Konten dari Pengguna

Kimia Bukan Sekadar Ilmu Eksakta: Sebuah Refleksi Filosofis

Widyan Muhammad Naufal
Seorang mahasiswa S2 Kimia Universitas Sebelas Maret yang senang membagikan ilmunya, sembari bekerja sebagai analis di laboratorium pengujian dan kalibrasi
6 Mei 2025 10:53 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Widyan Muhammad Naufal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kredit ilustrasi: Gambar dibuat secara mandiri oleh penulis menggunakan elemen desain dari aplikasi Canva (www.canva.com).
zoom-in-whitePerbesar
Kredit ilustrasi: Gambar dibuat secara mandiri oleh penulis menggunakan elemen desain dari aplikasi Canva (www.canva.com).
ADVERTISEMENT
Saat berbicara tentang kimia, kebanyakan orang langsung teringat pada tabel periodik, rumus reaksi, dan bau menyengat dari larutan laboratorium. Kimia sering kali dipandang sebagai ilmu eksakta yang “kaku” dan “penuh hafalan”. Padahal, di balik rumus dan eksperimen itu, tersembunyi perenungan filosofis yang dalam—pertanyaan-pertanyaan yang tidak hanya menyangkut “apa yang terjadi”, tetapi “mengapa” dan “bagaimana kita mengetahuinya”. Di sinilah filsafat kimia berperan. Ketika kita mendengar kata “filsafat”, yang terbayang biasanya adalah diskusi tentang moralitas, eksistensi, atau logika. Namun, tahukah Anda bahwa ilmu kimia juga memiliki ruang refleksi filosofis yang mendalam?
ADVERTISEMENT
Di balik rumus-rumus dan laboratorium, terdapat pertanyaan besar tentang hakikat materi, struktur realitas, dan bagaimana pengetahuan ilmiah itu dibentuk. Filsafat kimia mungkin terdengar asing bagi sebagian besar dari kita. Bahkan, dalam dunia akademik pun, ia masih kerap dipinggirkan dibandingkan saudara tuanya: filsafat fisika atau filsafat biologi. Namun justru karena itulah filsafat kimia menarik—ia hadir sebagai upaya reflektif untuk memahami kimia bukan hanya sebagai ilmu eksakta, melainkan sebagai cara manusia membingkai dan memahami realitas materi. Cabang filsafat ilmu yang satu ini masih sering luput dari perhatian, namun justru memiliki potensi besar untuk menghidupkan kembali rasa ingin tahu dalam mempelajari ilmu alam.
Ilmu kimia sering kali diposisikan sebagai “ilmu tengah” antara fisika dan biologi. Namun dalam praktiknya, kimia memiliki karakteristik unik yang tidak selalu bisa dijelaskan melalui pendekatan fisika murni. Di sinilah filsafat kimia hadir: untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apa sebenarnya entitas kimia seperti atom dan molekul?”. Pertanyaan ini, yang tampaknya sederhana, membuka ruang perdebatan dalam filsafat kimia. Apakah molekul benar-benar ada di dunia nyata seperti yang digambarkan dalam model 3D di buku pelajaran? Atau, apakah itu hanyalah representasi metafora ilmiah yang membantu kita menjelaskan interaksi materi?
ADVERTISEMENT
Kita menggambarkan struktur molekul seperti air (H₂O) atau glukosa (C₆H₁₂O₆) secara visual dengan garis, bola, dan sudut ikatan, padahal kenyataannya kita tidak pernah melihat molekul itu secara langsung. Model-model dalam kimia yang lainnya, seperti orbital hibrida atau ikatan sigma dan pi, juga tidak bisa diamati secara langsung. Mereka tidak seperti batu atau air yang bisa disentuh. Namun, kita memperlakukan konsep-konsep ini seolah nyata, karena dari sanalah lahir pemahaman dan prediksi tentang sifat zat.
Filsafat kimia mengajak kita untuk mempertanyakan status ontologis dari entitas seperti ini: apakah mereka nyata secara fisik, atau hanya nyata dalam batas model yang kita sepakati?. Kita mempercayainya karena model tersebut bekerja. Tapi apakah keberhasilan menjelaskan dan memprediksi berarti sesuatu itu nyata?. Bas van Fraassen, filsuf sains terkemuka, menyebut bahwa teori ilmiah tidak harus merepresentasikan kenyataan untuk bisa dianggap sahih. Ia cukup “berfungsi” dalam menjelaskan fenomena.
ADVERTISEMENT
Sebagai ilmuwan, kita kerap berpegang pada teori karena terbukti “berfungsi”. Namun, apakah berfungsi berarti benar? Dalam filsafat kimia, pertanyaan ini membawa kita pada dua kutub: realisme dan instrumentalisme. Realisme berarti percaya bahwa entitas dalam teori kimia—seperti molekul, atom, bahkan elektron—benar-benar ada dalam kenyataan. Sementara instrumentalisme melihat teori kimia lebih sebagai alat untuk memprediksi hasil eksperimen, tanpa harus mengasumsikan bahwa entitas dalam teori tersebut benar-benar ada. Kaum realis percaya bahwa teori kimia menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya. Sebaliknya, kaum instrumentalist melihat teori hanya sebagai alat bantu untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena, tanpa perlu mengklaim bahwa ia “benar-benar ada”.
