news-card-video
14 Ramadhan 1446 HJumat, 14 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

AS Menarik Diri dari Perjanjian Iklim Paris untuk Kedua Kalinya: Apa Dampaknya?

Wina Surya Wulandari
Mahasiswa Aktif Hubungan Internasional Univeristas Mulawarman
13 Maret 2025 12:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wina Surya Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Presiden Donald Trump (Sumber: Pixabay/@Vika_Glitter)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Presiden Donald Trump (Sumber: Pixabay/@Vika_Glitter)
ADVERTISEMENT
Presiden Donald Trump kembali menarik Amerika Serikat dari perjanjian Paris pada Senin (20/1) setelah sebelumnya menarik diri pada Tahun 2020, lalu kembali masuk pada masa pemerintahan Presiden Joe Biden di 2021 silam.
ADVERTISEMENT
Perjanjian Paris adalah perjanjian internasional mengenai perubahan iklim. Tujuan dari perjanjian ini adalah menahan peningkatan suhu rata-rata global jauh di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri dan mengupayakan untuk membatasi peningkatan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri.
Perjanjian ini diadopsi 196 negara pada COP 21 di Paris pada 12 Desember 2015. Kemudian mulai berlaku pada 4 November 2016. Perjanjian Paris menetapkan mekanisme setiap negara menghasilkan kontribusi yang ditentukan secara nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) dan dikumpulkan setiap lima tahun. NDC merupakan rencana aksi iklim nasional yang disusun setiap negara berdasarkan Perjanjian Paris.
Trump berpendapat perjanjian Paris memberi beban pada ekonomi Amerika. "Saya segera menarik diri dari penipuan perjanjian iklim Paris yang tidak adil dan sepihak, Amerika Serikat tidak akan menyabotase industri kami sendiri sementara China mencemari lingkungan tanpa hukuman," ujar Trump, dikutip dari National Public Radio.
ADVERTISEMENT
Reaksi Dunia Terhadap Langkah Trump
Mengutip laman The Guardian, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen mengatakan bahwa “Perjanjian Paris terus menjadi harapan terbaik bagi seluruh umat manusia. Jadi Eropa akan tetap pada jalurnya, dan terus bekerja sama dengan semua negara yang ingin melindungi alam dan menghentikan pemanasan global,” dalam pidatonya di Forum Ekonomi Dunia yang diadakan di Davos.
Guo Jiakun yang merupakan juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok juga mengatakan dalam sebuah konferensi pers bahwa “Perubahan iklim merupakan tantangan bersama yang dihadapi oleh seluruh umat manusia. Tidak ada negara yang dapat tetap tidak terpengaruh atau menyelesaikan masalah ini sendiri. Tiongkok akan bekerja sama dengan semua pihak untuk secara aktif mengatasi tantangan perubahan iklim”.
ADVERTISEMENT
"Jika AS yang saat ini merupakan negara pencemar terbesar kedua setelah China saja tidak mau menaati kesepakatan internasional, mengapa negara seperti Indonesia harus menaatinya?" ucap Hashim Djojohadikusumo dalam sebuah konferensi di Jakarta.
Amerika Serikat mencatat emisi sebesar 13 ton karbon per kapita per tahun, China menghasilkan 7 ton dan Indonesia hanya 3 ton per kapita. Menurut Hashim, hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keadilan dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Akan tetapi, Yuliot Tanjung, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan bahwa Indonesia akan tetap berkomitmen terhadap perjanjian Paris. Jadi untuk Paris Agreement, namanya agreement ya tentu kita komit dengan apa yang kita perjanjikan. Tapi nanti kita akan mengikuti perkembangan. “Jadi ya kira-kira apa yang kita perlu sesuaikan implementasinya di Indonesia,” ucap Wakil Menteri ESDM.
ADVERTISEMENT
Dampak Terhadap Negara Berkembang
Dandy Rafitrandi, selaku peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), memaparkan dampak keluarnya AS dari Perjanjian Paris pada Media Briefing berjudul “Pelantikan Trump, Dinamika Baru Persaingan AS-China, dan Tantangan bagi Indonesia”.
Dalam penjelasannya, Dandy mengatakan bahwa “Narasi yang digunakan oleh Presiden Trump ini memperlihatkan bahwa inflasi tinggi yang harus diderita oleh penduduk AS salah satunya karena perjanjian Paris,” namun, ia menjelaskan jika melihat data dari produksi minyak dan gas di AS selama Perjanjian berlangsung justru meningkat.
Dandy menjelaskan bahwa dampak dari langkah Trump menyebabkan pendanaan untuk penanganan perubahan iklim atau climate financing jadi lebih sulit. “Ini bukan pertama kalinya Donald Trump keluar dari Paris Agreement, Paris Agreement tetap berjalan, Walaupun dengan konsekuensi bahwa climate financing bakan jadi lebih sulit, dan juga komitmen dari negara negara maju lainnya kemungkinan akan terdampak,” ujar Dandy.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan “Amerika Serikat kita lihat sebagai leader untuk G7, apabila tidak ada appetite terkait climate financing, akhirnya yang terdampak paling besar adalah negara negara berkembang, ” hal ini menjelaskan bahwa negara berkembang akan terdampak karena memiliki anggaran keuangan yang terbatas untuk melakukan transisi energi berkelanjutan.
Dari dampak yang telah dijelaskan oleh Dandy, data dilihat bahwa keputusan AS untuk menarik dirinya dari perjanjian Paris menandakan adanya kecenderungan dalam mengutamakan kepentingan nasional diatas tanggung jawab global. Tindakan yang diambil Trump memperburuk soal pendanaan dan dukungan bagi negara berkembang yang rawan atas dampak dari perubahan iklim. Negara yang kuat secara ekonomi dan teknologi seperti AS, semestinya memimpin upaya melindungi bumi, namun kenyataannya mereka tidak bersedia mengambil peran utama dalam menjaga kesejahteraan planet.
ADVERTISEMENT