Konten dari Pengguna

Mengenal Intervensi bagi Anak Berkebutuhan Khusus di PAUD

Widya Rizky Pratiwi
Widya Rizky Pratiwi: Profesi: Dosen Intistusi: Universitas Terbuka. Aktivitas: Meneliti, Menulis. Bidang: Pendidikan Fokus: Perkembangan Bahasa Inggris, Strategi Belajar, Inovasi Pengajaran, Pendidikan Jarak jauh.
23 Mei 2025 15:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Mengenal Intervensi bagi Anak Berkebutuhan Khusus di PAUD
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan fondasi krusial dalam membentuk arah perkembangan anak secara holistik.
Widya Rizky Pratiwi
Tulisan dari Widya Rizky Pratiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Istockphoto.com
ADVERTISEMENT
Mengapa Intervensi Dini Sangat Penting bagi Anak Berkebutuhan Khusus di PAUD?
ADVERTISEMENT
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan fondasi krusial dalam membentuk arah perkembangan anak secara holistik. Pada usia emas 0-6 tahun, pertumbuhan fisik, kognitif, sosial-emosional, bahasa, hingga moral spiritual mengalami percepatan luar biasa. Karena itu, perhatian yang diberikan pada tahap ini akan menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Dalam konteks ini, kelompok Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) perlu mendapatkan sorotan khusus, agar tidak tertinggal dalam proses pembangunan manusia seutuhnya.
ABK adalah anak yang mengalami hambatan atau kelainan perkembangan baik fisik, mental, emosional, intelektual, maupun sosial, sehingga memerlukan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Berdasarkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009, anak-anak dengan autisme, disleksia, ADHD, tuna rungu, tuna netra, atau kondisi lainnya termasuk dalam kategori ini. Mereka berhak untuk mendapatkan akses pendidikan yang setara dan bermutu, bukan hanya berada di ruang kelas yang sama, tetapi juga dipastikan berkembang bersama dengan dukungan yang tepat.
ADVERTISEMENT
Salah satu kunci utama untuk mewujudkan keadilan pendidikan tersebut adalah intervensi dini. Guralnick (2017) menegaskan bahwa intervensi dini bukan hanya mampu memperkecil hambatan perkembangan, tetapi juga dapat meningkatkan potensi anak secara optimal. Deteksi dini menjadi langkah awal yang sangat penting untuk mengenali gejala keterlambatan perkembangan. Dari sini, langkah-langkah lanjut seperti pemberian terapi, penguatan kemampuan spesifik, hingga pelibatan keluarga dapat dirancang dengan tepat sasaran.
Contoh intervensi yang dapat diterapkan di lingkungan PAUD meliputi penyusunan Individualized Education Program (IEP), terapi okupasi atau wicara, dan pembelajaran melalui permainan terstruktur. IEP, misalnya, merupakan rencana pembelajaran khusus berdasarkan hasil asesmen anak, dan disusun secara kolaboratif oleh guru, psikolog, orang tua, dan tenaga medis. Pendekatan ini menempatkan anak sebagai pusat dari proses pembelajaran, sekaligus memastikan bahwa setiap kebutuhan unik mereka mendapat respon yang memadai.
ADVERTISEMENT
Selain itu, metode bermain terarah juga terbukti efektif untuk membangun konsentrasi, memori, dan keterampilan sosial anak. Permainan sekuensial sederhana seperti menyusun balok, permainan peran, atau aktivitas motorik halus dapat dirancang khusus untuk mendukung area perkembangan yang mengalami hambatan. Di sinilah pentingnya pelibatan profesional lintas disiplin agar setiap strategi intervensi memiliki dasar ilmiah yang kuat dan dapat diukur efektivitasnya.
Yang tak kalah penting adalah peran orang tua. Keluarga menjadi ekosistem terdekat anak, sehingga intervensi tidak akan berjalan optimal tanpa keterlibatan aktif mereka. Melalui pelatihan dan pendampingan, orang tua dapat memahami kondisi anak dengan lebih baik, mengurangi tekanan emosional, dan menjadi mitra sejajar dalam proses pembelajaran.
