Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hak Tolak dan Etika Jurnalistik: Melindungi atau Menjaga Integritas?
26 Agustus 2024 7:58 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Wilsya Azzahroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hak tolak merupakan salah satu elemen krusial dalam dunia jurnalistik yang memberikan kebebasan kepada wartawan untuk menolak mengungkapkan identitas narasumber mereka, terutama dalam situasi yang berisiko dan dapat mengancam keselamatan narasumber jika identitas mereka terungkap. Hak ini berfungsi sebagai pelindung bagi wartawan agar mereka dapat mengungkapkan kebenaran tanpa khawatir akan ancaman atau intimidasi dari pihak lain yang tidak ingin informasi tertentu terungkap ke publik. Hak tolak menjadi perwujudan dari kebebasan pers yang penting, tetapi di sisi lain, juga membawa tanggung jawab besar yang tidak dapat diabaikan.
ADVERTISEMENT
Di era digital yang semakin kompleks dan penuh tantangan, wartawan kerap kali berhadapan dengan informasi sensitif yang jika bocor dapat mengancam keselamatan narasumber atau bahkan menimbulkan efek buruk lainnya, seperti intimidasi atau pembunuhan karakter. Adanya hak tolak yang melindungi integritas pers dan kebebasan informasi menjadi semakin penting. Namun, juga membawa tanggung jawab besar dalam hal etika jurnalistik. Tidak hanya soal melindungi narasumber, tetapi juga tanggung jawab berupa menggunakan hak tolak secara etis, bukan untuk menyembunyikan kesalahan atau menyebarkan informasi palsu yang menyesatkan dan dapat merugikan publik. Jika disalahgunakan, hak tolak bisa menjadi penghalang bagi transparansi dan kredibilitas media itu sendiri, yang pada akhirnya justru merusak kepercayaan publik terhadap jurnalisme.
Penerapan Hak Tolak di Indonesia
Di Indonesia, hak tolak wartawan diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pada Pasal 4 ayat (4) undang-undang ini menyatakan:
ADVERTISEMENT
"Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak untuk melindungi sumber informasi, atau narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, termasuk narasumber yang memberikan informasi secara off the record.”
Selain itu, dalam Pasal 170 KUHAP juga menyebutkan bahwa seseorang yang karena pekerjaannya diwajibkan menyimpan rahasia dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi.
“Mereka yang karena pekerjaan, harkat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.”
Kedua pasal tersebut menunjukkan adanya perlindungan hukum bagi wartawan untuk menolak mengungkapkan identitas narasumber, terutama dalam kasus di mana narasumber ingin identitasnya dirahasiakan. Hak tolak menjadi tameng bagi jurnalis dalam menghadapi kekuatan besar yang ingin menutupi kebenaran. Tanpa hak tolak, banyak informasi penting yang mungkin tidak akan pernah sampai ke publik karena keamanan narasumber yang menyampaikan kebenaran tidak terjamin oleh hukum.
ADVERTISEMENT
Meskipun dibuat untuk melindungi sumber berita, penggunaan hak tolak tidak dapat digunakan sembarangan. Penggunaannya harus sejalan dengan etika jurnalistik yang ketat. Namun, dalam praktiknya, penerapan hak tolak tidak selalu berjalan mulus. Di beberapa kasus, hak tolak justru menimbulkan polemik ketika digunakan untuk melindungi narasumber yang memberikan informasi tidak akurat atau bias. Dalam situasi seperti ini, wartawan akan berhadapan dengan dilema etis. Apakah mereka harus tetap melindungi narasumber yang dapat merusak kredibilitas media, ataukah mereka harus mengungkapkan kebenaran penuh kepada publik? Penggunaan hak tolak secara sembarangan dapat menciptakan persepsi bahwa media memiliki minat tersembunyi, yang berpotensi merusak kepercayaan masyarakat.
Di periode post-truth, di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Informasi sering kali dipengaruhi oleh emosi dan opini subjektif ketimbang fakta objektif. Hal ini menambah kompleksitas dalam penerapan hak tolak. Di tengah banjir informasi yang tidak selalu dapat diverifikasi kebenarannya, wartawan harus ekstra hati-hati dalam menggunakan hak tolak. Di satu sisi, mereka harus melindungi narasumber yang memberikan informasi penting, tapi di sisi lain, mereka juga harus memastikan bahwa informasi tersebut tidak menyesatkan publik atau digunakan untuk tujuan yang tidak etis.
ADVERTISEMENT
Menjaga Keseimbangan Antara Perlindungan Narasumber dan Kepentingan Publik
Dalam Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menekankan bahwa wartawan wajib menjaga kerahasiaan narasumber yang memberikan informasi secara off the record atau yang identitasnya harus dirahasiakan demi keselamatan narasumber tersebut. Wartawan harus menghormati permintaan kerahasiaan narasumber, tetapi tetap mempertimbangkan dampak dari informasi yang diberikan dan memastikan bahwa informasi tersebut benar-benar untuk kepentingan publik. Etika jurnalistik juga menuntut wartawan untuk bersikap jujur, objektif, dan bertanggung jawab dalam melaporkan berita.
Wartawan harus memastikan bahwa penggunaan hak tolak tidak digunakan untuk melindungi minat tersembunyi atau kepentingan pribadi, melainkan murni untuk kepentingan publik dan perlindungan narasumber. Menggunakan hak tolak untuk melindungi narasumber yang memberikan informasi palsu atau menyesatkan juga akan merusak kredibilitas media dan merugikan publik. Wartawan harus lebih kritis dalam memilih setiap informasi yang diterima dan memastikan bahwa penggunaan hak tolak sejalan dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang adil dan etis. Karena pada dasarnya hak ini tidak seharusnya dianggap sebagai senjata yang bisa digunakan sembarangan, tetapi sebagai alat yang menjaga integritas dan kepercayaan dalam praktik jurnalistik.
ADVERTISEMENT