Literasi Digital, Cakap atau Tanggap?

Anicetus Windarto
Bekerja sebagai peneliti di Litbang Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Konten dari Pengguna
31 Mei 2021 14:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anicetus Windarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Literasi atas media iklan lebih membutuhkan ketanggapan daripada sekadar kecakapan. Foto oleh Arimbi.
zoom-in-whitePerbesar
Literasi atas media iklan lebih membutuhkan ketanggapan daripada sekadar kecakapan. Foto oleh Arimbi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bersamaan dengan Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei, program Literasi Digital Nasional yang diselenggarakan oleh Kemenkominfo telah diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo. Peluncuran itu menandai bahwa secara nasional, literasi digital sudah menjadi kebutuhan. Dengan demikian, diasumsikan bahwa tiada lagi keluhan, bahkan hambatan, untuk terlibat dalam dunia digital secara cakap.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, cukupkah hanya kecakapan yang dituntutkan agar mampu menjadi literatif atau melek secara digital? Ataukah, justru diperlukan pula suatu ketanggapan untuk tidak mudah secara renyah mengakui dapat berliterasi secara digital?
Merujuk pendapat Rudolf Mrázek dalam bukunya Engineers of Happy Land. Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006), kekuasaan yang dihasilkan oleh teknologi memang amat rawan dan rapuh untuk direkayasakan demi memenuhi kepentingan tertentu. Dengan kata lain, teknologi mampu menumbuhkan, dan selanjutnya menginspirasikan, sebuah paradigma kekuasaan yang ampuh.
Penggunaan medsos yang berlebih-lebihan di masa kini adalah contoh bahwa kekuasaan bukan lagi berurusan dengan dunia politik belaka. Tetapi hal itu telah menjadi bahasa dalam hidup sehari-hari yang seolah-olah memberi otoritas pada siapapun untuk berbuat apapun juga. Itulah mengapa di medsos segalanya tampak menjadi serba mekanis dan longgar.
ADVERTISEMENT
Antara kata dan perbuatan, misalnya. Siapapun dapat berkata apapun tanpa ada sensor dari pihak manapun. Maka tak heran jika ada banyak berita yang memekakkan, komunikasi yang hanya berlangsung satu arah, dan longsoran informasi yang mengubur kemungkinan untuk dapat menangkap makna pesan yang sesungguhnya. Dengan demikian, sebagaimana dikeluhkan Karl Kraus, seorang wartawan di Eropa pada tahun 1930-an: “Betapa bisingnya segala sesuatu jadinya.”
Sebenarnya kebisingan yang dikeluhkan Kraus hanyalah dari sebuah mainan teknologi dan barang semu yang masih jauh dari campur tangan digital. Tapi justru karena direkayasa sebagai “perabotan baru yang fantastis”, benda yang disebut radio mampu memberi sebuah petualangan teknologi baru di dalam rumah. Dan hasilnya sebuah ideologi baru terbangun “untuk mempersatukan Belanda dan Hindia Belanda melalui eter.”
ADVERTISEMENT
Ideologi inilah yang mampu menghasilkan kekuasaan, kepalsuan dan kesementaraan sekaligus. Dengan kata lain, segala kecemasan, bahkan ketakutan, dapat diserap tanpa jejak melalui radio yang diharapkan mampu melindungi, menjauhkan, dan mengeluarkan segala ancaman yang nyata. Sebab berkat radio segala sesuatu akan dibuat sedemikian baiknya sehingga mudah untuk dihidupkan dan dimatikan.
Sementara medsos tampak sudah melampaui dari yang digoreskan, bahkan dijanjikan, radio. Meski sama-sama dapat memimpikan dan menikmati kehidupan tanpa perlu pergi keluar dari rumah, namun medsos yang bersumber dari sistem komputer, gadget, atau internet, dapat sekaligus membebaskan dan mengontrol apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Bahkan orang atau organisasi tertentu yang turut memanfaatkan sistem tersebut akan mampu mengenali apa yang diingini, apa yang memotivasi, dan bagaimana reaksi terhadap beragam hal yang disajikan. Jadi, medsos tampaknya tahu lebih banyak daripada radio tentang kita yang sebenarnya lebih tahu mengenai diri kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Di sinilah letak ge(le)gar budaya digital, yang oleh Nicholas Carr dalam bukunya The Big Switch: Rewiring the World from Edison to Google (2008), justru disebut sebagai “hamparan hijau dunia sibernetika yang kurang lebih mirip Firdaus baru.” Dalam konteks ini, kasus yang menimpa Audrey menjadi saat dan tempat yang tepat untuk mengkaji-ulang tentang budaya digital. Itu artinya, perlu ada kerja lintas ilmu (interdisipliner) yang secara jeli mewaspadai digitalisasi dalam hidup sehari-hari. Bukan karena hal itu amat berbahaya, tapi juga menandai ancaman akan “hilangnya sejenis generasi”. Generasi yang bukan seperti katak dalam tempurung dengan pemikiran serba sempit, picik, dan duduk anteng tanpa alasan jelas serta merasa berpuas diri, namun yang memang berkualitas dengan kreativitas dan inovasi yang tak pernah surut.
ADVERTISEMENT
Seperti diperingatkan Benedict Anderson dalam bukunya Hidup di Luar Tempurung (2016), “berkurangnya kerepotan memang suatu berkah, tapi perlu diingat bahwa mutiara dihasilkan oleh tiram yang repot bersusah payah, bukan tiram riang-gembira dengan laptop.” Dan di sinilah “tempat-tempat keramat” di masa lalu, seperti perpustakaan, masih tetap dibutuhkan agar tidak terulang kembali kekejaman seperti yang dialami Audrey hanya karena “tak ada gunanya mengingat apapun, karena kita bisa memunculkan ‘apa saja’ dengan cara lain.”
Tragis, bukan?
Ilustrasi e-book. Foto: Pixabay