Bung Karno, 'Nabi' Zaman Modern

Anicetus Windarto
Bekerja sebagai peneliti di Litbang Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Konten dari Pengguna
9 Juni 2021 10:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anicetus Windarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Film Soekarno (2019) karya Hanung Bramantyo. Foto oleh Windarto
zoom-in-whitePerbesar
Film Soekarno (2019) karya Hanung Bramantyo. Foto oleh Windarto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menarik bahwa ketika seorang bekas mahasiswa dari Indonesia datang ke Amerika Serikat pada tahun 1983 dan berkenalan dengan seorang pekerja sosial dari kelas menengah, keturunan Irish, dan berumur 60-an tahun, dia langsung beraksi begitu mengetahui dirinya berasal dari Indonesia. ”Oh ya, Soekarnolah presidenmu!” demikian kata pekerja sosial keturunan Irish itu (Basis, 2001).
ADVERTISEMENT
Kisah di atas menunjukkan betapa Bung Karno (BK) tidak saja dikenal di Indonesia, tetapi juga hampir di seluruh dunia. Itu artinya, BK adalah tokoh langka yang telah menjadi "nabi" bagi setiap orang pada zamannya. Zaman yang 120 tahun lalu telah melahirkan sebuah koloni yang membentang "dari Sabang sampai Merauke" ("von Sabang tot Merauke") dan dinamai Hindia Belanda. Nama yang bagi sebagian besar warga Belanda di masa itu dikenang sebagai "mooi Indie" atau "Hindia yang molek". Sebab di sanalah surga yang dibayangkan begitu didambakan kehadirannya sesudah kebangkrutan kongsi dagang VOC pada tahun 1799 akibat korupsi tak tertanggungkan. Masih ditambah lagi dengan beban berat dari Perang Jawa (1825-1830) yang dikomandani oleh Pangeran Diponegoro dan proyek "Cultuur Stelsel" (Strategi Pembangunan Pertanian) yang justru membuat kehidupan masyarakat di koloni menjadi semakin hancur berantakan.
ADVERTISEMENT
Kelahiran BK yang ditandai dengan kehadiran zaman modern adalah bukti bahwa dunia justru sedang menuju pada kekacaubalauan. Meski semangat "kemajuan" atau "hamajuon" selalu ditampilkan lewat beragam komoditi dan gaya hidup mewah, namun sesungguhnya daya hidup masyarakat tengah menjadi semakin teknologis.
Dengan kata lain, masyarakat hanya menjadi budak atau hamba dalam kehidupan sehari-hari yang tampak serba mudah dan bahkan murahan. Itulah mengapa BK pernah memperingatkan bahwa setiap bangsa pada dasarnya bukanlah bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa. Sebuah peringatan yang menyiratkan nubuat dari masa lalu dan mengguratkan yang akan menjelang di masa depan.
Tentu BK sama sekali tidak menolak kehadiran zaman modern. Buktinya, dalam berpakaian misalnya, BK tetap tampil necis atau dandy dengan segala pernak-perniknya. Namun, di balik kenecisannya itu, BK tetap berikhtiar untuk membangun kesadaran sebagai manusia yang berjiwa bebas, merdeka dan berdaulat. Sebab pakaian dengan segala aksesorisnya dengan mudah dapat mengkoloni dan menjadikan manusia hanya setara dengan boneka.
ADVERTISEMENT
Maka, agar tidak sekadar dijadikan mainan dan dipermainkan oleh zaman modern, BK memberi sejumlah tuntunan dan tuntutan. Salah satunya adalah dengan tetap menjadi bangsa yang nasionalis, bukan justru chauvinis atau hanya bangga terhadap asal-usulnya sendiri. Karena itulah, BK pernah mendaulat peci atau kopiah sebagai simbol dan identitas nasional bagi Indonesia yang sedang berjuang untuk menjadi bangsa tanpa penjajahan, apalagi penindasan.
Dengan simbol dan identitas itu, BK bukan sekadar beratensi untuk membanggakan "produk-produk dalam negeri" sebagaimana kerap diiklankan di masa kini, tetapi lebih dari itu adalah berintensi demi pembayangan Indonesia yang dikenal dan dikagumi bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Pembayangan seperti ini sesungguhnya adalah bagian dari proyek kebangsaan atau nasionalisme yang mudah tergoda dan terjatuh dalam ideologi atau "isme-isme" dunia. Kapitalisme contohnya, merupakan sang penggoda paling ampuh dan mujarab untuk menyamarkan misi dan visi kemanusiaan atau internasionalisme dalam membangun jiwa dan semangat nasionalisme.
