Konten dari Pengguna

Praktik Wartawan Amplop: Perubahan Fungsi Jurnalis dari Watchdog menjadi Lapdog

Wilsya Azzahroh
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
2 September 2024 8:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wilsya Azzahroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat memberikan ruang bagi jurnalis untuk menjalankan perannya sebagai watchdog, yakni pengawas yang tak kenal lelah dalam mengawasi jalannya kekuasaan, mengungkap kebenaran, dan memberikan informasi yang akurat kepada publik. Namun, di tengah fungsi jurnalis yang mulia ini, muncul sebuah ancaman serius yang dapat menggerogoti kredibilitas jurnalis, yakni praktik wartawan amplop. ‘Amplop’ yang berisi uang atau hadiah menjadi alat transaksi antara wartawan dan pihak yang berkepentingan.
ADVERTISEMENT
photo by. Zeferll from istockphoto.com
Wartawan amplop adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan praktik jurnalisme yang menerima uang, hadiah, atau fasilitas lainnya dari pihak-pihak tertentu sebagai imbalan atas berita yang menguntungkan atau untuk tidak merilis berita yang dapat merugikan. Memberikan amplop atau hadiah kepada jurnalis dengan maksud tertentu adalah bentuk suap yang terang-terangan dan melanggar kode etik jurnalistik. Praktik wartawan amplop ini dapat mempengaruhi objektivitas dan integritas seorang jurnalis serta mencoreng citra profesi jurnalistik secara keseluruhan.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa pers memiliki fungsi sebagai kontrol sosial yang mengacu pada peran jurnalis sebagai watchdog dalam mengawasi kekuasaan dan kebijakan publik. Selanjutnya, di pasal (6) menggarisbawahi peran jurnalis dalam mengkritisi hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik, yang menjadi inti dari fungsi watchdog. Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yang merupakan pedoman jurnalis dalam menjalankan profesinya, pun menentang praktik wartawan amplop ini. Pasal (1) dan (6) menegaskan bahwa jurnalis atau wartawan bersifat independen dan tidak menerima suap dalam bentuk apapun.
ADVERTISEMENT
Adanya praktik wartawan amplop yang semakin menjamur bak budaya ini, tidak hanya mencoreng nama baik individu jurnalis yang terlibat, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap media. Ketika publik mulai meragukan integritas wartawan, mereka juga kehilangan kepercayaan pada informasi yang disampaikan oleh media. Akibatnya, fungsi jurnalis sebagai penjaga kebenaran dan pengawas kekuasaan menjadi tergerus. Jurnalis tidak lagi menjadi ‘watchdog’ atau anjing penjaga yang kritis, melainkan telah berubah menjadi ‘lapdog’ atau anjing peliharaan penguasa yang tunduk dan patuh.
Wartawan yang seharusnya menyediakan informasi secara objektif dan akurat kini berubah menjadi alat manipulasi. Alih-alih menjalankan fungsi pengawasan dan kritik terhadap kekuasaan, mereka justru berkolaborasi dengan pihak-pihak tersebut untuk menciptakan narasi yang menguntungkan segelintir kepentingan, mengaburkan fakta, dan menyesatkan opini publik. Hingga pada akhirnya, kebenaran menjadi komoditas yang bisa dibeli, sementara suara-suara kritis yang seharusnya mewakili kepentingan publik justru dibungkam. Peran jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi pun menjadi cacat, tidak ada lagi watchdog yang kritis, selalu waspada, dan siap menggonggong saat terjadi penyelewengan oleh penguasa. Sebaliknya, watchdog tersebut telah berubah menjadi lapdog yang manis dan patuh pada tuannya.
ADVERTISEMENT
Praktik wartawan amplop adalah ancaman nyata terhadap fungsi utama jurnalis dalam menjaga demokrasi. Ketika wartawan kehilangan integritas dan mengabaikan tanggung jawab mereka sebagai pengawas kekuasaan, fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi menjadi terganggu. Demokrasi yang sehat membutuhkan jurnalis yang berani, kritis, dan independen, bukan jurnalis yang mudah dibeli dan tunduk pada kekuasaan. Oleh karena itu, upaya serius harus dilakukan untuk memberantas praktik tercela ini demi menjaga kepercayaan publik terhadap media dan memastikan bahwa jurnalis dapat kembali menjalankan perannya sebagai watchdog sejati. Dengan demikian, jurnalisme akan tetap menjadi benteng terakhir yang melindungi kepentingan publik dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan berdemokrasi.