sinilah negara dan masyarakat perlu hadir, memberikan pelatihan, akses internet, dan ruang pemberdayaan bagi perempuan. Dengan demikian, cita-cita Kartini untuk menjadikan perempuan sebagai agen perubahan bisa terus bergulir di era digital ini.
ADVERTISEMENT
Kartini masa kini bukan hanya mereka yang bersekolah tinggi atau berkarier di ruang publik. Ia adalah setiap perempuan yang berjuang mendidik anak-anaknya di rumah, yang mengajarkan nilai dan karakter, yang berusaha memahami teknologi demi masa depan anaknya, dan yang terus belajar untuk menjadi pendidik yang relevan dengan zaman. Semangat Kartini kini hidup dalam ruang-ruang keluarga, dalam percakapan antara ibu dan anak tentang nilai, dalam dukungan emosional, dan dalam keberanian perempuan menghadapi dunia yang terus berubah.
Mewarisi Kartini di Zaman Modern
Hari Kartini bukan sekadar perayaan simbolik dengan kebaya dan bunga. Ini adalah momen reflektif untuk mengakui dan menghargai kerja intelektual dan emosional perempuan dalam mendidik generasi bangsa. Jika kita menyadari bahwa pendidikan pertama seorang anak dimulai di rumah, maka perempuan adalah ujung tombak masa depan bangsa.
ADVERTISEMENT
Mewarisi semangat Kartini artinya memastikan bahwa perempuan diberdayakan, didukung, dan dihargai dalam perannya sebagai pendidik utama dalam keluarga. Sebab, dari tangan Kartini-lah lahir anak-anak yang merdeka berpikir, jujur berperilaku, dan kuat menghadapi tantangan zaman.