Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Euforia Hari Kemenangan di Tengah Jurang Ketimpangan
1 April 2025 8:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Karunia Kalifah Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
"Idulfitri adalah hari kemenangan. Tapi kemenangan siapa? Apakah semua orang benar-benar merayakannya atau hanya segelintir yang menikmati kemewahannya?"
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, takbir berkumandang, jalanan dipenuhi pemudik, dan meja makan dihiasi hidangan berlimpah. Idulfitri selalu digambarkan sebagai momen penuh kebahagiaan, di mana semua orang merayakan kemenangan setelah sebulan menahan lapar dan dahaga. Namun, di balik kemeriahan itu, ada pertanyaan mendasar yang jarang diajukan, apakah benar semua orang merasakan kemenangan yang sama?
Di gang-gang sempit kota besar, buruh pabrik tetap berjibaku dengan lembur untuk memenuhi pesanan pasar Lebaran. Di desa-desa terpencil, para petani menghadapi naiknya harga kebutuhan pokok yang justru semakin memberatkan mereka. Di pinggiran jalan raya, kaum miskin kota tetap menunduk, menyaksikan arus kendaraan yang dipenuhi keluarga-keluarga yang mudik dengan mobil mewah. Sementara sebagian orang merayakan Idulfitri dengan baju baru dan pesta besar, sebagian lainnya bahkan kesulitan membeli sepiring nasi.
ADVERTISEMENT
Idulfitri disebut sebagai hari kembali ke fitrah, tetapi bagaimana dengan mereka yang sejak awal tidak pernah merasakan keadilan? Bagaimana mungkin kita berbicara tentang kemenangan spiritual ketika ketimpangan ekonomi dan sosial masih begitu mencolok? Artikel ini akan menelaah bagaimana perayaan Idulfitri justru mencerminkan jurang kesenjangan yang semakin dalam, bagaimana agama yang mengajarkan kesetaraan malah sering kali dikaburkan oleh realitas ketidakadilan struktural, dan bagaimana kita bisa merebut kembali makna sejati dari Lebaran.
Keadilan Sosial dalam Islam yang Terpinggirkan
Islam sejak awal menempatkan keadilan sosial sebagai fondasi ajarannya. Konsep zakat, misalnya, bukan hanya sekadar amal, tetapi instrumen distribusi kekayaan agar tidak terkonsentrasi pada segelintir orang. Rasulullah sendiri menegaskan bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari hartanya, tetapi dari ketakwaannya.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam realitas kapitalisme modern, prinsip ini kerap mengalami distorsi. Kesenjangan ekonomi semakin lebar, dan Idulfitri, yang seharusnya menjadi refleksi atas nilai-nilai kesetaraan, justru semakin memperlihatkan ketimpangan itu. Perayaan ini lebih sering didefinisikan oleh daya beli ketimbang oleh makna spiritualnya. Sementara sebagian orang menikmati libur panjang dengan perayaan mewah, buruh kasar, petani, dan pekerja informal tetap harus berjuang untuk bertahan hidup.
Ketimpangan yang Menjadi Tradisi
Setiap tahun, perayaan Idulfitri menjadi cerminan ketimpangan sosial yang telah mengakar dalam masyarakat. Di satu sisi, kelompok ekonomi menengah ke atas menikmati libur panjang dengan kemewahan: belanja pakaian baru, mudik dengan kendaraan pribadi atau kelas eksekutif, serta menyajikan hidangan berlimpah di meja makan. Sementara itu, di sisi lain, jutaan pekerja kelas bawah justru menghadapi tekanan yang lebih besar. Buruh garmen dan pekerja pabrik dipaksa lembur untuk memenuhi lonjakan permintaan produk Lebaran, namun upah mereka tetap minim, bahkan sering kali mengalami keterlambatan pembayaran THR. Para pekerja informal, seperti sopir angkutan umum dan pedagang kaki lima, harus bertahan di kota karena tidak mampu pulang kampung. Tradisi ini menjadikan Lebaran bukan sebagai momentum kesetaraan, tetapi sebagai ritual tahunan yang semakin mempertegas jurang pemisah antara kaya dan miskin.
