Konten dari Pengguna

Seni dan Ilmu Code-Switching di Pendidikan, Bukan Sekadar Campur Bahasa

Widya Rizky Pratiwi
Widya Rizky Pratiwi: Profesi: Dosen Intistusi: Universitas Terbuka. Aktivitas: Meneliti, Menulis. Bidang: Pendidikan Fokus: Perkembangan Bahasa Inggris, Strategi Belajar, Inovasi Pengajaran, Pendidikan Jarak jauh.
13 Agustus 2025 14:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Seni dan Ilmu Code-Switching di Pendidikan, Bukan Sekadar Campur Bahasa
Ccode-switching merupakan peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain dalam konteks komunikasi yang sama, sering terjadi dalam pembelajaran Bahasa Inggris
Widya Rizky Pratiwi
Tulisan dari Widya Rizky Pratiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di ruang kelas bahasa Inggris di Indonesia, sebuah fenomena unik sering terjadi: guru dan siswa berganti bahasa di tengah percakapan. Satu kalimat diucapkan dalam bahasa Inggris, lalu kalimat berikutnya dalam bahasa Indonesia. Kadang, bahasa daerah pun ikut hadir. Inilah yang dikenal sebagai code-switching, peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain dalam konteks komunikasi yang sama.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukan monopoli Indonesia. Di banyak negara multilingual, peralihan bahasa adalah hal lumrah. Namun, di Indonesia, situasinya istimewa. Sebab, bahasa Inggris dipelajari sebagai bahasa asing, bukan bahasa kedua. Itu berarti, interaksi dalam bahasa Inggris murni jarang terjadi di luar kelas. Wajar jika guru atau siswa kerap kembali ke bahasa pertama demi kelancaran komunikasi.
Seringkali, pembaca awam keliru menyamakan code-switching dengan code-mixing. Padahal, keduanya berbeda. Code-switching melibatkan peralihan bahasa yang jelas, misalnya satu kalimat penuh dalam bahasa tertentu. Code-mixing, sebaliknya, adalah pencampuran unsur bahasa dalam satu kalimat tanpa batas tegas. Misalnya, memasukkan kata bahasa Inggris di tengah kalimat bahasa Indonesia.
Apakah code-switching salah? Tidak selalu. Bagi sebagian guru, ini adalah strategi komunikasi. Ada kalanya guru beralih bahasa untuk memastikan siswa paham konsep sulit. Kadang, itu juga cara membangun kedekatan dan suasana santai di kelas. Fenomena ini bisa terjadi spontan, tetapi juga bisa direncanakan.
ADVERTISEMENT
Dalam praktik di kelas bahasa Inggris di Indonesia, code-switching cukup sering terjadi. Guru menggunakan strategi ini untuk menjelaskan instruksi, mengklarifikasi makna, atau mencairkan suasana. Siswa pun melakukannya, biasanya saat mencari padanan kata yang belum mereka kuasai atau ingin memastikan teman dan guru memahami maksud mereka.
Ilustrasi code-switching di ruang kelas. Sumber: Istockphoto.com
Hasil observasi menunjukkan, code-switching dapat membantu pemahaman siswa, khususnya dalam materi kompleks. Namun, jika dilakukan berlebihan, risiko lain muncul: siswa menjadi terlalu bergantung pada bahasa pertama, sehingga paparan bahasa Inggris berkurang. Di sinilah keseimbangan menjadi penting.
Dari perspektif sosiolinguistik, code-switching tidak sekadar soal bahasa. Ia berkaitan dengan identitas, hubungan sosial, dan norma komunikasi dalam masyarakat multilingual. Kadang, bahasa daerah ikut memengaruhi. Di kelas tertentu, siswa dan guru bisa berganti bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah dalam satu sesi.
ADVERTISEMENT
Budaya kelas juga punya peran. Di budaya yang mengutamakan keakraban, guru mungkin lebih sering code-switching untuk menjaga hubungan hangat dengan siswa. Kebijakan bahasa sekolah pun turut memengaruhi. Beberapa sekolah mengharuskan penggunaan bahasa Inggris penuh, tetapi di lapangan, realitanya tak sesempurna aturan.
Fenomena ini menjadi lahan penelitian menarik, terutama di Indonesia. Metode penelitian biasanya melibatkan observasi kelas, perekaman interaksi, wawancara guru dan siswa, lalu analisis jenis dan fungsi code-switching. Penelitian bisa bersifat kualitatif, namun data kuantitatif, seperti frekuensi penggunaan, juga memberi nilai tambah.
Indikator yang diamati meliputi jenis peralihan kode, konteks terjadinya, pelaku (guru atau siswa), dan tujuan komunikasinya. Tantangan terbesarnya adalah menjaga agar perilaku bahasa partisipan tetap alami selama penelitian. Jika mereka merasa diawasi, interaksi bisa menjadi tidak representatif.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian code-switching memberi manfaat besar bagi guru bahasa Inggris. Mereka dapat mengetahui kapan strategi ini efektif dan kapan perlu diminimalkan. Misalnya, code-switching bisa digunakan untuk membangun pemahaman awal, lalu dikurangi seiring meningkatnya kemampuan siswa.
Dampak lebih luas juga terasa pada kebijakan kurikulum. Temuan penelitian dapat membantu pengambil kebijakan menyusun panduan realistis penggunaan bahasa di kelas. Bagi sekolah di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), code-switching bahkan bisa menjadi kunci, menjembatani keterbatasan kosakata dan meningkatkan partisipasi siswa.
Bagaimana cara mengontrolnya? Guru dapat menerapkan target bertahap: misalnya, dari 50% bahasa Inggris pada awal semester, naik menjadi 70% di akhir semester. Target ini memberi arah jelas tanpa menimbulkan stres berlebihan bagi siswa.
Menghapus code-switching secara total justru berisiko. Siswa dengan kemampuan awal rendah bisa merasa tertekan dan kehilangan motivasi. Lebih bijak melihat code-switching sebagai jembatan menuju kemandirian berbahasa Inggris, bukan sebagai tongkat penyangga yang membuat siswa bergantung selamanya.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan ii, penulis ingin menyampaikan pesan bahwa gunakan code-switching secara strategis. Rencanakan, catat, dan evaluasi penggunaannya. Pengalaman di kelas dapat menjadi sumber data berharga untuk tesis, sekaligus kontribusi nyata bagi peningkatan mutu pengajaran bahasa di Indonesia.
Pada akhirnya, code-switching bukan sekadar peralihan bahasa. Ia adalah cermin dinamika kelas, strategi pedagogis, dan refleksi identitas linguistik kita. Menggunakannya dengan bijak berarti memanfaatkan kekuatan bahasa untuk membuka pintu pengetahuan bagi generasi pembelajar baru.