news-card-video
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Identitas Remaja dalam Transisi, Antara Eksplorasi dan Komitmen

Karunia Kalifah Wijaya
Guru Bimbingan Konseling di SMP Muhammadiyah 1 Berbah, yang terinspirasi oleh Ki Hadjar Dewantara dan meyakini pendidikan sebagai tuntunan jiwa dan raga.
10 Maret 2025 12:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karunia Kalifah Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Norma Mortenson: https://www.pexels.com/id-id/foto/laptop-penulisan-duduk-sekolah-8457288/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Norma Mortenson: https://www.pexels.com/id-id/foto/laptop-penulisan-duduk-sekolah-8457288/
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tetapi bagi remaja yang tengah menghadapi transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah, jawabannya bisa begitu kompleks, bahkan menimbulkan kegelisahan mendalam. Masa transisi ini bukan sekadar perubahan akademik yang beralih dari satu jenjang ke jenjang berikutnya, tetapi sebuah perjalanan psikologis yang penuh ketidakpastian. Remaja, yang sebelumnya terbiasa dengan lingkungan yang lebih kecil dan akrab di sekolah dasar, tiba-tiba harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang lebih besar, lebih kompetitif, dan lebih menuntut.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah sistem pendidikan benar-benar memahami dampak psikologis dari transisi ini? Sering kali, fokus utama yang diberikan adalah bagaimana remaja dapat beradaptasi dengan tuntutan akademik yang lebih berat, sementara aspek emosional dan identitas mereka diabaikan. Padahal, bagi sebagian remaja, perubahan ini bisa menjadi pengalaman yang mengguncang. Ada yang merasa bersemangat dengan kebebasan baru, tetapi ada pula yang merasa terisolasi, kehilangan arah, dan terjebak dalam krisis identitas.
Pentingnya Identitas dalam Masa Remaja
Dalam teori perkembangan Erikson, masa remaja merupakan tahap krusial di mana individu menghadapi konflik antara pencarian identitas dan kebingungan peran. Pada tahap ini, remaja mulai mempertanyakan siapa mereka, apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka ingin dilihat oleh orang lain. Eksplorasi menjadi bagian penting dalam proses ini, di mana remaja mencoba berbagai minat, nilai, dan keyakinan sebelum akhirnya berkomitmen pada pilihan tertentu.
ADVERTISEMENT
Namun, ada jebakan dalam proses eksplorasi ini. Di satu sisi, eksplorasi yang terlalu terbatas dapat menyebabkan identitas yang terkungkung, di mana remaja merasa dipaksa menerima identitas yang bukan hasil dari pencarian diri yang otentik. Di sisi lain, eksplorasi yang berlarut-larut tanpa adanya komitmen yang jelas dapat menyebabkan identity diffusion, kondisi di mana individu terus-menerus mencari tanpa pernah benar-benar menemukan pegangan yang kokoh.
Dalam konteks akademik, eksplorasi dan komitmen ini menjadi lebih nyata. Remaja yang telah memiliki komitmen yang kuat terhadap identitas akademiknya cenderung lebih termotivasi dan percaya diri dalam belajar. Sebaliknya, mereka yang masih ragu atau terus-menerus mencari tanpa arah yang jelas lebih rentan mengalami kecemasan, stres, dan bahkan ketidakpuasan terhadap jalur pendidikan yang mereka pilih.
ADVERTISEMENT
Kepribadian vs Lingkungan
Dua faktor utama yang sering diperdebatkan dalam perkembangan identitas remaja adalah kepribadian dan lingkungan sosial. Kepribadian sering kali dianggap sebagai faktor internal yang menentukan bagaimana individu merespons perubahan dan mengambil keputusan dalam hidupnya. Beberapa individu tampaknya lebih mudah beradaptasi dengan perubahan dibandingkan yang lain, dan salah satu penjelasan untuk hal ini adalah perbedaan dalam sifat kepribadian. Remaja yang memiliki kepribadian lebih terbuka terhadap pengalaman baru (openness to experience) cenderung lebih fleksibel dalam mengeksplorasi berbagai kemungkinan tanpa merasa terlalu cemas atau terbebani oleh ketidakpastian. Mereka lebih berani mencoba hal-hal baru, berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda, dan menyesuaikan diri dengan tantangan baru yang muncul selama transisi pendidikan. Sebaliknya, mereka yang memiliki tingkat neurotisisme tinggi lebih rentan mengalami kecemasan berlebihan dalam membuat keputusan, termasuk keputusan akademik yang berkaitan erat dengan perkembangan identitas mereka. Individu dengan neurotisisme tinggi cenderung lebih mudah terjebak dalam ketakutan akan kegagalan atau penyesalan, yang pada akhirnya dapat menghambat eksplorasi dan komitmen terhadap identitas tertentu.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah kepribadian benar-benar menjadi faktor penentu utama dalam perkembangan identitas? Jika memang demikian, mengapa ada individu dengan kepribadian yang sama tetapi menunjukkan perkembangan identitas yang berbeda? Mengapa ada individu dengan tingkat neurotisisme tinggi yang tetap mampu membangun identitas akademik yang kuat, sementara ada pula individu yang terbuka terhadap pengalaman baru tetapi tetap merasa tersesat dalam pencarian identitas mereka? Ini menunjukkan bahwa kepribadian saja tidak cukup untuk menjelaskan kompleksitas perkembangan identitas remaja.
Di sinilah peran lingkungan sosial menjadi krusial. Remaja tidak berkembang dalam ruang hampa; mereka dibentuk oleh interaksi dengan keluarga, teman sebaya, guru, dan masyarakat di sekitarnya. Dukungan dari orang tua, teman sebaya, dan guru memiliki pengaruh besar terhadap bagaimana mereka membentuk identitasnya, baik secara akademik maupun secara personal. Orang tua yang memberikan bimbingan tanpa paksaan memungkinkan remaja untuk mengeksplorasi berbagai pilihan dengan rasa aman. Mereka memberikan ruang bagi anak untuk mencoba dan gagal, tanpa menanamkan rasa takut terhadap kesalahan. Sebaliknya, orang tua yang terlalu mengontrol atau bahkan terlalu pasif justru dapat menghambat perkembangan identitas yang sehat. Kontrol yang berlebihan dapat membuat remaja merasa terkekang dan tidak memiliki kesempatan untuk benar-benar memahami siapa diri mereka, sementara sikap pasif dari orang tua dapat membuat remaja merasa tidak memiliki arah dan dukungan dalam menghadapi ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
Demikian pula, dukungan dari teman sebaya dapat memberikan validasi terhadap pilihan identitas yang diambil. Ketika seorang remaja merasa bahwa pilihannya diakui dan diterima oleh teman-temannya, ia akan lebih percaya diri dalam membangun identitasnya. Sebaliknya, lingkungan sosial yang tidak mendukung, seperti lingkungan yang penuh tekanan sosial atau ekspektasi yang bertentangan dengan nilai-nilai individu, dapat membuat remaja semakin terisolasi dalam proses pencarian dirinya. Oleh karena itu, meskipun kepribadian memiliki peran dalam membentuk identitas, lingkungan sosial adalah faktor yang sering kali lebih menentukan bagaimana remaja menavigasi perjalanan mereka dalam menemukan dan mengukuhkan jati diri.

