Saat KPK Memasuki 'Pekarangan' TNI

Wilson Fu
Corporate Legal di Permata Hijau Group - (S.H) FH Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2023 6:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wilson Fu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. (Foto: Shutter Stock)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. (Foto: Shutter Stock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Demikianlah pesan pada karangan bunga yang diterima oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata dan Direktur Penyidikan sekaligus Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dari pengirim yang mengatasnamakan dirinya “tetangga”.
ADVERTISEMENT
Sebelum menerima karangan bunga tersebut, dua anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), yakni Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Letkol Afri Budi Cahyanto.
Dua hari kemudian, rombongan petinggi TNI menyambangi gedung KPK untuk melakukan pertemuan dengan pimpinan KPK. Seusai pertemuan tersebut, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan permintaan maaf kepada pihak TNI dan mengakui penetapan tersangka tersebut merupakan kekhilafan dari KPK.
Tidak dapat dimungkiri apabila rangkaian peristiwa tersebut membuat publik menduga “tetangga” yang dimaksud adalah TNI. Sehingga, frasa “memasuki pekarangan tetangga” diasumsikan sebagai “memasuki pekarangan TNI”.
Namun, hal yang lebih penting untuk dipertanyakan oleh publik bukanlah terkait siapa yang mengirim karangan bunga tersebut, melainkan apakah KPK telah memasuki “pekarangan” TNI secara sewenang-sewenang?
ADVERTISEMENT
Menurut saya, secara hukum, tidak. Penetapan tersangka oleh KPK tersebut tidak menyalahi aturan apa pun. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer) tidak mewajibkan Puspom TNI sebagai pihak yang harus menetapkan seorang terduga tindak pidana sebagai tersangka.
Dan, juga tidak melarang badan penegak hukum lain melakukan penetapan tersangka terhadap anggota TNI. Terlebih kasus yang menjerat Marsekal Madya Henri Alfiandi merupakan tindak pidana korupsi yang juga melibatkan pihak sipil.
Apabila suatu tindak pidana dilakukan secara bersama-sama oleh mereka yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer, maka berlaku acara pemeriksaan koneksitas sebagaimana yang diatur dalam UU Peradilan Militer dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam acara pemeriksaan koneksitas, KPK justru memiliki posisi yang lebih tinggi dari Puspom TNI.
ADVERTISEMENT
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019) (UU KPK) memberi kewenangan kepada KPK untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Dalam perkara tindak pidana korupsi, UU KPK sudah seharusnya menjadi pedoman utama dalam penegakan hukum. Apabila UU KPK dibenturkan dengan UU Peradilan Militer, dalam konteks tindak pidana korupsi, maka berlaku asas lex specialis derogat legi generali yang berarti peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum.
Mengingat, UU Peradilan Militer tidak mengatur bagaimana prosedur penegakan hukum tindak pidana korupsi, sedangkan UU KPK merupakan peraturan khusus yang mengatur hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Penetapan tersangka Marsekal Madya Henri Alfiandi dilakukan pada tahap penyelidikan. Dalam acara pemeriksaan koneksitas, KPK memiliki kuasa penuh pada tahap penyelidikan. Bahkan, KPK juga berwenang melakukan penyelidikan tanpa melibatkan penegak hukum militer.
Hal tersebut berbeda dengan tahap penyidikan. Pasal 198 ayat (2) UU Peradilan Militer jo. Pasal 89 ayat (2) KUHAP memerintahkan penyidikan perkara pidana yang melibatkan pihak militer dan pihak sipil dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik dan Puspom TNI. Sehingga, menurut UU Peradilan Militer dan KUHAP, tidak ada batasan yang dimiliki KPK pada tahap penyelidikan dalam hal koordinasi dan penetapan tersangka.
Ilustrasi pengadilan. (Foto: Pixabay.com)
Hal selanjutnya yang harus dipertanyakan adalah terkait siapa yang seharusnya mengadili perkara tersebut? Peradilan umum atau peradilan militer? Batu uji yang digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah kepentingan siapa yang paling dirugikan. Menurut Pasal 200 UU Peradilan Militer jo.
ADVERTISEMENT
Pasal 91 KUHAP, apabila titik berat kerugian terletak pada kepentingan umum, maka yang seharusnya mengadili perkara tersebut adalah peradilan umum. Apabila titik berat kerugian terletak pada kepentingan militer, maka peradilan militer yang seharusnya mengadili perkara tersebut.
Mengingat, dugaan korupsi yang menjerat anggota TNI tersebut dilakukan pada jabatan sipil, yakni Kepala Basarnas, maka yang paling dirugikan dari peristiwa tersebut adalah kepentingan umum. Sehingga, secara hukum, tanpa meragukan kredibilitas peradilan militer, peradilan umum yang seharusnya mengadili perkara tersebut.
Perlu diingat, UU Peradilan Militer menganut asas kepentingan militer. Menurut asas tersebut, dalam penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara, kepentingan militer lebih diutamakan daripada kepentingan golongan dan perorangan. Namun, khusus dalam proses peradilan, kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum.
ADVERTISEMENT