Konten dari Pengguna

Perkawinan Nglangkahi dalam perspektif Hukum Adat Jawa dan Hukum Positif

Wildan
Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah UINSA
14 Oktober 2024 11:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wildan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi perkawinan nglangkahi ( sumber, https://www.istockphoto.com/id/)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi perkawinan nglangkahi ( sumber, https://www.istockphoto.com/id/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di Desa Tambak Sumur, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, terdapat seorang adik bernama Duwi yang ingin menikah dengan laki-laki tampan bernama Abdullah. Namun, kakaknya, Syukron, belum menikah dan merasa khawatir bahwa adiknya akan meninggalkannya jika dia menikah duluan. Menurut adat lokal, jika seorang adik menikah tanpa izin kakaknya, maka ia harus menjalani upacara "Langkahan" sebagai syarat untuk melangkahi kakaknya. Upacara Langkahan ini melibatkan beberapa tahapan ritual, termasuk memberikan hadiah kepada kakaknya dan melakukan beberapa doa-doa khas. Dalam kasus ini, Duwi dipersilakan untuk melakukan upacara Langkahan dengan cara memberikan hadiah kepada kakaknya, Syukron lalu melakukan doa-doanya. Setelah semua proses selesai, Syukron pun memberikan izin kepada Duwi untuk dinikah i dengan Abdullah. Dari kasus ini perlu diingat bahwa adat tidak sepenuhnya diterima oleh semua kalangan Masyarakat, bisa kemungkinan dianggap kurang baik karena potensinya bisa membuat konflik dalam keluarga. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan konteks sosio-budaya seperti ini.
ADVERTISEMENT
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah antara dua individu yang diakui oleh hukum dan norma sosial. Dalam konteks masyarakat Jawa, perkawinan tidak hanya dilihat sebagai hubungan pribadi, tetapi juga sebagai suatu peristiwa sosial yang melibatkan keluarga dan masyarakat. Salah satu bentuk perkawinan yang dikenal dalam masyarakat Jawa adalah perkawinan nglangkahi. Perkawinan nglangkahi, sebuah fenomena sosial budaya yang unik, di mana masyarakat Jawa, telah menjadi topik perbincangan menarik dalam konteks hukum. Praktik di mana seseorang menikah sebelum saudara kandungnya yang lebih tua, sarat ini bermakna simbolis, nilai-nilai sosial, dan implikasi hukum yang kompleks. Dalam konteks hukum pidana, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah praktik ini dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilakukan analisis mendalam terhadap norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia, baik dari segi hukum adat maupun hukum positif. Konflik antara norma adat dan norma hukum negara seringkali memunculkan permasalahan yang kompleks. Salah satunya adalah praktik perkawinan melangkah dalam masyarakat Jawa. Di satu sisi, praktik ini juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma-norma adat yang telah ada sejak lama. Di sisi lain, dalam konteks hukum positif, setiap individu memiliki kebebasan untuk menikah. Hak untuk menikah merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental. Namun, konflik antara hukum adat dan hukum positif sering kali muncul. Misalnya, seorang individu yang melakukan perkawinan nglangkahi mungkin menghadapi sanksi adat meskipun secara hukum positif perkawinan tersebut sah. Hal ini menciptakan dilema bagi individu yang terlibat, di mana mereka harus memilih antara mematuhi hukum adat atau hukum positif.
ADVERTISEMENT
Perspektif Hukum Adat Jawa
Dalam pandangan hukum adat Jawa, perkawinan nglangkahi seringkali dianggap sebagai pelanggaran terhadap tatanan sosial yang sudah mapan. Konsekuensi dari tindakan ini bisa sangat beragam, mulai dari stigma sosial, sanksi adat, hingga kekhawatiran akan dampak mistis.
Pada dasarnya, syarat yang utama dalam perkawinan nglangkahi ini yakni mendapatkan keikhlasan dari seorang kakak dalam memberi izin kepada adik nya, untuk melaksanakan perkawinan terlebih dahulu. Kuncinya ada pada keikhlasan, dikalangan masyarakat adat Jawa percaya bahwa perkawinan itu dilandasi oleh keikhlasan dari keluarga dan lingkungan sekitar untuk menghindarkan rumah tangga dari malapetaka dan musibah. Disini ada beberapa alasan mengapa perkawinan nglangkahi dipandang negatif dalam hukum adat Jawa adalah:
1. Hierarki usia: Usia dianggap sebagai simbol pengalaman dan kedewasaan. Menikah sebelum kakak kandung dianggap sebagai bentuk ketidakhormatan terhadap hierarki usia dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
2. Keharmonisan keluarga: Perkawinan nglangkahi dikhawatirkan dapat mengganggu keharmonisan dalam keluarga dan menimbulkan kecemburuan di antara saudara kandung.
3. Mitos dan kepercayaan: Banyak masyarakat Jawa yang percaya bahwa perkawinan nglangkahi akan membawa sial atau kutukan bagi keluarga.
Sanksi Adat yang mungkin dijatuhkan kepada pelaku perkawinan nglangkahi bisa berupa denda, pengucilan dari masyarakat, atau bahkan kutukan. Tujuan dari sanksi ini adalah untuk memberikan efek jera dan menjaga kelangsungan nilai-nilai adat.
Perspektif Hukum Positif Indonesia
Hukum positif Indonesia, khususnya Undang-Undang Perkawinan, tidak secara eksplisit melarang praktik perkawinan nglangkahi. Undang-undang ini lebih fokus pada persyaratan umum sahnya suatu perkawinan, seperti usia minimal, persetujuan kedua belah pihak, dan tidak adanya hubungan perkawinan yang sah dengan orang lain. Hukum positif yang ada di Indonesia, juga mengatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. Lebih jauhnya, Pasal 2 ayat (1) UU perkawinan menyebutkan yaitu Perkawinan yang sah apabila menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu. Hukum ini mengakui berbagai bentuk perkawinan, termasuk yang dilakukan berdasarkan hukum adat, selama memenuhi syarat yang ditentukan. Namun, hukum positif tidak secara eksplisit mengatur tentang perkawinan nglangkahi, sehingga sering kali terjadi benturan antara hukum adat dan hukum positif.
ADVERTISEMENT
Kemudian ada juga dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan menjelaskan tentang perkawinan yang dilarang antara dua orang yaitu:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Namun ada juga yang terdapat dalam beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam konteks hukum positif ini, diantara lain:
ADVERTISEMENT
Kebebasan menikah: Setiap warga negara memiliki hak untuk menikah dan memilih pasangan hidupnya.
Persamaan kedudukan: Hukum tidak membedakan seseorang berdasarkan usia atau urutan kelahiran dalam hal hak untuk menikah.
Pluralisme hukum: Indonesia mengakui keberadaan hukum adat, namun dalam hal yang bertentangan dengan hukum negara, maka hukum negara yang berlaku.
Kesimpulan
Perkawinan nglangkahi dalam masyarakat Jawa mencerminkan kompleksitas interaksi antara hukum adat dan hukum positif. Hukum adat memberikan sanksi bagi pelanggaran norma sosial, sementara hukum positif memberikan sanksi bagi pelanggaran norma sosial, sementara hukum positif memberikan pengakuan terhadap keberagaman praktik perkawinan. Keduanya memiliki peran penting dalam membentuk perilaku sosial masyarakat.
wildan habibi, mahasiswa hukum ekonomi syari'ah UINSA