Konten dari Pengguna

Salah Satu Perlawanan M.A. Sentot untuk Memperjuangkan Kota Indramayu

Wike Kartika
Wike kartika lahir di Indramayu 23 juni 2002, Sebagai Mahasiswi di Universitas Negeri Semarang
28 Mei 2022 19:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wike Kartika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto editing pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto editing pribadi
ADVERTISEMENT
M.A Sentot adalah salah satu yang memperjuangkan Kota Indramayu jabatan pertama yang dimilikinya sebagai Komandan BKR di desa Kandanghaur, Kabupaten Indramayu pada 27 Agustus 1945. Setelahnya, pada tanggal 15 November 1945, dengan pangkat Letnan Satu M.A Sentot pun diangkat menjadi Danki III/Bn.IV/XI/SGDII di Indramayu, Jawa Barat. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Mei 1946 dalam pangkat yang sama ia diangkat menjadi Dan Ki/Bn.V/V/SGD II di Majalengka, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Salah satu perjuangan Sentot pada Masa Perang Fisik Secara kronologis, terbentuknya Pasukan Setan (hantu) yang dipimpin oleh M.A Sentot di Indramayu pada masa kemerdekaan (1945-1947), tidak lepas dari dampak Agresi Belanda yang pertama. Kala itu Belanda melancarkan agresinya dengan kondisi pasukan yang prima, bersenjata lengkap dan canggih. Untuk menghindari penyerangan secara frontal oleh pasukan Belanda, maka kesatuan resmi Tentara Republik Indonesia (TRI) diputuskan untuk dibubarkan. Dalam kondisi yang demikian, semua prajurit dari tentara Republik diinstruksikan untuk berpencar dan melaksanakan perjuangan mereka dengan membuat suatu kelompok-kelompok gerilya bersama rakyat diberbagai tempat-tempat, sembari melakukan diskusi antar sesama laskar-laskar perjuangan.
Prajurit Batalyon VI segera membubarkan diri dan kembali ke kampung halamannya masing-masing untuk melanjutkan perjuangan dengan melakukan perang gerilya. Kondisi itu membuat Letnan Satu M.A Sentot terpanggil untuk kembali ke Indramayu dengan berjalan kaki bersama tiga orang anak buahnya melakukan konsolidasi untuk menyusun kekuatan. Anggota Batalyon VI yang membubarkan diri kembali dikumpulkan meskipun hanya berhasil membentuk satu regu dengan modal dua pucuk senjata karaben dan sepucuk pistol buldog. Markas sementara mereka adalah di Desa Plumbon, tempat kelahiran M.A Sentot.
ADVERTISEMENT
Di Indramayu, Letnan Satu M.A Sentot membentuk pasukan sendiri beranggotakan orang-orang pilihannya. Inilah cikal bakal Pasukan Setan yang menjadi “hantu” menakutkan bagi para serdadu Belanda. Betapa tidak, meskipun tentara Belanda dibekali persenjataan yang lengkap namun bisa kocar-kacir oleh ulah Pasukan Setan yang hanya bermodal senjata rampasan. Sebuah pasukan kecil yang justru sering menimbulkan kerugian besar di pihak Belanda.
Pada 1 Agustus 1947, Pasukan Setan (hantu) mulai melaksanakan aksinya, yaitu mengganggu para tentara Belanda yang sedang melakukan patroli di jalan-jalan besar yang menghubungkan antara Indramayu dengan Jakarta. Pasukan Setan (hantu) pada saat itu mampu melaksanakan mobilitas yang cukup tinggi hingga tidak mudah untuk dilacak keberadaannya. Mereka dapat berpindah-pindah tempat setelah melakukan gangguan, secepat “setan” menghilang dari pantauan tentara-tentara Belanda yang terkejut karena serangan dari pasukan setan (hantu). Salah satu senjata kebanggaan Pasukan Setan berupa Bren-Gun, yang mereka yakini “si Untung”, merupakan hasil rampasan pada saat terjadinya bentrokkan dengan tentara Belanda di Desa Larangan. Pasukan M.A Sentot disebut Pasukan Setan karena seluruh anggota pasukannya bisa menghilang.
ADVERTISEMENT
Konon, anggota Pasukan Setan ini memiliki kekuatan dan kesaktian yang luar biasa sehingga selalu lolos dari kepungan pasukan Belanda. Sekali waktu datang menyerang dan setelah itu langsung menghilang. Mereka menghilang tapi tidak kembali ke markas sehingga sulit dilacak oleh Belanda. Pasukan ini sungguh menjadi fenomena. Anggota mereka yang hanya berjumlah belasan orang sanggup mengobrak-abrik kantung-kantung kekuasaan Belanda.
Sesudah penyerangan itu berakhir, kemudain para gerilyawan dan sejumlah penduduk yang pada saat itu mengungsi telah pulang ke kediamannya masing-masing. Pada kejadian serangan besar-besaran itu meninggalkan dendam yang mendalam kepada pihak-pihak Belanda ataupun rakyat pribumi yang sudah berkhianat. Kerugian-kerugian yang dialami oleh warga setempat sangatlah besar, selain mendapatkan kerugian materiil, secara psikis pun para penduduk mengalami trauma yang berat. Setelah berlalu peristiwa tragis itu, tepat pada malam harinya M.A Sentot memberikan komando kepada seluruh anggota gerilyawan untuk pergi meninggalkan tempat markas mereka di Kampung Waledan dan Kujang.
ADVERTISEMENT