Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Penerapan e-Court di Indonesia
10 Maret 2021 7:57 WIB
Tulisan dari William Khoswan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang menempati posisi ke-4 untuk penduduk terbanyak di dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa berdasarkan sensus penduduk 2020, jumlah penduduk di Indonesia pada bulan September sebanyak 270,20 juta jiwa. Sedangkan menurut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk di Indonesia pada bulan Desember sebanyak 271,35 juta jiwa. Ditambah lagi dengan luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, tentu saja membuat penjangkauan ke seluruh penduduk sangat sulit dilakukan dengan waktu yang cepat.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, tentu saja diperlukan perubahan berupa modernisasi dan reformasi hukum untuk dapat menjangkau ke seluruh penduduk di Indonesia. Indonesia dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam berbagai bidang dan salah satunya adalah dalam hal penyelenggaraan peradilan untuk memudahkan siapapun untuk mengajukan tuntutan hak, baik gugatan maupun permohonan tanpa harus datang ke pengadilan. Selain alasan tersebut, pada akhir tahun 2019 dunia dilanda dengan pandemi coronavirus (COVID-19) yang membuat seluruh aktivitas penduduk terbatasi dan diwajibkan untuk berada di rumah demi meminimalisir penularan COVID-19.
Menanggapi hal tersebut, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (Perma No. 1 Tahun 2019) yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik (Perma No. 3 Tahun 2018). Fungsi Perma ini bertujuan untuk melakukan administrasi perkara di pengadilan secara elektronik dari mulai mendaftar perkara hingga mengambil salinan putusan. Peraturan ini adalah landasan hukum penyelenggaraan administrasi perkara dan persidangan di pengadilan secara elektronik untuk mendukung terwujudnya tertib administrasi perkara yang profesional, transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan modern. Pembentukan Perma No. 1 Tahun 2019 juga merealisasikan asas penyelenggaraan yaitu peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan dan juga merupakan salah satu bentuk implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
ADVERTISEMENT
A. Penerapan Sistem Informasi Pengadilan di Indonesia
Pada tanggal 6 Agustus 2019, Muhammad Hatta Ali selaku Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia menetapkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (Perma No. 1 Tahun 2019) dan mulai diundangkan pada tanggal 8 Agustus 2019. Perma ini dibuat dengan menimbang bahwa sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman, Indonesia harus memiliki pelayanan administrasi perkara di pengadilan secara lebih efektif dan efisien. Selain itu, pada Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dengan itu, perlu adanya pembaharuan administrasi dan persidangan guna mengatasi kendala dan hambatan dalam proses penyelenggaraan peradilan.
ADVERTISEMENT
Pasal 1 angka 2 Perma No. 1 Tahun 2019 menjelaskan bahwa sistem informasi pengadilan adalah seluruh sistem informasi yang disediakan oleh Mahkamah Agung untuk memberi pelayanan terhadap pencari keadilan yang meliputi administrasi, pelayanan dan persidangan secara elektronik. Sedangkan Pasal 1 angka 7 Perma tersebut memperjelas mengenai persidangan secara elektronik, yang berbunyi: “Persidangan Secara Elektronik adalah serangkaian proses memeriksa dan mengadili perkara oleh pengadilan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi.
Sebelum ditetapkannya Perma No. 1 Tahun 2019, administrasi perkara di pengadilan secara elektronik telah diatur oleh Perma No. 3 Tahun 2018. Namun para pihak berwenang menimbang bahwa Perma No. 3 Tahun 2018 perlu disempurnakan, terutama yang terkait dengan tata cara persidangan secara elektronik. Sebelum adanya peraturan terkait pengadilan secara elektronik (e-court), proses peradilan dilakukan secara manual. Dalam pelaksanaan peradilan tersebut, lembaga peradilan mengalami beberapa kendala, yaitu: (1) Proses penyelesaian sengketa yang lambat; (2) Biaya beracara yang mahal; (3) Pengadilan dianggap kurang responsif dalam penyelesaian perkara sehingga putusan cenderung tidak mampus menyelesaikan masalah; dan (4) Penumpukan perkara di tingkat Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Sejak diundangkannya Perma tersebut, seluruh kegiatan administrasi perkara dapat dilakukan secara elektronik. Administrasi perkara yang dimaksud telah dijelaskan di dalam Pasal 1 angka 6 Perma No. 1 Tahun 2019 yang mencakup penerimaan gugatan/permohonan/keberatan/bantahan/perlawanan/ intervensi, penerimaan pembayaran, penyampaian panggilan/pemberitahuan, jawaban, replik, duplik, kesimpulan, penerimaan upaya hukum, serta pengelolaan, penyampaian dan penyimpanan dokumen perkara dengan menggunakan sistem elektronik yang berlaku di masing lingkungan peradilan. Administrasi perkara dan persidangan secara elektronik dalam Perma ini hanya berlaku untuk jenis perkara perdata, perdata agama, tata usaha militer, dan tata usaha negara sesuai dengan bunyi Pasal 3 Perma No. 1 Tahun 2019.