Tantangan dan Solusi dalam Mewujudkan Layanan Intervensi Inklusif di PAUD
ADVERTISEMENT
Meskipun urgensi intervensi dini sudah banyak disuarakan dalam forum-forum pendidikan dan akademik, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya tantangan yang cukup kompleks. Studi Supriyadi et al. (2021) mengungkap bahwa sebagian besar guru PAUD di Indonesia belum memiliki kompetensi dalam pendidikan inklusif. Hal ini menyebabkan deteksi dini tidak dilakukan dengan benar, sehingga banyak ABK yang baru diketahui kebutuhannya saat sudah memasuki usia sekolah dasar.
Stigma sosial juga menjadi tantangan berat. Tidak jarang anak ABK dianggap sebagai pengganggu atau tidak bisa belajar "seperti anak normal lainnya". Padahal, dengan pendekatan yang tepat, mereka mampu beradaptasi dan berkembang bersama. Tantangan lain meliputi minimnya fasilitas pendukung seperti ruang terapi, alat bantu belajar, dan tenaga ahli yang paham kondisi anak secara komprehensif.
ADVERTISEMENT
Selain itu, banyak lembaga PAUD masih belum memiliki akses terhadap psikolog anak, terapis wicara, atau guru pendamping khusus. Hal ini menyebabkan program intervensi tidak bisa dijalankan dengan optimal. Ketergantungan pada tenaga pendidik tunggal tanpa pelatihan khusus akan memperbesar risiko terjadinya miskonsepsi terhadap perilaku anak yang sebenarnya merupakan gejala dari kondisi tertentu.
Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, perlu dilakukan serangkaian langkah sistematis. Pertama, peningkatan kapasitas guru melalui pelatihan pendidikan inklusif yang bersifat praktik langsung (hands-on). Guru harus dibekali keterampilan untuk melakukan asesmen sederhana, mengenali gejala awal gangguan perkembangan, dan merancang kegiatan pembelajaran yang adaptif serta berpusat pada anak.
Kedua, kurikulum PAUD harus dikembangkan secara diferensiatif. Kurikulum yang kaku dan seragam akan menyulitkan ABK untuk mengikuti proses pembelajaran. Dengan desain kurikulum adaptif, setiap anak dapat belajar sesuai dengan ritme dan potensinya masing-masing. Hal ini juga membuka ruang inovasi bagi guru untuk menggunakan berbagai metode kreatif dalam mengajar.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kolaborasi lintas sektor perlu diperkuat. Dunia pendidikan tidak dapat berjalan sendiri dalam menangani ABK. Peran dinas kesehatan, lembaga perlindungan anak, organisasi masyarakat, hingga sektor swasta sangat dibutuhkan dalam penyediaan sumber daya, pendampingan keluarga, hingga kampanye kesadaran publik. Kemitraan antara lembaga PAUD dan rumah sakit atau klinik tumbuh kembang anak, misalnya, bisa menjadi model sinergi yang produktif.
Keempat, partisipasi aktif orang tua harus ditingkatkan. Mereka tidak boleh hanya menjadi "penerima laporan" dari guru, melainkan perlu dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi intervensi. Orang tua juga harus dibekali pemahaman bahwa keberadaan anak ABK dalam ruang kelas yang sama bukan ancaman, tetapi bentuk nyata dari keadilan sosial.
Kelima, teknologi dapat menjadi jembatan penguat pelaksanaan intervensi. Aplikasi edukatif, video tutorial untuk orang tua, platform komunikasi guru-orang tua, serta alat bantu visual untuk anak dengan hambatan komunikasi dapat dimanfaatkan secara optimal.
ADVERTISEMENT
Pendidikan inklusif bukan sekadar slogan atau kebijakan administratif. Ia adalah commitment to equity, komitmen terhadap keadilan yang harus diwujudkan dalam tindakan nyata, terutama sejak dini. Intervensi bagi ABK di PAUD adalah salah satu wujud dari tanggung jawab kita bersama untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun anak Indonesia yang tertinggal.