Konten dari Pengguna

Bullying yang Menghancurkan, namun Menguatkan Seterusnya

8 Oktober 2017 19:55 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Winda Dwiastuti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bullying yang Menghancurkan, namun Menguatkan Seterusnya
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Apa yang membuat seseorang bahagia tidak lain adalah apa yang diyakininya mampu membuatnya dirinya bahagia. Keliatannya seperti kalimat yang membingungkan, namun itulah yang benar adanya. Sama halnya dengan kutipan sebuah teori “The Power of Attraction” bahwa apa yang kita pikirkan, maka hal itulah yang akan semesta berikan. Hal terburuk sekalipun yang terjadi dalam hidup ini, asal kita mampu memegang kemudi dan mengarahkannya ke jalan yang positif serta selalu mengambil hikmah yang baik, maka tidak akan ada tembok penghalang untuk jalan kita seterusnya.
ADVERTISEMENT
Ya, hal itu yang saya pelajari dari sebuah cerita pahit yang berbuah manis pada hari ini, seiring dengan kedewasaan saya. Kala itu, saya belum genap berusia 10 tahun. Saya sama seperti anak lainnya, yang bermain dan belajar di sekolah dasar. Saya menyadari bahwa sekolah saya cukup berbeda dengan kebanyakan sekolah dasar yang ada. Perbedaan ini memang tidak perlu dibanggakan, tapi itulah yang nyatanya membuat semuanya terasa tidak biasa. Murid di sekolah terlihat memiliki sifat dan sikap yang cenderung lebih dewasa daripada anak – anak seusianya. Bertingkah dengan pola hidup yang tidak biasa. Mall dan tempat – tempat untuk melancarkan pengeluaran uang adalah tujuan pasti di hari libur. Menjauhi kawan yang sekiranya tidak setara dari segi ekonomi dan kehidupan adalah perilaku yang tidak tabu untuk dilakukan. Menghina bahkan senioritas terlihat seperti pandangan yang lazim disana. Betul, senioritas. Apa yang ada di benak seorang anak SD berusia 10 tahun, kalau bukan bermain, mengikuti kursus, mengerjakan pr serta belajar di rumah? Saya rasa cukup sulit menemukan jawabannya. Karena tidak ada hal lain yang saya pribadi lakukan selain itu. Memang nyatanya secara perlahan saya mulai terbawa arus untuk berteman dengan beberapa orang yang saya inginkan saja, tanpa memilih untuk membaur dengan seksama. Memang benar adanya, saya juga berkeinginan untuk memiliki ponsel berkelas seperti teman – teman yang lain. Tapi… saya pun tidak setara dengan kelas ekonomi yang mereka agung – agungkan itu. Saya tidak mampu membawa barang – barang baru dan Limited Edition untuk dipinjamkan kepada teman lain seraya mempertunjukkan bahwa “saya mampu”. Tidak. Orangtua saya memiliki gaya hidup yang berbeda dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Di balik tubuh yang mungil, rambut yang hitam lebat dan mengembang, saya tetap memiliki teman. Teman yang menjadikan hari – hari saya di sekolah menjadi lebih menyenangkan. Mama yang setia mengantarkan saya di pagi hari dan menunggu di kantin sekolah hingga waktu pulang sekolah tiba. Mungkin masih banyak kekurangan saya jika ingin dibandingkan dengan anak – anak seusia saya. Namun, saya nyatanya masih lebih beruntung jika saya ingin membandingkan lagi dengan kehidupan teman saya yang merupakan anak petugas sekolah. Dia yang tak pernah berhenti dipanggil karena aroma tubuhnya yang kurang sedap, dia yang dihina karena membayar uang sekolah dengan biaya yang lebih murah dibandingkan kami dan dia yang lebih memilih bermain dengan pria karena kesadarannya tidak akan diterima dalam pergaulan siswi perempuan disana. Ya, banyak fenomena kehidupan yang sepatutnya saya sadari saat itu.
