Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Merangkul Masyarakat dengan Bahasa
14 April 2020 11:14 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Wildan Pradistya Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pandemi virus corona (COVID-19) di Indonesia tidak hanya memunculkan masalah pada bidang kesehatan saja. Kini, muncul pula kekhawatiran dalam bidang sosial. Kasus terbaru yang ramai diperbincangkan publik adalah penolakan jenazah pasien positif COVID-19 maupun PDP (Pasien Dalam Pengawasan) di berbagai daerah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Seperti yang terjadi di Kab. Gowa, Sulawesi Selatan (29/3), Kab. Banyumas, Jawa Tengah (1/4), dan Kab. Semarang, Jawa Tengah (9/4). Bahkan dalam salah satu video yang viral di media sosial (medsos) itu, terlihat warga setempat memblokade jalan dan melempari batu ke arah petugas kesehatan yang hendak mengantarkan jenazah.
Jika dilihat dari lokasinya, kejadian tersebut terdapat di daerah pedesaan (meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi di daerah lain). Hal ini sungguh bertolak belakang dengan karakter masyarakat desa yang dalam kesehariannya ramah dan memiliki sifat gotong royong yang tinggi.
Hal serupa saya rasakan pula karena tumbuh besar di sebuah desa, di Kab. Kediri, Jawa Timur. Ketika ada warga yang meninggal seluruh warga melayat dan menghentikan aktivitas bekerja di ladang sejenak. Bahkan, jika meninggalnya malam hari dan baru dikebumikan keesokan harinya, banyak warga yang rela tidak tidur dan memilih berada di rumah duka.
ADVERTISEMENT
Masyarakat yang tinggal di pedesaan cenderung mudah menerima informasi baru. Fajrie (2017) dalam penelitian yang dipublikasikan di Jurnal INJECT (Interdisciplinary Journal of Communication) mengungkapan masyarakat pesisir dalam berkomunikasi mempunyai sifat terbuka dan mau menerima saran serta pendapat dari orang lain.
Mudahnya masyarakat menerima informasi baru seperti pisau bermata dua. Di satu sisi menguntungkan tapi disisi lain bisa menjadi cambuk. Seperti penolakan jenazah pasien covid-19 ini yang ditengarai karena kurang teredukasinya masyarakat dan pemahaman yang keliru. Salah satu penyebabnya kemungkinan adalah “konsumsi informasi” yang tidak benar (hoax) sudah masuk di masyarakat terlebih dahulu daripada informasi valid dari pemerintah dan ahli. Alhasil, masyarakat menginterpretasikan semua informasi yang masuk tanpa mereduksinya terlebih dahulu. Bahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hingga (1/4) saja menemukan 405 hoax mengenai covid-19.
ADVERTISEMENT
Dalam strategi penyampaian informasi covid-19 ke masyarakat, pemerintah sebenarnya sudah bereaksi cepat. Terbukti dengan penunjukan jubir (juru bicara) terkait virus covid-19 satu hari pasca kasus covid-19 pertama terkonfirmasi di Indonesia. Langkah pemerintah dengan menunjuk jubir, Achmad Yurianto memang patut diapresisasi. Tapi tentu saja hal itu belumlah cukup. Informasi dari Sang Jubir ini tidak menyeluruh dapat ditangkap oleh masyarakat di Indonesia. Hal ini sebenarnya sudah pula disadarinya.
“Message yang kita munculkan di Jakarta itu selalu kita berpikir akan ditangkap orang di daerah seperti persepsi kita menangkap berita itu. Sehingga kemudian ini yang membuat bahaya beberapa hal kita menjadikan bahwa blanket policy, dengan kebijakan semuanya kena, padahal tidak. Saya katakan seperti di Atambua saja begitu saya berbicara tentang Covid ini, mereka lebih banyak bertanya Covid itu apa.” Itulah beberapa kalimat yang diucapkan Achmad Yurianto dalam sebuah wawancara yang diunggah di channel youtube Deddy Corbuzier (17/3) lalu.
ADVERTISEMENT
Informasi terkait covid-19 ini sebenarnya sudah beredar baik melalui televisi maupun media massa. Namun, yang harus digarisbawahi adalah tidak semua masyarakat Indonesia suka menonton dan membaca berita. Bahkan ada yang berpendapat bahwa “budaya membaca bukan budaya Indonesia”. Oleh karena itu, perlu adanya penyampaian informasi terlait covid-19 dengan pendekatan Sosiolinguistik. Sosio berarti masyarakat dan linguistik berarti bahasa. Chaer dan Agustina (2003) mengemukakan Sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisipliner yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat.
Tak bisa dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara multikultural. Heterogenitas masyarakat itu menyebabkan hadirnya variasi-variasi bahasa baik berdasar pada asal daerah, strata sosial, status, maupun pranata sosial yang mengatur kehidupan mereka bermasyarakat (Ibrahim, 2014). Jika merujuk pada bidang kajian Sosiolinguistik, setiap daerah memiliki karakteristik bahasanya dan cara berkomunikasi masing-masing. Oleh karena itu, penggunaan bahasa dengan pendekatan daerah layak dipertimbangkan. Seperti peribahasa yang berbunyi, “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”.
ADVERTISEMENT
Kembali pada kasus penolakan jenazah covid-19, seharusnya penyuluhan oleh pemerintah terkait protokol pemakaman jenazah tidak hanya dilakukan oleh dinas kesehatan setempat saja. Bisa melalui hingga tataran terkecil. Mulai dari Camat, Lurah, Tokoh Setempat, Ketua RW sampai RT. Mereka-mereka inilah yang memahami dan dekat dengan masyarakat. Sebab, kadang masyarakat lebih percaya dengan orang di sekitar mereka daripada informasi dari luar.
Jika dalam tataran aparatur desa sudah teredukasi terlebih dahulu terkait protokol pemakaman jenazah sesuai standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, maka jika ada kegaduhan merekalah yang akan dimintai klarifikasi terlebih dahulu oleh masyarakat setempat. Menjadi penetral akan berita hoax yang merebak. Dan menguliti provokator-provokator, penyebar berita yang tidak benar.
Penggunaan bahasa daerah dalam menyampaikan informasi juga dapat menjadi opsi pemerintah. Kenapa demikian? Karena ada sebagian masyarakat yang terbiasa menggunakan bahasa daerah. Dan tidak semua masyarakat menguasai bahasa Indonesia merupakan fakta yang juga tidak boleh diabaikan begitu saja. Penggunaan bahasa yang mudah dipahami ini membuat informasi cepat sampai dan memunculkan ketenangan di masyarakat. Bisa menjadi penangkal dari kepanikan.
ADVERTISEMENT
Namun, pemerintah tidak boleh lepas tangan begitu saja. Pemerintah harus mengawal informasi yang disampaikan oleh aparatur desa sesuai dengan standar yang ditetapkan. Jika tidak, maka bisa jadi situasinya akan kian tidak kondusif. Intinya adalah masyarakat ingin mendapatkan informasi dari hati ke hati.
Dalam situasi saat ini, kita wajib gotong royong, saling membantu, dan saling mengingatkan. Bahkan jika tidak bisa ketiganya, berempati saja sudah cukup. Saya jadi teringat pesan dari alm. Gus Dur (Presiden RI keempat). “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”
Wildan Pradistya Putra, Pendidik di Tazkia International Islamic Boarding School (IIBS) Malang dan Pemerhati Bahasa, Sosial, & Budaya.
ADVERTISEMENT