Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Potensi Pemanfaatan Limbah Oil Palm Frond (OPF) dalam Industri Kelapa Sawit
29 Oktober 2024 8:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Willbert Tampubolon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kelapa sawit menjadi komoditas yang paling unggul di Indonesia dibandingkan jenis tanaman perkebunan lainnya. Ini terlihat dari besarnya luas lahan dan tingginya hasil produksi perkebunan kelapa sawit. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2023 mencapai angka 15,43 juta hektar. Dengan luas lahan sebesar itu, Indonesia dapat menghasilkan hingga 46,98 juta ton produksi kelapa sawit pada tahun 2023. Data tersebut menunjukkan bahwa industri kelapa sawit berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Industri kelapa sawit memberikan pemasukan bagi negara dan menyediakan lapangan pekerjaan yang besar. Di beberapa daerah, kelapa sawit menjadi sumber pendapatan utama sehingga berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Oil Palm Frond, Limbah yang Memiliki Potensi Besar
Berkembangnya industri kelapa sawit diringi dengan munculnya beberapa permasalahan, salah satunya mengenai limbah industri yang dihasilkan dari produksi minyak kelapa sawit. Limbah industri kelapa sawit dapat merusak lingkungan jika tidak diurus secara tepat. Ada tiga jenis limbah yang dihasilkan dari produksi minyak kelapa sawit, yaitu limbah padat, limbah cair, dan limbah gas. Limbah padat berasal dari beberapa bagian tanaman sawit seperti, tandan buah kosong, cangkang, sabut, batang, dan pelepah. Limbah cair berasal dari sisa proses pembuatan minyak kelapa sawit yang berbentuk cairan, disebut sebagai Palm Oil Mills Effluent (POME). Sedangkan limbah gas berasal dari gas buangan pabrik kelapa sawit hasil produksi CPO (Crude Palm Oil), gas yang dihasilkan adalah gas hidrogen dan metana.
ADVERTISEMENT
Dari ketiga jenis limbah tersebut, limbah padat adalah limbah dengan jumlah terbanyak. Dari berbagai jenis limbah padat, limbah yang paling banyak dihasilkan adalah pelepah kelapa sawit atau OPF. Oil Palm Frond (OPF) adalah bagian pelepah kelapa sawit yang dihasilkan pada saat panen. Manajemen limbah OPF yang lebih serius diperlukan untuk menjaga keberlanjutan dan meminimalkan dampak buruk bagi lingkungan. Berdasarkan data dari sebuah jurnal, OPF yang dihasilkan dari lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai angka 150-161 juta ton pada tahun 2018-2023. Indonesia sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia tentu berperan dalam tingginya angka limbah OPF.
Selama ini, limbah OPF di Indonesia hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak, pupuk untuk kebun, dan dijadikan produk kerajinan. Akan tetapi, jumlah limbah OPF sangat banyak karena dihasilkan pada setiap pemangkasan saat panen atau saat perawatan secara berkala. Dalam setiap hektarnya, dapat dihasilkan kurang lebih 486 ton pelepah sawit kering per tahun. Alhasil, sebagian besar pembersihan limbah OPF dilakukan dengan cara dibakar. Hal ini tentu berdampak buruk bagi lingkungan karena meningkatkan emisi karbon dengan jumlah yang besar. Padahal, OPF memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi bahan bakar alternatif. Di Malaysia, negara dengan produksi kelapa sawit terbesar kedua di dunia, pelepah kelapa sawit telah menjadi bahan potensial untuk pengembangan bioetanol. Bioetanol adalah senyawa alkohol yang diperoleh melalui proses fermentasi dengan bantuan mikroorganisme. Bioetanol dapat dimanfaatkan menjadi campuran bahan bakar bensin bahkan dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif.
ADVERTISEMENT
Inovasi Oil Palm Frond (OPF) Menjadi Bioetanol
Beberapa peneliti dari Indonesia telah berusaha untuk mengembangkan OPF menjadi bioetanol. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa OPF yang telah diolah dapat menghasilkan jus petiole yang mengandung karbohidrat berupa gula sederhana. Jus petiole adalah cairan yang dihasilkan dari batang atau pelepah tanaman. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dalam 25 kg OPF segar, dapat dihasilkan 12,5 kg jus petiole. Jus petiole dari OPF mengandung gula yang salah satunya berbentuk selulosa, selulosa ini dapat digunakan untuk pembuatan bioetanol. Potensi pasar bioetanol yang berbahan dasar jus petiole sangatlah besar. Namun, Indonesia sendiri belum memiliki pabrik bioetanol berbahan baku jus petiole. Kenyataan tersebut sangat disayangkan melihat besarnya jumlah limbah OPF di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), sebagai salah satu lembaga pengelola industri kelapa sawit di Indonesia, diharapkan dapat mengembangkan inovasi ini lebih lanjut lagi. Pemanfaatan limbah pelepah kelapa sawit atau Oil Palm Frond (OPF) akan sangat berpengaruh dalam menjaga keberlanjutan industri kelapa sawit dan mengurangi dampak buruk bagi lingkungan. Hal ini sejalan dengan peran BPDPKS dalam mendorong pencapaian Net Zero Emission atau emisi nol bersih. Net Zero Emission adalah jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan seimbang dengan jumlah emisi yang dihilangkan atau diserap atmosfer. Selain itu, pemanfaatan OPF menjadi bioetanol memiliki potensi besar dalam pasar bahan bakar alternatif. Sesuai dengan rencana penggunaan bahan bakar alternatif secara global demi menjaga keberlangsungan iklim. Jikalau inovasi ini terwujud, tentu akan membantu upaya BPDPKS dalam meningkatkan kontribusi industri kelapa sawit terhadap penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
Konklusi
Industri kelapa sawit perlu terus dikembangkan karena perannya yang sentral bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, isu keberlanjutan tidak boleh dikesampingkan. Hal tersebut harus diperhatikan secara serius agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan maupun masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga-lembaga terkait untuk mengembangkan inovasi terbaru demi memajukan industri kelapa sawit di Indonesia.
Willbert Tampubolon, mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Universitas Airlangga.