ADVERTISEMENT
Jadi, bukan kebetulan jika nasionalisme yang dirumuskan oleh BK dan dijadikan salah satu sila dalam Pancasila sama sekali tidak berpretensi untuk menjadi bangsa penakluk, penyerang, atau bahkan penjajah, melainkan justru yang berwajah kemanusiaan. Nasionalisme ini hanya memberi pembayangan yang serba terbatas antara "kami" dan "mereka" demi mengarahkan siapa yang sesungguhnya mesti dihadapi.
Sebab sebenarnya, baik "kami" atau "mereka", adalah sama-sama "korban" atau pihak yang tertindas, bahkan terjajah, dan perlu untuk menjadi "kita" agar dapat lepas dari segala penjajahan atau penindasan. Inilah yang oleh BK dinamai mufakat atau demokrasi demi mencapai keadilan dan kesejahteraan bersama.
Cukup jelas bahwa BK yang menjadi angkatan pertama dari politisi awal Indonesia, bersama Hatta, Sjahrir, dan Amir Sjarifoeddin, adalah kalangan terdidik dan terpelajar secara Barat. Namun toh mereka sama sekali tidak menjadi kebarat-baratan, tetapi justru dapat memanfaatkan pola dan cara pandang yang serba ilmiah dan modern itu untuk menyuarakan kepentingan orang banyak.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, sebagaimana pernah dinubuatkan oleh BK, mereka benar-benar mampu menjadi Penyambung Lidah Rakyat (PeLiRa). Dalam konteks ini, James T. Siegel (2001) menjelaskan bahwa menjadi PeLiRa adalah sama dengan mendapatkan saat dan tempat yang tepat di hati dan pikiran rakyat.
Artinya, melalui BK rakyat sungguh merasakan bahwa apa yang dikatakannya adalah apa yang mereka pikirkan. Berbeda dengan dewasa ini ketika orang-orang yang bersedia mengemban amanat rakyat justru tidak pernah kurang, tetapi malah tidak mudah lagi untuk menemukan orang-orang yang memikirkan suara dan kepentingan rakyat.
Singkatnya, mereka—orang-orang yang memikirkan kepentingan rakyat--adalah orang-orang langka yang merupakan bagian dari yang dibuang dari pikiran. Langkanya orang-orang yang seperti itu pada masa kini merupakan cermin dari pengabaian, bahkan pembuangan, pendapat atas, misalnya, kematian sekitar ratusan ribu dan mungkin hampir satu juta orang selama tahun 1965-1966 di Indonesia. Termasuk BK, yang satu demi satu, disingkirkan dari panggung kekuasaan, dengan berbagai alasan dan pertimbangan.
ADVERTISEMENT
Penyingkiran BK yang amat tragis ini justru dikerjakan oleh sosok yang selama lebih dari 30 tahun telah melarang anak untuk menentang bapak, dan sebaliknya memperbolehkan bapak berkata, ”Begitulah!” Itulah Bapak Orde Baru yang juga merupakan sosok "godfather” baru yang akan mengatur jalannya sejarah di negeri ini.
Sebagaimana dicatat oleh Saya Sasaki Shiraishi (2001), Mayor Jenderal Soeharto adalah tokoh yang dengan cerdik memanfaatkan ketidakharmonisan hubungan "bapak dan anak buah" untuk menggalang dukungan bagi kubunya, sekaligus menghancurkan gerakan yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S) atau Gerakan 1 Oktober (Gestok) 1965. Lantaran kudeta gagal yang dijalankan oleh sejumlah "anak buah" dengan menculik "jenderal-jenderal dan perwira-perwira yang gila kekuasaan yang telah menelantarkan nasib anak buah”, BK justru diturunkan dari kursi kekuasaannya akibat dari sosok kebapakannya yang lebih memilih mengalah dan melindungi anak buahnya sebagaimana terjadi pada Peristiwa Rengasdengklok. Pilihan ini adalah cermin dari hubungan yang lebih bersifat informal daripada hierarkis dan struktural seturut pengalaman para pejuang awal pada masa Revolusi tahun 1945.
ADVERTISEMENT
Hubungan seperti itu yang justru telah mengorbankan BK dan para pengikutnya adalah juga cita-cita yang dibayangkan oleh Jenderal Sudirman selama Perang Kemerdekaan Republik Indonesia selama tahun 1945-1949.
Pengorbanan yang setara dengan napak tilas para nabi yang lebih dikenal di negeri lain daripada di negerinya sendiri telah menempatkan BK sebagai figur yang sekadar diperingati dan didupai, namun jarang untuk digaungkan segenap nubuatnya karena tampak lebih nikmat untuk difosilisasi dalam museum yang setiap saat dapat dikunjungi. Dirgahayu BK!