Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Koperasi Harus Hindari Proyek Gajah Putih
5 November 2021 19:31 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Wildanshah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Proyek gajah putih” adalah istilah yang merujuk pada proyek yang prestisius namun tidak menguntungkan secara bisnis. Proyek gajah putih merujuk pada bisnis yang sedang berjalan maupun yang telah selesai.
ADVERTISEMENT
Merujuk sejarah, konsep “Gajah putih” telah dikenal di masa-masa kerajaan kuno di Asia Timur, seperti Laos, Kamboja dan Thailand.
Pada masa itu, gajah putih dianggap sebagai hewan suci. Dapat dikatakan, hanya keluarga-keluarga kaya raya yang mampu memiliki gajah putih, dan pada kenyataannya hanya keluarga raja yang mampu merawatnya.
Raja yang memiliki gajah putih sangat dihormati. Namun pemilik gajah putih terpaksa mengeluarkan biaya besar untuk memelihara “hewan suci”.
Keberadaan gajah putih seperti berkah sekaligus kutukan bagi penerimanya.
Berkah karena gajah putih dapat meningkatkan status sosial pemiliknya, dan kutukan karena perlu biaya mahal untuk sesuatu yang tidak memiliki manfaat ekonomis.
Proyek gajah putih yang terkenal di alami oleh warga Detroit. Pada tahun 1960-an, pemerintah kota tersebut, menginisiasi proyek Detroit People Mover (DPM). Agenda DPM diharapkan mampu menjadi transportasi cepat yang dapat menampung 65.000 penumpang setiap hari.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, setelah proyek ini selesai pada tahun 1987, alat transportasi ini hanya diakses oleh 6.000 orang perhari. Ini menunjukkan proyek DPM tidak hemat biaya dan menguras anggaran begitu besar untuk perawatan.
Proyek gajah putih juga terjadi diberbagai proyek di Indonesia, seperti proyek monorel dan Lintas Raya Terpadu (LRT) di DKI Jakarta yang kini masih menjadi polemik hingga sekarang. akibat beban biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost) menjadi jebakan yang sangat menjerat produktivitas di sektor lain.
Koperasi perlu memetik hikmah dari fenomena gajah putih. Kita perlu cermat menganalisis setiap proyek besar, ikonik atau raksasa dengan manajemen dan strategi alokasi sumber daya secara kritis.
Banyak anggapan di Indonesia, bahwa negeri kita kekurangan infrastruktur. Padahal, yang terjadi sebaliknya, ini lebih pada kekeliruan alokasi sumber daya yang ambisius dalam membuat proyek “ikonik” yang terlalu mahal, dan diperparah karena perawatannya yang sangat boros sehingga membuang sumber daya yang seharusnya bisa dialokasikan pada sektor-sektor lainnya.
ADVERTISEMENT
Sejarah membuktikan proyek gajah putih selalu gagal memiliki tujuan yang jelas. Singkatnya, proyek gajah putih terlalu berorientasi pada gengsi alih-alih pada fungsi. Sindrom ini juga menjangkit koperasi kita.
Bagaimana fenomena gajah putih melanda koperasi? Biasanya hal ini dimulai saat justifikasi pasca proyek lebih sering dibahas ketimbang pada persiapan pra-proyek.
Ekspektasi keberhasilan terlalu dibesar-besarkan karena buruknya analisis risiko. Selain itu, proyek yang diinisiasi tercampur dengan kepentingan politik.
Untuk menghindari ini, koperasi kita butuh keberanian memisahkan kepentingan sponsor proyek dengan manajer proyek. Sponsor proyek berperan memberikan dukungan kepada manajer proyek, bukan malah “mengelola” proyek.
Koperasi perlu memperbaiki prosedur untuk mengidentifikasi risiko tata kelola proyek besar dengan ukuran yang paling realistis. Dengan demikian, koperasi menjamin pada setiap proyek ada target waktu, biaya, spesifikasi yang dapat disepakati oleh kapasitas masing-masing pihak.
ADVERTISEMENT
Indikator kinerja dan sumber daya harus dihitung secara presisi dengan nilai kegunaannya bagi kesejahteraan seluruh anggota koperasi. Karena jelas bagi masyarakat miskin, mereka lebih butuh dan mampu memelihara “sapi putih” (benefit) untuk meningkatkan kualitas hidup, daripada “gajah putih” (prestige).