Kritik terhadap Sistem Pendidikan dalam Membantu Pembentukan Identitas

Sistem pendidikan, sayangnya, sering kali gagal dalam memahami bahwa pendidikan tidak hanya soal akademik, tetapi juga soal pengembangan diri.
ADVERTISEMENT
Banyak sekolah menengah lebih menekankan pada seleksi akademik ketimbang membimbing remaja dalam mengeksplorasi identitas mereka. Pemilihan jurusan atau sekolah sering kali didasarkan pada skor ujian semata, bukan pada pemahaman yang mendalam mengenai minat dan potensi individu. Akibatnya, banyak remaja yang merasa terjebak dalam jalur akademik yang tidak mencerminkan jati diri mereka, tetapi lebih merupakan hasil dari tekanan eksternal.
Jika sistem pendidikan ingin benar-benar berperan dalam membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga memiliki identitas yang kuat, maka sudah saatnya kurikulum memberikan ruang lebih besar bagi eksplorasi diri. Program bimbingan karier yang lebih fleksibel, kesempatan untuk mencoba berbagai bidang studi sebelum membuat komitmen jangka panjang, serta pendekatan pendidikan yang lebih personal dapat menjadi solusi.
ADVERTISEMENT
Menyeimbangkan Eksplorasi dan Komitmen
Menghadapi transisi sekolah bukan sekadar soal bagaimana remaja mampu menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang ada, tetapi juga soal bagaimana sistem pendidikan dan lingkungan sosial dapat memberikan dukungan yang cukup bagi perkembangan identitas mereka.
Eksplorasi yang sehat perlu diarahkan agar tidak berujung pada kebingungan yang berkepanjangan, sementara komitmen yang terburu-buru tanpa eksplorasi yang cukup dapat berujung pada ketidakpuasan di kemudian hari. Oleh karena itu, keseimbangan antara eksplorasi dan komitmen harus menjadi tujuan utama dalam mendukung perkembangan identitas remaja.
Membantu Remaja Menemukan Diri di Tengah Perubahan
Transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah bukan hanya persoalan akademik, tetapi juga persoalan psikososial yang kompleks. Identitas remaja berkembang dalam ketegangan antara eksplorasi dan komitmen, dan bagaimana mereka menavigasi ketegangan ini bergantung pada faktor kepribadian serta dukungan sosial yang mereka terima.
ADVERTISEMENT
Jika kita ingin menciptakan generasi muda yang tidak hanya cerdas tetapi juga memiliki identitas yang kuat, maka kita harus mulai mengubah pendekatan kita dalam mendukung mereka. Sistem pendidikan, orang tua, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap remaja mendapatkan kesempatan yang adil untuk mengeksplorasi, menemukan, dan akhirnya berkomitmen pada identitas yang benar-benar mencerminkan diri mereka.
Sudah saatnya kita bertanya, apakah kita hanya mendidik mereka untuk nilai akademik, atau benar-benar membimbing mereka menemukan jati dirinya?