Sebagai contoh, dalam dunia pendidikan kimia, di mana banyak siswa diajarkan seolah-olah semua model kimia adalah representasi langsung dari kenyataan, padahal belum tentu demikian. Dalam kenyataan kuantum, ikatan kimia tidak pernah statis seperti dalam gambar buku teks pelajaran. Tapi gambar itu tetap kita ajarkan dan digunakan karena berfungsi. Inilah dilema epistemologis yang menjadi perhatian filsafat kimia: apakah kita memahami sesuatu karena kita tahu, atau karena kita sudah terbiasa dengan model itu?
ADVERTISEMENT
Pentingnya filsafat kimia tidak berhenti pada pertanyaan teoretis. Ia juga berperan besar dalam pendidikan dan praktik ilmiah. Ini bukan sekadar untuk memperumit, tetapi untuk memperdalam. Dengan pendekatan filosofis, peneliti dan pelajar kimia bisa lebih kritis, kreatif, dan reflektif dalam memahami ilmu yang mereka pelajari. Melalui filsafat, kita diajak untuk menyadari bahwa ilmu kimia adalah hasil karya manusia—hasil pengamatan, eksperimen, diskusi, bahkan perdebatan. Kimia bukan ilmu yang “sudah jadi”, tapi ilmu yang terus berkembang, dibentuk oleh paradigma dan cara pandang yang berubah. Bahkan, struktur tabel periodik yang kita anggap sakral pun lahir dari pergulatan sejarah dan eksperimen, bukan wahyu dari langit.
Filsafat kimia mengajak kita untuk melihat bahwa dalam dunia kimia, eksak tidak selalu berarti mutlak. Kita mengenal hukum, tapi juga mengenal pengecualian. Kita mengenal model, tapi sadar bahwa model itu bisa salah. Dan dari kesadaran inilah lahir ilmuwan yang rendah hati, kritis, dan terbuka terhadap pengetahuan baru. Filsafat kimia juga membuka ruang dialog antara ilmu alam dan humaniora, menjembatani pemahaman antara fakta empiris dan nilai-nilai manusia. Ia menyadarkan kita bahwa ilmu bukan hanya tentang “apa” dan “bagaimana”, tetapi juga tentang “mengapa”.
ADVERTISEMENT
Filsafat kimia, pada akhirnya, bukanlah tentang menjadikan sains “kurang ilmiah”, melainkan memperkaya cara kita memahaminya. Ia mengingatkan kita bahwa di balik satu molekul air, terdapat kisah panjang tentang bagaimana manusia mencoba memahami dunia. Dari eksperimen Lavoisier hingga teori atom Dalton, dari struktur Lewis hingga orbital molekul—semua adalah bagian dari narasi intelektual umat manusia.
Dengan menyelami filsafat kimia, kita tidak lagi melihat kimia sebagai kumpulan reaksi di tabung reaksi. Kita diajak untuk berpikir lebih jauh, mempertanyakan hal-hal yang selama ini dianggap pasti, dan menggali makna dari ilmu yang kita jalani. Ketika kita memahami bahwa ilmu tidak hanya dibentuk oleh data, tetapi juga oleh cara kita menafsirkan data, maka kita akan mulai melihat kimia bukan sekadar rumus. Kita melihatnya sebagai cermin: tentang bagaimana kita bertanya, mencari, dan memahami dunia yang kita tinggali.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dikatakan oleh Karl Popper, “Ilmu bukan sekadar akumulasi fakta, tapi upaya berani manusia untuk memahami alam semesta”. Dan dalam dunia kimia, upaya itu dimulai dari molekul, lalu berlanjut ke makna. Mungkin sudah saatnya filsafat kimia tidak lagi dipandang sebagai wacana elitis, tetapi sebagai bagian penting dari refleksi ilmiah yang menyatu dalam kehidupan.
Jika Anda guru, mahasiswa, atau siapa pun yang mencintai ilmu pengetahuan, mari jangan berhenti pada “bagaimana”. Mari kita juga merayakan pertanyaan “mengapa” karena dari sanalah, ilmu menjadi lebih dari sekadar data—ia menjadi refleksi diri.
DAFTAR PUSTAKA
Baird, D., Scerri, E.R. and McIntyre, L. eds., 2006. Philosophy of chemistry: Synthesis of a new discipline (Vol. 242). Dordrecht: Springer.
ADVERTISEMENT
Llored, J.P. ed., 2014. The philosophy of chemistry: Practices, methodologies, and concepts. Cambridge Scholars Publishing.
Scerri, E.R. and Fisher, G.A. eds., 2016. Essays in the Philosophy of Chemistry. Oxford University Press.