Bullying yang Menghancurkan, namun Menguatkan Seterusnya (1)
zoom-in-whitePerbesar
Hari itu, saya berjalan dengan teman saya. Kami hanya berdua. Selayaknya orang yang kelaparan, kami jajan seperti biasa di kantin. Pandangan saya tak lepas dari sekumpulan kaka kelas yang arah matanya terus membidik saya dengan wajah yang sinis. Merasa tidak nyaman? Tentu. Namun, saya mencoba menghiraukannya. Meskipun begitu, saya tidak sepolos itu. Semakin sering tatapan mata mereka melihat saya, maka semakin sering pula saya merasa ada yang salah dengan diri saya. Pertanyaan selalu muncul dalam benak saya. Mengapa? Ada Apa? Entahlah.
ADVERTISEMENT
Ketidaknyamanan itu semakin berlanjut seiring kejadian demi kejadian yang saya rasakan Saat sedang sendiri, tak jarang dua diantara mereka menabrakkan diri ke bahu kanan saya secara paksa. Saat sedang pergi keluar kelas untuk membuang sampah, tak jarang saya mendengar ada kata – kata kasar yang mereka lontarkan ke arah telinga saya. Saat sedang berjalan sendiri, tak jarang saya menangkap mereka yang sedang berkumpul dan mengarahkan matanya kepada saya dengan sinis. Oh Tuhan, saya tidak tahu apa yang salah dengan saya..
Siang hari, saya merasa ingin sekali pergi ke kamar kecil. Saya menolak untuk ditemani, karena itulah saya, terbiasa pergi sendiri. Rupanya sebuah keputusan yang salah menolak untuk ditemani. Baru beberapa menit masuk ke dalam toilet, tiba – tiba pintu depan kamar mandi yang semula tertutup, didorong dengan kerasnya. Dia, orang yang sejak awal sering membidik saya dengan penglihatan tajamnya masuk ke dalam kamar mandi untuk menghampiri saya yang saat itu sedang membersihkan tangan. Semuanya diluar dugaan.. karena di belakangnya sebanyak 10 orang temannya datang dan mereka semua membuat saya terpojok ke dinding kamar mandi. Mereka mengerubungi saya, mendorong, menyentuh fisik saya dengan kasarnya dan meneriakkan saya dengan kata – kata bernada ancaman, kasar, dan semuanya teriak secara bersamaan. Apa yang bisa saya lakukan dengan kondisi mental yang notabennya sangat lemah? Saya hanya bisa berdiri, terdiam… saya memang melihat ke arah mereka semua namun tatapanku kosong. Saya ingin menangis, namun rasa sedih itu seperti kacau. Terkalahkan dengan rasa takut. Badan saya bergetar, namun tak bisa melawan ataupun berlari untuk pergi.
ADVERTISEMENT
Hingga semua teriakkan itu meredam, dan satu persatu di antara mereka pergi meninggalkan saya sendiri. Kemudian saya perlahan mulai menitikan air mata. Saya diam dan seketika menangis. Baru kali ini, saya diserang dengan rasa penuh kebencian. Langsung, di depan wajah yang jaraknya bahkan tidak lebih dari satu jengkal. Saya baru menyadari, mereka mungkin sangat membenci saya. Mereka tidak menyukai kehadiran saya yang mereka anggap terlalu banyak mengumbar gaya. Saya bahkan merenung.. gaya seperti apa yang perlu saya tunjukkan? Sementara saya pun masih bertahan untuk sekolah di tengah pergaulan yang justru membuat saya terpojokkan.
