Jelajah Sejarah: Ibu Joty dan Perjanjian Linggarjati

NP Widhia SA
Civil servant. Proud member of Sesdilu Di6i7al. Someone who can rise and shine only after a cup of coffee.
Konten dari Pengguna
31 Agustus 2020 23:48 WIB
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NP Widhia SA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada berbagai tonggak sejarah yang bisa kita bahas untuk melakukan petualangan sejarah Indonesia. Salah satunya adalah Perjanjian Linggarjati. Kenapa Perjanjian Linggarjati? Karena ternyata perjanjian ini adalah momen pertama Indonesia dan Belanda duduk sejajar dan setara untuk berunding. Tapi yang ingin penulis ceritakan adalah sosok Ibu Joty Terkulve. Jadi, siapakah beliau?
Joty Ter Kulve di masa muda (sumber foto: belindomag.nl)
Ibu Joty Ter Kulve-van Os adalah putri dari Johannes van Os, pedagang Belanda, pemilik rumah Linggarjati di masa Hindia Belanda dulu. Di tahun 1930, Johannes van Os merenovasi bangunan sederhana menjadi bangunan megah untuk tempat tinggal keluarganya. Ibu Joty yang lahir di Semarang pada tahun 1927, sempat merasakan masa kanak-kanak yang sangat indah di rumah Linggarjati tersebut. Sampai dengan tahun 1945 ketika ia beserta keluarganya dibawa ke kamp internering Jepang (hukuman pengasingan dalam negeri). Baik Ibu Joty maupun keluarganya tidak pernah menyangka, kalau rumah tempat tinggal mereka kelak akan memainkan peran penting di sejarah kemerdekaan Indonesia. Sepeninggal keluarga Ibu Joty, Jepang menyita rumah Linggarjati dan menjadikannya sebuah hotel.
Suasana Rumah Linggarjati saat negosiasi (sumber foto: indonesia-nederland.org)

Rumah Linggarjati

ADVERTISEMENT
Pada tanggal 11-13 November 1946, setelah peristiwa 10 November di Surabaya, Indonesia dan Belanda sepakat bertemu membahas status kemerdekaan Indonesia, di Linggarjati. Kenapa di Linggarjati? Menurut Ibu Joty, saat itu Indonesia dan Belanda tidak dapat memutuskan lokasi pertemuan. Indonesia menguasai Yogyakarta, sementara Belanda dan sekutu menguasai Bandung. Kedua belah pihak tidak ingin pertemuan berlangsung di wilayah lawan. Sebagai upaya mencari lokasi yang netral, Maria Ulfah, Menteri Sosial Kabinet Sjahrir II, mengusulkan rumah Linggarjati. Rumah Linggarjati dipandang cukup besar untuk menampung delegasi kedua belah pihak. Selain itu, suasana kota Kuningan juga tenang, dengan udara yang sejuk, dan pemandangan indah kaki gunung Ciremai. Kebetulan sekali, H.J. van Mook, anggota delegasi Belanda, adalah teman dari Johannes van Os (ayah dari Ibu Joty). Belanda pun menerima usulan untuk berunding dengan Indonesia di rumah Linggarjati.
Ketua delegasi Indonesia, Sutan Sjahrir berjabat tangan dengan Ketua Delegasi Belanda, Wim Schermerhorn (sumber foto: Indonesia-nederland. org).
Pada saat perundingan Linggarjati berlangsung, Ibu Joty sudah berada di Belanda, menempuh studi ilmu hukum di Utrecht. Peristiwa di rumah Linggarjati adalah satu bukti bahwa dialoglah yang dapat menyelesaikan permasalahan, bukan peperangan dan serangan senjata. Tentu saja dialog itu butuh difasilitasi dengan suasana yang kondusif, yaitu suasana tenang rumah Linggarjati.
ADVERTISEMENT

Semangat Ibu Joty

Setelah kembali ke Belanda pada tahun 1946, Ibu Joty tidak bisa melupakan Indonesia dan rumah Linggarjati. Beliau kemudian bergabung dengan organisasi non-profit Moral Rearmament. Organisasi ini bergerak dibidang kemanusiaan untuk membangun kembali manusia Eropa paska Perang Dunia II. Di kantor pusat organisasi ini jugalah Konrad Adenauer dan Robert Schuman, para pendiri Uni Eropa, meletakkan dasar-dasar lahirnya Eropa yang baru.
Ibu Joty yang sempat mengalami kekejaman tentara Jepang, tidak bisa melupakan trauma tersebut. Dalam suatu kesempatan, beliau bertemu dengan delegasi militer Jepang. Diwarnai oleh memori dan trauma masa lalu, beliau menuturkan saat itu ia tidak dapat menahan perasaan benci kepada mereka. Namun, Ibu Joty berhasil berdamai dengan pengalaman masa lalu tersebut.
Ibu Joty saat menerima Linggarjati Award di tahun 2012 (sumber foto: Indonesia-Nederland.org)

