Marseille, Klub Sepak Bola yang Sudah Seperti Agama bagi Penduduk Kotanya

Wili Kurniawan
Full time dad. Part time diplomat. Spent 3 years working in Marseille
Konten dari Pengguna
26 Maret 2021 5:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wili Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana Stade Orange Vélodrome yang sering diibaratkan sebagai suatu kuil/tampat ibadah (Credit: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Stade Orange Vélodrome yang sering diibaratkan sebagai suatu kuil/tampat ibadah (Credit: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ketika klub sepak bola Olympique de Marseille (OM) bermain di hadapan 67.000 suporternya di Stade Orange Vélodrome, yel-yel ini berkumandang dan menggetarkan seantero stadion. Teriakan dan hentakan kaki para suporter OM bahkan terdengar sampai beberapa kilometer jauhnya.
Marseille dan OM merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Kostum klub dipakai di mana-mana, pada hari pertandingan bahkan banyak dipakai penduduknya yang bekerja di kantor. Rumah dan apartemen banyak yang memasang bendera klub kebanggaan kota ini, bahkan lebih banyak dibandingkan bendera negara Prancis.
Kebanggaan Sebagai Klub Sepak Bola Paling Sukses di Prancis
Perayaan saat OM memenangkan Trophée des Champions tahun 2011 melawan OSC Lille (Sumber: Wikimedia Commons)
Semenjak didirikan pada tahun 1899, Olympique de Marseille bisa membanggakan diri sebagai klub sepak bola paling sukses di Prancis. Sebanyak 10 trofi liga utama (Ligue 1), 10 piala Prancis (Coupe de France), dan 3 piala liga (Coupe de la Ligue) berhasil diraih, terutama pada masa kejayaan klub ini di era akhir dekade 1980 dan awal 1990-an. Puncaknya, pada tahun 1993 OM berhasil menjadi klub pertama dan satu-satunya di Prancis yang meraih trofi Piala Champions Eropa. Rival utama mereka, Paris Saint Germain, yang lebih kaya dan bertabur bintang pun belum pernah sekalipun memenangkan Piala/Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Suporter Ultras yang Menggetarkan Lawan
Bunyi petasan dan cahaya suar selalu digunakan untuk mengintimidasi pemain dan suporter klub lawan (Sumber: Wikimedia Commons)
Efek audio dan visual merupakan senjata utama suporter OM di stadion. Cahaya suar dan kembang api yang menyilaukan mata, dicampur ribuan bendera dan spanduk yang dibentangkan, serta koreografi gerakan, melengkapi bisingnya suara petasan dan nyanyian para suporter yang memekakkan telinga di sepanjang pertandingan. Strategi yang dijalankan oleh puluhan ribu orang dan dikoordinasi oleh 8 kelompok ultras (pendukung garis keras) ini bertujuan untuk memecah konsentrasi pemain lawan sekaligus mengacaukan komunikasi dan koordinasi klub rival. Menyaksikan langsung pertandingan OM di Stade Orange Vélodrome merupakan pengalaman supranatural yang tidak bisa didapatkan di kebanyakan stadion sepakbola lainnya. Inilah mengapa bagi sebagian besar pendukungnya, OM disamakan dengan sebuah agama dan mendukung tim dengan menonton secara langsung di stadion disetarakan dengan pergi ke gereja/sinagog/mesjid.
ADVERTISEMENT
Semenjak lebih dari 4 dekade lamanya, fans OM dianggap sebagai suporter sepak bola paling menakutkan di seluruh Eropa. Hasrat dan kecintaan para fans terhadap klub kesayangannya seringkali tertuang dalam bentuk kekerasan dan intimidasi kepada suporter lawan. Puluhan kasus kericuhan dan tawuran di dalam dan luar stadion telah memakan ratusan korban luka, bahkan juga korban jiwa.
Rivalitas Merefleksikan Pertarungan Kelas
Suasana kontras Marseille (kiri) dan Paris (kanan) yang merupakan rival abadi di Prancis semenjak ratusan tahun lalu (Sumber: Wikipedia/Wikimedia Commons)
Dari seluruh klub di Prancis, Paris Saint Germain (PSG) merupakan rival utama sekaligus musuh bebuyutan OM. Sebagaimana layaknya rivalitas Persija Jakarta dan Persib Bandung di Indonesia, pertemuan antara kedua klub ini hampir selalu diwarnai dengan bentrokan antar pendukung dan kerusuhan. Pada akhirnya pihak penyelenggara liga memutuskan untuk melarang pendukung masing-masing klub untuk menyaksikan langsung ke stadion tim lawan ketika timnya melakukan pertandingan tandang, baik di Marseille maupun Paris.
ADVERTISEMENT
Rivalitas antara OM dan PSG bukanlah persaingan yang semata-mata bersumber dari kompetisi di lapangan hijau atau lokasi geografis. Persaingan kedua klub ini merupakan representasi dari tumbukan antar-kelas yang ada di Prancis. Marseille yang merupakan kota pelabuhan dan dipenuhi imigran merupakan representasi dari kelas pekerja, sementara Paris merupakan representasi dari kalangan elite dan borjuis yang melakukan eksploitasi kepada kaum pekerja selama ratusan tahun semenjak Kerajaan Prancis berjaya.
Klub yang Mempersatukan, Melebihi Agama
Cuplikan video semi-dokumenter "OM sans confession" yang mengisahkan persahabatan imam, pendeta, dan dan rabbi Yahudi karena kecintaan pada OM (Sumber: Youtube)
Dalam kota yang multikultural, keras, dan didominasi kalangan menengah ke bawah seperti Marseille, sepak bola merupakan satu-satunya hal yang menjadi pemersatu para penduduknya. Kesetiaan para pendukung OM terhadap klubnya acapkali disamakan dengan umat beragama yang taat menjalankan ibadahnya di tempat ibadah bernama Stade Orange Vélodrome.
ADVERTISEMENT
Dalam semi-dokumenter berjudul “L’OM sans confession”, diceritakan terdapat 3 orang imam, pendeta, dan rabbi Yahudi yang dipersatukan akan kecintaan mereka terhadap Olympique de Marseille. Ketiganya memahami bahwa pengajaran nilai-nilai agama kepada orang Marseille tidak bisa dipisahkan dengan hasrat dan loyalitas masyarakat terhadap OM. Mereka selalu memasukkan topik mengenai pertandingan OM dalam setiap kotbah, mengikuti seluruh pertandingan OM, dan memastikan bahwa kemenangan OM ada di dalam doa-doa mereka.
Layaknya sebuah agama, Olympique de Marseille menawarkan kepada penduduk Marseille suatu bentuk escapism, yakni pelarian dari dunia nyata dan seluruh beban hidup serta mendapatkan kedamaian dan persatuan melalui pertandingan yang berdurasi kurang lebih 90 menit.
Sebagaimana lirik dalam salah satu yel-yel mereka:
ADVERTISEMENT