Saya menangis, seketika merasa menjadi pribadi yang lemah. Saya kembali melihat diri saya di cermin, kemudian menangis lagi. Wajah saya memerah disertai urat di kening yang mulai terbentuk dan seperti ingin keluar. Saya takut, kaget dan merasa diri ini hina. Saya ingin melawan tapi tidak bisa. Saya ingin bercerita, namun kepada siapa.. Saya ingin mengadu, tapi rasanya tidak mungkin. Dalam benakku adalah aku hanya sendiri dan mereka ramai untuk membenci saya. Saya menghela napas dengan begitu dalam hingga mencuci kedua wajah sebelum kembali ke kelas.
ADVERTISEMENT
Mungkin ini yang namanya Bullying, mungkin ini yang mampu membuat banyak anak sekolah tidak berani untuk masuk sekolah kembali. Mungkin ini yang saya alami, dan mungkin mereka adalah korban yang sepaham dengan saya. Saya mencoba untuk menyembunyikan segala sesuatunya dengan rapi, agar tidak ada yang tahu ataupun menyadari bahwa salah satu hal terburuk dalam hidup saya baru saja terjadi.
Cengeng memang, karena hampir setiap hari setelahnya saya selalu menangis ketika mengingat kejadian tersebut. Bagi saya, sulit untuk mencoba kuat dan tidak takut. Belum banyak pengalaman hidup ataupun tekanan yang pernah saya alami selama 10 tahun hidup sebelumnya. Bahkan untuk sekedar bercerita kepada kedua orangtua saya pun, saya belum memiliki keyakinan yang kuat. Saya memilih untuk diam, menutupi dengan rapat semampu yang saya bisa, dan mengatasi rasa sakit yang saya rasakan. Semuanya sendiri. Meskipun saya berubah menjadi pribadi yang lebih tertutup dan menolak untuk berangkat ke sekolah seperti biasanya.
ADVERTISEMENT
Waktu berlalu begitu cepat, selayaknya apa yang sebagian besar manusia rasakan dalam hidupnya. Pengalaman pahit saat berusia 10 tahun, rupanya menjadi cerita yang cukup menyenangkan untuk dibahas bersama teman sepermainan. Tak terasa, kejadian itu telah mengajarkan saya banyak hal, terutama untuk menjadi pribadi yang lebih kuat.
Hingga saya memasuki masa putih abu – abu, kenangan itu masih terekam jelas dalam benak saya. Rupanya, Tuhan mungkin berpikir bahwa mental dalam diri ini perlu diperkuat lagi. Hari ketiga setelah memasuki masa SMA, saya dijegat oleh tiga perempuan yang dari penampilannya menandakan bahwa dia ada di satu tingkat lebih atas daripada saya. Sekali lagi saya bertanya kepada diri saya, “Apa salah saya sebenarnya? Apakah dalam waktu tiga hari, mereka memiliki alasan yang cukup untuk membenci saya?”
ADVERTISEMENT
Saya dijegat, dihadapkan pada wajah sinisnya, dan melihat dengan jelas saat alis kanannya terangkat untuk menandakan ketidaksukaannya pada saya. Hingga beberapa hari seterusnya, dia mampu mencari tahu siapa saya, siapa nama saya, dan dengan siapa saya biasa menghabiskan waktu di sekolah. Hari – hari selanjutnya, saya merasa seperti mengulang kejadian saat masih duduk di bangku kelas 4 SD dahulu. Tanda – tanda kebencian dari senior itu terus saya rasakan. Mulai dari menabrakkan diri, berusaha menarik rambut saya dari dekat, menghina saya dengan kata – kata kasar dan yang lebih parahnya adalah marah tanpa sebab lalu bertindak selayaknya musuh yang mengajak perang. Namun, apa yang membedakan saya dengan diri saya yang terdahulu dalam menghadapi tindakan Bullying itu adalah saya lebih kuat dan mampu bertahan tanpa air mata..