Indonesia-Nederland Society (INS)

Berdasarkan pengalaman hidupnya tersebut, di tahun 2002, diusianya yang ke-75, Ibu Joty bersama adiknya, Willem Van Os, mendirikan Yayasan “Friends of Linggarjati. Inisiatif ini dengan cepat mendapat respon dari berbagai komunitas di kedua negara. Tahun 2011 lahirlah organisasi Indonesia-Nederland Society (INS). Melalui inisiatif ini, Ibu Joty ingin agar generasi muda tidak lupa bahwa Indonesia-Belanda, sejak awal sudah dapat duduk bersama di rumah Linggarjati untuk mewujudkan perdamaian dunia, melalui dialog dan diplomasi.
ADVERTISEMENT
Organisasi ini kini memiliki peran penting dalam hubungan bilateral kedua negara. Pada tahun 2016, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menerima penghargaan Linggarjati, yang disaksikan oleh Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte. Tokoh-tokoh penting yang juga dianugerahi Linggarjati Award adalah Dr. Bernard Bot, ex-Menlu Belanda (2013), Dr. Hassan Wirajuda, ex-Menlu RI (2014), dan Dr. Arifin Siregar (2015). Ibu Joty sendiri menerima penghargaan Linggarjati di tahun 2012.
Menteri Luar Negeri RI, Ibu Retno Marsudi, menerima Linggarjati Award, di tahun 2016.
Dengan semangat dan karismanya, Ibu Joty juga telah menginspirasi banyak generasi muda di Indonesia dan Belanda. Salah satunya dengan lahirnya Indonesia-Nederland Youth Society. Tidak henti-henti, Ibu Joty terus menyuarakan pentingnya kesadaran dan sikap saling menghormati satu sama lain. Ibu Joty telah berhasil membangun konektivitas antara generasi muda kedua negara melalui memori kolektif tentang rumah dan makna pertemuan Linggarjati. Ibu Joty sepertinya ingin agar generasi muda dapat membawa nilai-nilai pertemuan Linggarjati dalam konteks masa kini.
ADVERTISEMENT

Perjanjian Linggarjati dan Aspek Diplomasi

Tidak dapat dipungkiri, kesuksesan perjanjian Linggarjati merupakan tonggak sejarah lahirnya diplomasi Indonesia. Di rumah Linggarjati yang sejuk tersebut, delegasi Indonesia dan Belanda untuk pertama kalinya berhasil mencapai kata sepakat, sebagai para pihak yang setara. Perjanjian Linggarjati merupakan bukti keunggulan diplomasi Indonesia. Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir berhasil menyertakan pasal penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dimana perselisihan menyangkut perjanjian akan diajukan ke Dewan Keamanan PBB. Siapa sangka, delapan bulan kemudian, Belanda mengingkari kesepakatan tersebut. Pada tanggal 20 Juli 1947, Belanda melakukan Agresi Militer pertama. Akibat dari ingkar janji ini, dengan berbekal Pasal 17 Perjanjian Linggarjati tentang penyelesaian sengketa, delegasi Indonesia berhasil membawa permasalahan ini ke tingkat internasional, yaitu forum PBB. Pidato Sutan Sjahrir tanggal 14 Agustus 1947 pada sidang Dewan Keamanan PBB, di Lake Success, New York, membuat banyak negara angkat topi dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan pada periode paska 1945 diplomasi adalah ujung tombak perjuangan Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan mendapatkan pengakuan internasional.
ADVERTISEMENT

Saat ini..

Ibu Joty adalah salah satu perempuan paling inspiratif yang pernah penulis temui. Saat ini beliau sudah berusia 93 tahun, dan tinggal di kompleks perumahan Wassenaar, tidak jauh dari Wisma Duta Besar RI Den Haag. Di usianya yang tidak lagi muda tersebut, -pikiran Ibu Joty masih tajam, dan semangatnya masih membara. Ibu Joty mengingatkan kalau perjanjian Linggarjati tercapai karena Indonesia dan Belanda saling mendengarkan, dan kita perlu belajar dari peristiwa tersebut. Dalam sebuah wawancara di tahun 2018, dimana penulis juga turut hadir, Ibu Joty dengan penuh semangat menyampaikan:
Well noted, Ibu, dan terima kasih.
Penulis bersama Ibu Joty pada acara History Telling Class di Sekolah Indonesia di Den Haag, 13 Maret 2018 (sumber: Liputan"Mengenang Linggarjati", program Sapa Indonesia Siang, Kompas TV, 22 Agustus 2018).