Konten dari Pengguna

Bahasa Khayalan Kartini

Anicetus Windarto
Bekerja sebagai peneliti di Litbang Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
21 April 2021 11:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anicetus Windarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi R.A. Kartini. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi R.A. Kartini. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Bahasa Kartini adalah bahasa Belanda. Bahasa yang kata ahli Jawa Dr. Poerbatjaraka, “tidak melukai orang Jawa.” Dengan kata lain, kemampuan bahasa itu dapat “mengatakan apa saja tentang Jawa dan kebudayaan Jawa betapa pun sakralnya kebudayaan itu” (Mrázek, 2006).
ADVERTISEMENT
Karena itu, Kartini yang adalah orang Jawa seperti mendapatkan medium atau cenayang (kemampuan meramal) yang mampu menangani segala sesuatu di sekitarnya, termasuk segenap “antusiasme khayalan”-nya.
Khayalan Kartini misalnya, “andaikata aku anak laki-laki”, yang ditulis pada tahun 1900 dari Jepara kepada sahabatnya di Belanda yang memberanikan dirinya berpikir “untuk segera menjadi pelaut.” Demikian juga tentang “mesin-mesin terbang” yang ditulis pada tahun 1901, tiga tahun sebelum kematiannya, kepada salah satu temannya dan teman-teman ayahnya di Jena, Jerman.
Khayalan demi khayalan yang membuat Kartini diurapi sebagai ibu nasionalisme Indonesia itu justru datang dari bahasa kolonial yang pada saat itu sedang dipakai untuk mempermolek koloni yang sekarang ini menjadi Indonesia. Lewat bahasa yang mampu “menghantui” para pembaca, dan juga segenap pendengar, dengan beragam impian yang sebelumnya tak pernah terbayangkan, masuk akal jika Kartini seperti seorang pengamat dengan teleskopnya yang sedang asyik mengamati dunia yang indah atau molek.
ADVERTISEMENT
Bagai sedang duduk di dalam kereta api atau kabin pesawat udara, semua menjadi tampak “jelas dan aman” karena terlindung di balik kaca.
Bahasa Kartini memang bukan “bahasa aspal” yang “dapat disebarkan dengan cepat, dan bahkan mampu merekatkan bersama segala sesuatu yang paling tidak akur.” Itulah mengapa bahasa itu sarat dengan “metafora” yang “bersifat mekanis” dan mampu “melonggarkan ikatan-ikatan antara derau dengan suara, antara kata dan perbuatan.”
Bahasa itu seperti sejenis mantra yang oleh Benedict Anderson (2000) dipandang memiliki kemampuan untuk “menembus dan melestarikan pengetahuan lama dan rahasia.” Tak heran jika bagi orang-orang tua di masa lalu bahasa itu, entah Belanda atau Prancis, hanya digunakan pada saat dan tempat tertentu, ketika bertengkar misalnya, agar tak didengarkan oleh anak-anak mereka.
ADVERTISEMENT
Jadi, bahasa yang tidak hangat, apalagi praktis, bagi masyarakat kolonial, khususnya “pribumi”, pada masa itu ketika diterjemahkan di masa kini tidaklah perlu dirisaukan hasilnya. Bukan karena tidak penting, melainkan supaya terjemahan itu tidak justru “saling mencerminkan dan menyebabkan rasa rikuh.”
Mungkin benar bahwa hasil terjemahan itu “ceroboh”, namun toh masih banyak yang lebih ceroboh dan tetap terpajang di toko-toko buku di Indonesia. Yang penting adalah bagaimana hasil terjemahan itu tidak menghilangkan, bahkan mematikan, kekuatan yang menggairahkan dari khayalan bahasa tersebut.
Sebab dengan kekuatan itulah siapa saja dapat menghilangkan rasa malas dan ketakutan untuk berbahasa yang mampu menghasilkan beragam khayalan seperti dikerjakan Kartini.
Hanya masalahnya, berbahasa, sebagaimana diamati oleh James T. Siegel (2009), “benar-benar dapat merupakan soal hidup atau mati.” Artinya, penerjemahan yang salah dari suatu bahasa dapat berakibat dibunuhnya seseorang karena identitasnya diketahui berbeda. Hal itu menjadi kebijakan berbahasa di Aljazair misalnya, yang antar satu bangsa dengan bangsa yang lain punya bahasa ibu masing-masing yang amat menentukan identitasnya.
ADVERTISEMENT
Begitu pula di Prancis, yang jika kepada tetangga di kanan atau kirinya tidak diucapkan kata “bonjour”, maka dengan segera dituduh sebagai suatu penghinaan.
Tetapi, di Indonesia lain, demikian ungkap Siegel. Di sini “seakan-akan semua bahasa dapat tampil dalam bahasa Indonesia”, bahkan “seakan-akan bahasa Indonesia dapat benar-benar ditangkap dengan tepat dalam semua bahasa.” Jadi, kesimpulannya, “bahasa Indonesia dapat saja diterjemahkan.”
Seperti juga dalam bahasa khayalan Kartini, bahasa Indonesia memang begitu ajaib. Keajaibannya tidak saja mampu mengakrabkan satu sama lain, tetapi sekaligus menghasilkan beragam khayalan yang telah ditunjukkan oleh Kartini. Dengan kata lain, Selain bisa digunakan tanpa susah atau salah, bahasa itu dapat juga menggantikan identitas yang amat ditentukan oleh adanya bahasa ibu.
ADVERTISEMENT
Sejarah telah menunjukkan bagaimana bahasa “Melayu pasar” pernah menjadi bahasa bersama yang komunikatif dalam masyarakat Hindia Belanda yang plural. Bahasa Melayu itu mampu menyediakan sebuah “panggung sandiwara” bagi masyarakat kolonial untuk bersaksi dan mengakui kedaulatan serta keakraban dengan sesama yang lain.
Di sinilah bahasa khayalan Kartini masih relevan dan signifikan untuk digunakan sejauh bukan untuk kepentingan penghinaan atau pencemaran, melainkan justru untuk menggambarkan kekuatan suatu peristiwa dari keadaan politik tempat kemanusiaan tumbuh dan berkembang.
Seperti dialami oleh Kartini ketika mengambil foto-foto di desa-desa bersama ayahnya, keluhnya: “Amat sulit untuk membuat bahkan satu foto saja di desa...(ada) takhayul...(mereka takut) umurnya dapat diperpendek bila mereka membiarkan kami mengambil fotonya.” Tragis, bukan?
ADVERTISEMENT