Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketidakpastian Perhitungan Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi
22 Mei 2024 9:48 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Wilson Fu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi tata niaga di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 yang menjerat Harvey Moeis dan Helena Lim sebagai tersangka sangat menyita perhatian publik. Selain karena menjerat orang-orang ternama, kehebohan kasus tersebut juga disebabkan oleh nilai kerugian perekonomian negara yang disebutkan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin sebesar Rp 271 triliun.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Dalam rezim hukum pidana korupsi, kerugian negara terdiri atas kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara.
Namun, UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak memberi pengertian atas kedua istilah tersebut. Inilah kemudian yang menurut saya menimbulkan ketidakpastian hukum yang berpotensi disalahgunakan oleh penegak hukum dengan cara menafsirkan sesuai keinginannya.
Dalam kasus korupsi IUP PT Timah Tbk, nilai Rp 271 triliun merupakan nilai kerugian perekonomian negara yang diperoleh dari perhitungan nilai kerugian lingkungan yang dilakukan oleh ahli lingkungan Bambang Hero Saharjo.
ADVERTISEMENT
Perhitungan kerugian lingkungan tersebut dilakukan dengan merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (PermenLH) No. 7/2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Namun sebenarnya, perhitungan kerugian lingkungan tidak dikenal dalam rezim hukum pidana korupsi. PermenLH No. 7/2014 yang merupakan dasar hukum perhitungan kerugian lingkungan merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) dan itu secara eksplisit disebutkan di bagian Menimbang dari PermenLH No. 7/2014.
Adapun UU Lingkungan Hidup dan PermenLH No. 7/2014 sudah mengatur jenis-jenis perkara lingkungan hidup, seperti kerusakan lingkungan hidup akibat illegal logging atau illegal mining. Bahkan, upaya hukum untuk mengembalikan kerugian akibat perbuatan-perbuatan tersebut sudah diatur dengan jelas, yakni melalui gugatan ganti rugi yang dapat diajukan oleh instansi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Alih-alih digunakan sebagai dasar gugatan ganti rugi ‘perkara lingkungan hidup’, perhitungan kerugian lingkungan malah digunakan oleh jaksa sebagai nilai kerugian perekonomian dalam ‘perkara tindak pidana korupsi’ IUP PT Timah Tbk. Dua perkara yang sudah jelas berbeda jenisnya, diatur di bawah rezim hukum yang berbeda, dan dengan proses hukum yang berbeda pula.
Kasus korupsi lahan kelapa sawit yang menyeret bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi, dapat dijadikan pelajaran terkait penerapan kerugian perekonomian negara. Perhitungan kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara dalam suatu kasus tindak pidana korupsi akan digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menuntut terdakwa melakukan ganti rugi sejumlah nilai kerugian tersebut.
Dalam kasus Surya Darmadi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan Putusan yang menghukum Surya Darmadi untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 2,2 triliun dan kerugian perekonomian negara sebesar Rp 39,7 triliun. Namun, pada tingkat Kasasi, Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan No. 4950 K/PID.SUS/2023 membebaskan Surya Darmadi dari pembayaran kerugian perekonomian negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Ini menunjukkan bahwa MA menganggap penerapan hukuman ganti rugi atas kerugian perekonomian negara masih belum tepat. Putusan tersebut sudah sangat tepat mengingat perhitungan kerugian perekonomian negara belum diatur dengan jelas dan perhitungannya hanya didasarkan pada perhitungan ahli tanpa didasari prosedur yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Belum lagi nilai kerugian perekonomian negara cenderung sangat besar dan akan dituntut pembayarannya terhadap terdakwa, maka sangat tidak adil apabila nilai yang fantastis tersebut tidak didasari pada suatu prosedur perhitungan yang pasti dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor mengatur pembayaran uang pengganti sebagai salah satu pidana tambahan bagi terpidana korupsi. Pasal itu juga membatasi pembayaran uang pengganti paling banyak sebesar harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Pada bagian Umum dalam Penjelasan UU Tipikor sebenarnya sudah menyebutkan bahwa uang pengganti merupakan uang pengganti kerugian negara.
ADVERTISEMENT
Artinya, kerugian negara dan kerugian perekonomian negara sudah tercakup dalam uang pengganti. Namun, dalam praktiknya, JPU cenderung menuntut pembayaran uang pengganti, kerugian keuangan negara, dan kerugian perekonomian negara secara terpisah. Sehingga, jumlahnya akan sangat besar dan belum lagi perhitungan kerugian perekonomian negara yang belum ada dasar perhitungan yang jelas.
Oleh karena itu, menurut saya, UU Tipikor seharusnya diubah dengan menambahkan pengaturan yang jelas terkait pemisahan uang pengganti dengan kerugian negara dan dasar perhitungan kerugian perekonomian negara. UU Tipikor dapat memerintahkan pembentukan suatu peraturan pelaksana yang mengatur pedoman perhitungan kerugian perekonomian negara, apabila memang hendak memisahkan hukuman uang pengganti dengan pembayaran kerugian negara.
Apabila hal tersebut dilakukan, maka penegak hukum tidak lagi dapat melakukan penyelewengan dengan menafsirkan kerugian negara secara luas, seperti menafsirkan kerugian perekonomian negara yang mencakup kerugian lingkungan sebagaimana dalam kasus korupsi IUP PT Timah Tbk. Sehingga, seseorang yang disangka dan didakwa melakukan korupsi akan mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Benar adanya, bahwa kasus korupsi dikategorikan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang pemberantasannya dilakukan secara luar biasa pula. Namun, upaya pemberantasan tersebut juga tidak boleh melanggar tujuan hukum, yakni kepastian hukum dan keadilan hukum.