ADVERTISEMENT
Lebih dari sekadar perayaan, Idulfitri juga memperlihatkan bagaimana kapitalisme telah mereduksi makna religius menjadi sekadar ajang konsumsi. Sejak jauh hari, pusat perbelanjaan dipenuhi iklan diskon yang membangun narasi bahwa kebahagiaan Lebaran diukur dari seberapa banyak barang baru yang bisa dibeli. Narasi ini memperdalam ilusi bahwa kebahagiaan spiritual harus selalu disertai dengan kepemilikan materi. Sementara itu, harga kebutuhan pokok melonjak tajam, memberatkan keluarga-keluarga miskin yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar pun sudah sulit. Konsumerisme Lebaran menjadi kemenangan bagi industri ritel dan perbankan, tetapi kekalahan bagi mereka yang terpaksa berutang demi memenuhi ekspektasi sosial yang tidak realistis.
Ironi lainnya adalah tradisi saling memaafkan yang kerap menjadi formalitas tanpa refleksi mendalam. Ungkapan "mohon maaf lahir dan batin" diucapkan secara massal, tetapi apakah benar kita sudah memaafkan ketidakadilan yang terus berlangsung? Buruh yang haknya dirampas, petani yang hasil panennya dihargai murah, dan pekerja harian yang dieksploitasi tidak bisa hanya mengandalkan permintaan maaf seremonial. Lebih dari sekadar memaafkan individu, masyarakat seharusnya berani mempertanyakan dan melawan struktur yang menyebabkan ketidakadilan ini terus berulang. Namun, setelah gema takbir mereda, segalanya kembali seperti semula: mereka yang berkuasa tetap berkuasa, mereka yang tertindas tetap tertindas. Jika Idulfitri benar-benar tentang kembali ke fitrah, maka sudah saatnya kita bertanya, fitrah seperti apa yang ingin kita perjuangkan? Sebuah dunia yang lebih adil, atau tradisi yang hanya mempermanenkan ketimpangan?
ADVERTISEMENT
Lebaran sebagai Cermin Ketidakadilan yang Harus Didekonstruksi
Jika kita melihat dari perspektif kritis, Idulfitri bukan sekadar perayaan, tetapi juga refleksi atas struktur sosial kita. Perayaan ini tidak hanya mencerminkan keberagamaan masyarakat, tetapi juga memperlihatkan betapa timpangnya akses terhadap kesejahteraan.
Di satu sisi, kita diajarkan bahwa Ramadan adalah bulan empati terhadap kaum miskin. Namun, empati ini sering kali bersifat sesaat. Begitu Idulfitri tiba, semangat berbagi berangsur pudar, dan kita kembali pada ketidakpedulian lama. Bahkan, dalam banyak kasus, justru kaum kecil yang semakin terpinggirkan selama Lebaran: mereka harus bekerja lebih keras, menghadapi lonjakan harga kebutuhan pokok, dan tetap berjuang untuk sekadar bertahan hidup.
Jika Idulfitri benar-benar ingin dimaknai sebagai hari kemenangan, maka kemenangan itu tidak boleh eksklusif bagi mereka yang mampu. Seharusnya, kemenangan ini mencakup semua orang, terutama mereka yang selama ini dikalahkan oleh sistem yang timpang.
ADVERTISEMENT
Lebaran, Kemenangan Sejati, dan Tanggung Jawab Kolektif
Kemenangan bukanlah soal siapa yang mengenakan baju terbaik, siapa yang menyajikan hidangan terlezat, atau siapa yang paling banyak membagikan amplop berisi uang baru. Kemenangan sejati bukan milik mereka yang mampu berbelanja tanpa batas, melainkan milik mereka yang berhasil membebaskan diri dan orang lain dari belenggu ketidakadilan.
Jika Idulfitri adalah kembalinya manusia pada fitrah, maka sejatinya ia bukan sekadar kesucian pribadi, melainkan juga kesadaran kolektif. Fitrah bukan hanya tentang jiwa yang bersih, tetapi juga dunia yang lebih adil. Namun, di hadapan kita, jurang kesenjangan masih menganga lebar. Sebagian dari kita menyantap hidangan mewah, sementara yang lain bahkan tak punya cukup untuk berbuka. Sebagian mengenakan pakaian baru, sementara yang lain hidup dengan pakaian lama yang telah usang bersama harapan mereka. Lalu, apakah ini kemenangan atau justru sebuah ilusi?
ADVERTISEMENT
Maka, saat gema takbir memudar dan perayaan usai, pertanyaan yang tersisa bukanlah "Apakah kita telah kembali suci?" tetapi "Apakah kita telah kembali manusia?". Sebab, kebersihan hati tak ada artinya jika ketidakadilan masih kita biarkan. Dan kemenangan sejati bukanlah tentang diri sendiri, melainkan tentang keberanian untuk memastikan bahwa tak ada lagi yang harus kalah sendirian.