ADVERTISEMENT
Dua kali sudah saya merasakan bagaimana seorang “junior” mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari para “senior”nya. Bullying berupa kekerasan (fisik) maupun psikis rasanya cukup mampu menjadi alasan terbaik saya untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan tidak cengeng lagi. Bila saya mampu kuat menghadapi tekanan dari mereka yang nyatanya lebih tua usianya daripada saya, maka kini Tuhan mulai menguji dengan keadaan yang berbeda. Ya, teman seangkatan saya bahkan menunjukkan rasa kebenciannya terhadap saya. Bedanya, rasa kebencian itu memiliki alasan yang lebih jelas daripada apa yang pernah sebelumnya dilontarkan oleh mereka yang membenci kehadiran saya.
Semuanya dimulai saat saya membela adik kelas yang sedang dibully oleh teman seangkatan saya. Mungkin jelas apa alasan dibalik pembelaan saya terhadap mereka. Benar, karena saya tahu bahwa Bullying hanya akan lebih banyak memberikan dampak yang negatif baik kepada pelaku, korban atau penonton tindakan Bullying itu sendiri. Dibalik tuntutan saya sebagai ketua organisasi saat itu yang perlu bersikap adil, saya juga memiliki rauma. Saya benar – benar tidak ingin ada korban – korban selanjutnya yang bernasib sama dengan saya. Semuanya saya lakukan secara tiba – tiba. Mungkin tanpa sadar, saya telah menentang perlakuan teman baik saya sendiri. Bukan hanya itu saja, saya juga menolak jika ada “junior” yang diperlakukan semena – mena layaknya seorang pembantu saat akan mengadakan acara besar di sekolah. Saya hanya ingin semua dianggap sama. Tidak ada jarak antara si junior dengan sang senior. Saya hanya ingin semuanya berjalan dengan damai, namun itulah yang perlu saya pahami, bahwasanya tidak semua orang memiliki visi dan misi hidup yang sama dengan apa yang saya miliki.
Bullying yang Menghancurkan, namun Menguatkan Seterusnya (2)
zoom-in-whitePerbesar
Perlakuan tidak menyenangkan dari teman seangkatan saya sendiri menimbulkan kesan dan perasaan yang berbeda untuk saya. Entah kenapa, semuanya terasa lebih menyakitkan daripada apa yang pernah saya alami sebelumnya. Mental diri saya seharusnya sudah lebih kuat, namun mengapa saya justru merasa lebih tertekan daripada biasanya. Perilaku Bullying itu mereka lontarkan kepada saya melalui panggilan yang kasar. Kata – kata yang menyakitkan di sosial media, dan sikap mereka terhadap saya saat berpapasan di sekolah. Hal yang lebih menyakitkan lagi adalah saat saya mengetahui bahwa sosok yang telah menjadi teman baik saya sejak kelas 1 SMA kini berganti menjadi 1 dari lebih 15 orang yang turut menghujat saya secara langsung. Saat diri saya memberanikan diri untuk bertanya kepadanya tentang kekesalannya terhadap saya, dia bisa menjawabnya dengan lantang tanpa rasa bersalah. Dia bisa menjawab dengan nada yang tinggi seolah tak pernah mengingat hal manis apa yang pernah kami lalui bersama sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan saat sedang melaksanakan study tour ke Bali, perlakuan tidak menyenangkan itu masih bisa saya rasakan dengan jelas. Permohonan maaf yang saya berikan kepada salah satu diantara mereka rupanya ditolak. Sebegitu sakitnya kah hingga saya tidak pantas dimaafkan? Lantas, apa rasanya dikucilkan? Apa rasanya menjadi pribadi yang dianggap hina saat masa – masa kejayaan itu telah tiba? Apa hanya saya yang merasa bahwa masa putih abu – abu tidak seindah seperti apa yang seringkali orang ucapkan?