Sistem e-court di Indonesia dapat diakses melalui situs https://ecourt.mahkamahagung.go.id/. Dalam situs tersebut, dijelaskan bahwa e-court adalah layanan bagi pengguna terdaftar untuk pendaftaran perkara secara online, mendapatkan taksiran panjar biaya perkara secara online, pembayaran secara online, pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik, dan persidangan yang dilakukan secara elektronik. Pada situs yang sama, terdapat beberapa layanan yang dapat diakses, yaitu: (1) e-Filing atau pendaftaran perkara online di pengadilan; (2) e-Payment atau pembayaran panjar biaya perkara online; (3) e-Summons atau pemanggilan pihak secara online; dan (4) e-Litigation atau persidangan secara online.
ADVERTISEMENT
Pengguna layanan administrasi perkara secara elektronik telah diatur pada BAB II Perma No. 1 Tahun 2019. Disebutkan pada Pasal 5 ayat (1) bahwa layanan administrasi perkara secara elektronik dapat digunakan oleh Pengguna Terdaftar dan Pengguna Lain. Pengguna Terdaftar adalah advokat yang memenuhi syarat sebagai pengguna sistem informasi pengadilan dengan hak dan kewajiban yang diatur oleh Mahkamah Agung. Sedangkan Pengguna Lain adalah subjek hukum selain advokat yang memenuhi syarat untuk menggunakan sistem informasi pengadilan dengan hak dan kewajiban yang diatur oleh Mahkamah Agung meliputi antara lain Jaksa Pengacara Negara, Biro Hukum Pemerintahan/TNI/POLRI, Kejaksaan RI, Direksi/Pengurus atau karyawan yang ditunjuk badan hukum (in-house lawyer), kuasa insidental yang ditentukan undang-undang. Jika dibandingkan antara Pengguna Terdaftar dan Pengguna Lain, bedanya adalah Pengguna Lain harus mendaftarkan akunnya di meja khusus e-court yang ada di PTSP Pengadilan sedangkan Pengguna Terdaftar dapat di mana saja. Selain itu, Pengguna Lain juga memiliki akun yang bersifat sementara hingga 14 hari sejak perkara diputus sedangkan Pengguna Terdaftar memiliki masa berlaku akun yang relatif lebih lama.
ADVERTISEMENT
B. Kelebihan dan Kelemahan dalam penggunaan e-court
Tentu saja dalam penggunaan e-court, terdapat beberapa manfaat bagi pengguna maupun pemerintah. Beberapa manfaat dari penggunaan layanan e-court dalam pengajuan gugatan ke pengadilan antar lain adalah: (1) penghematan ruangan secara fisik atau space savings ; (2) penghematan waktu atau time savings; (3) peningkatan akses terhadap dokumen kepada para pihak dan juga publik (increased document access to parties and the public); (4) penghematan biaya jangka panjang, seperti percetakan, pengiriman, dan biaya lainnya (long-term money savings); dan (5) peningkatan hasil kerja secara keseluruhan (improved work product).
Selain manfaat, tentu saja dalam penggunaan e-court, terdapat beberapa kelemahan, yaitu: (1) kekhawatiran biaya awal pengimplementasian teknologi (initial cost concerns); (2) masalah privasi, keamanan, serta kerahasiaan (privacy, security, and confidentiality concerns); (3) penolakan dari golongan advokat sebab tidak seluruh advokat memahami cara penggunaan e-court tersebut (resistance from the bar); kurangnya keseragaman sistem (system uniformity concerns); dan masalah permanensi catatan (record permanency concerns).
ADVERTISEMENT
Selain itu, kita harus melihat kepada kondisi sumber daya manusia serta kondisi geografis di Indonesia. Di Indonesia, banyak penduduk atau individu masih belum mendapatkan pembangunan yang merata. Hal ini juga diiringi dengan masyarakat yang kurang mengerti atau belum dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat. Kurangnya sosialisasi tekait e-court di Indonesia juga menjadi salah satu indikator masalah dalam pelaksanaan e-court itu sendiri.