Ibu, “Pahlawan" Siapa?

Anicetus Windarto
Bekerja sebagai peneliti di Litbang Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Konten dari Pengguna
21 Desember 2021 14:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anicetus Windarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Iklan di Kompas, 22 Desember 2003, pada peringatan Hari Ibu
zoom-in-whitePerbesar
Iklan di Kompas, 22 Desember 2003, pada peringatan Hari Ibu
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bukan kebetulan bahwa di bulan Agustus tahun 2020 lalu sebuah iklan berjudul “Mom’s Birthday” ditayangkan di sejumlah televisi swasta di Indonesia, termasuk Kompas TV. Iklan yang berdurasi panjang (1 menit 30 detik) dan pendek (30 detik) menarasikan bagaimana di tengah situasi yang serba tidak pasti seperti pandemi saat ini masih ada pengorbanan yang dapat dilakukan. Hanya dengan berbekal uang logam recehan dan beberapa asesoris seperti penjepit rambut, kuda poni kecil, dan gelang, seorang gadis berusia Taman Kanak-Kanak memberanikan diri membeli sebatang coklat Cadbury di sebuah toko serba ada. Meski ditemani oleh ibunya yang adalah perawat di sebuah rumah sakit dan menjemputnya sepulang dari sekolah, gadis itu tampak mampu meluluhkan hati lelaki pemilik toko yang semula dengan wajah heran dan bingung memandangi apa yang disodorkan gadis itu sebagai alat pembayaran coklatnya. Sembari menatap ibunya yang tampak sedang serius bercakap-cakap lewat telepon genggamnya lantaran sempat mengeluhkan situasi yang sedang sulit saat ini, pemilik toko memberikan coklat itu sesudah mengambil segala asesoris yang dijadikan uang pembayarannya. Bahkan sebagai “uang kembalian”, gadis itu mendapatkan kembali gelangnya. Dengan amat gembira, gadis itu memberikan coklat itu kepada ibunya disertai ucapan selamat ulang tahun dan dibalas dengan kata-kata terimakasih serta pelukan hangat darinya.
ADVERTISEMENT
Tentu, pesan bahwa “ada kebaikan dalam setiap orang” yang disampaikan sebagai penutup iklan dapat dibaca dan diterima dengan baik tanpa syarat apapun. Namun, apa yang ada di balik pesan itulah yang sesungguhnya penting dan mendesak untuk dicatat dan disebarluaskan. Pertama, keberanian seorang anak untuk membeli sebatang coklat sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya agaknya mirip dengan para santri yang telah direstui kyai-kyainya untuk maju ke medan pertempuran. Kedua, keheranan dan kebingungan pemilik toko melayani tawaran “barter” (tukar menukar barang) dari seorang anak setara dengan kegelisahan anak-anak bangsa ini saat mengawali revolusi. Ketiga, keputusan pemilik toko untuk mengorbankan miliknya, bahkan mengembalikan apa yang telah diserahkan padanya, adalah wujud dari kemerdekaan yang membebaskan tidak hanya dirinya, tetapi juga sesamanya. Inilah kemerdekaan yang telah diabaikan, bahkan digadaikan, hanya demi mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya.
ADVERTISEMENT
Dengan iklan itu, kita sepantasnya malu, atau lebih tepatnya dibuat malu, bahwa kemerdekaan itu bukan semata-mata siapa dapat apa, melainkan untuk (si)apa hal itu diperjuangkan melalui beragam bentuk pengorbanan. Apalagi di tengah pandemi saat ini, melalui iklan itu, kita sesungguhnya diajarkan untuk tidak terlalu sibuk dan larut dalam segala ketidakpastian. Kita harus bebas dan tidak takut untuk berbuat demi kemerdekaan. Seperti yang dilakukan oleh Kahin, saat dikepung oleh pasukan RI di Gombong, dalam perjalanan dari Purwokerto menuju Kebumen, dan dipaksa untuk menjelaskan bahwa dia bukan orang Belanda, maka dengan kosa kata bahasa Indonesia yang serba terbatas, ia pun berorasi di hadapan sekitar 1000 orang bahwa dia adalah orang Amerika dan rakyat Amerika juga mengalami revolusi anti-kolonial (Colin Wild dan Peter Carey, Gelora Api Revolusi. Sebuah Antologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1986, hlm. 193). Masih beranikah kita menjadi seperti Kahin dan gadis kecil dalam iklan di atas untuk menjadi merdeka seperti seorang ibu di tengah pandemi ini?
ADVERTISEMENT