Dijauhi oleh sebagian besar teman perempuan, nyatanya membuat saya hanya memiliki beberapa teman perempuan dan terus menghabiskan waktu bermain dan belajar dengan kaum adam. Saya bersyukur, mereka membela saya, bukan karena mereka menganggap bahwa saya benar dan yang lain salah. Mereka melakukan itu karena adanya rasa pertemanan yang tulus. Dukungan yang mereka berikan selalu saya rasakan di setiap harinya, melalui tawa, nasihat dan kegiatan yang membuat saya tidak perlu merasa khawatir telah membuang banyak waktu. Saya memang sempat menangis, karena saya merasa bahwa Tuhan telah sangat menguji saya dan ujian itu terus terjadi tanpa henti. Saya merasa menjadi pribadi yang kurang beruntung karena tidak bisa menikmati masa indah di SMA seperti anak lainnya. Tiga tahun bersekolah rasanya seperti belajar menguatkan mental, belajar untuk mengurangi jumlah air mata yang keluar saat kesedihan melanda, dan yang terpenting adalah belajar memaafkan.
Bullying yang Menghancurkan, namun Menguatkan Seterusnya (3)
zoom-in-whitePerbesar
Selama berkali – kali saya merasakan tindakan Bullying, maka selama berkali – kali juga saya mengucap syukur atas kehidupan yang saya miliki hari ini. Kehadiran ibu saya adalah bagian yang terpenting untuk menopang saya dikala akan jatuh terpuruk atas hal buruk yang terjadi. Beliau memang tegas, selalu meminta saya untuk tidak menangis sedari kecil, bahkan dia mengucapkannya dengan nada yang lantang. Waktu kecil, saya justru semakin menangis ketika diminta untuk berhenti. Hal itu karena saya belum mengerti apa yang membuat saya tidak boleh menangis. Namun seiring saya beranjak dewasa, saya baru merasakan tidak ada gunanya menangisi hal – hal yang memang tidak pantas untuk ditangisi. Saya menangis untuk memikirkan perlakuan mereka terhadap saya, namun apakah mereka menangis atas apa yang telah mereka perbuat kepada saya? Mungkin iya, mungkin juga tidak.
ADVERTISEMENT
Menolak untuk menjadi wanita yang cengeng kini rasanya menjadi bagian dari komitmen saya terhadap diri sendiri. Saya justru harus bersyukur setiap kali mendapatkan hal – hal yang tidak diinginkan. Bukan hanya sebagai pertanda bahwa Tuhan masih menyayangi saya, namun juga sebagai pertanda bahwa saya adalah pribadi yang nyatanya sekuat itu untuk menerima cobaan dari Tuhan satu per satu. Saya harus bersyukur karena saya tidak secara terus menerus menikmati hidup dengan bahagia, namun saya juga merasakan lika-liku kehidupan. Hingga kini, saya merasa berbeda dengan teman-teman saya pada umumnya. Hal pasti yang membuat saya merasa berbeda dan istimewa adalah, karena nyatanya Bullying yang semula sangat menyakitkan untuk saya, justru kini terus menjadi alasan saya untuk selalu menguatkan diri dan mental saya menghadapi berbagai hal buruk. Karena bagi saya, saya beruntung pernah mengalami hal yang lebih buruk dari apa yang kini menimpa saya. Saya juga bersyukur, karena bisa berbagi cerita dan pengalaman saya kepada teman-teman dan generasi muda untuk mencegah tindakan bullying tersebut, karena dampaknya yang sudah pernah saya lihat dan rasakan sendiri, baik dari sudut pandang korban, pelaku maupun penonton tindakan bullying. Saya telah memiliki cerita tersendiri yang bisa membuat jejak hidup saya terlihat tidak biasa. Saya terus merasa beruntung karena dengan kejadian pahit itu saya bisa lebih berani untuk bertindak positif, berani untuk berbagi pengalaman dan berani untuk mengejar apa yang saya inginkan.. karena, saya tahu bahwa Tuhan dan keluarga sedang menantikan saya di garis akhir untuk lolos dari semua tantangan hidup yang menerpa raga dan jiwa saya.
ADVERTISEMENT
Oleh : (Winda Dwiastuti)