Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Natal, Kaya Makna Miskin Cerita
24 Desember 2021 18:58 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Anicetus Windarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Natal yang dirayakan setiap tanggal 25 Desember dimaksudkan untuk mengajak umat beragama, khususnya kalangan kristiani, agar tidak sekadar menjalankan ritual keagamaan belaka, melainkan dapat menemukan esensi atau hakikat dari ritus perayaan tersebut. Itulah mengapa Natal dipilih sebagai saat dan tempat untuk mengguratkan nilai-nilai keutamaan dalam hidup bersama yang diyakini tersurat melalui kelahiran Yesus atau Isa ke dunia lewat perantaraan Maria.
ADVERTISEMENT
Sulit untuk dibantah bahwa kelahiran bayi yang bukan diakibatkan oleh hubungan laki-laki dan perempuan itu membawa konsekuensi yang tidak kecil apalagi sederhana. Sebab secara biologis teramat mustahil untuk mengharapkan keturunan tanpa dikerjakan dengan pembuahan sel telur oleh sperma. Masuk akal jika “Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.” (Ali 'Imran: 47).
Cerita seperti ini sesungguhnya merupakan kata kunci dari kemanusiaan Yesus yang adalah Kristus itu sendiri. Itu artinya, kelahiran Yesus sebagai bayi di Betlehem dua ribu tahun yang lalu adalah suatu kisah yang dikehendaki oleh Allah sebagai Firman yang menjadikan segala sesuatu. Di sini tampak betapa kisah Kejadian (1:1) yang merupakan awal mula dari penciptaan bumi dan segala isinya, termasuk manusia, mendapatkan penggenapan yang paling nyata. Maka bukan kebetulan jika “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Maha Tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya (Luk. 2: 14)” menjadi seruan bersama dari segenap alam semesta karena Sang Rahmatan ‘lil Alamin telah hadir di tengah-tengah umat manusia. Inilah kabar gembira yang sebenarnya bukan berasal dari dalil agama, tetapi justru hidup pertama-tama dari cerita.
Hanya sayangnya, cerita yang sedikitnya dibacakan setiap minggu dalam misa, bahkan diulang-ulang oleh ayah, ibu, guru atau orang dewasa yang lain kepada bocah-bocah mereka itu sekadar berpantul-pantul dan bergaung tanpa makna. Akibatnya, yang diingat sejak bayi-bayi dibaptis oleh para orang tua mereka hanyalah yang menyentuh dan yang mampu memberikan sejenis penghiburan belaka. Tak heran, anak-anak di masa kini lebih menemukan makna yang cukup berharga dari kisah-kisah di tempat lain seperti cerita ikan paus Nabi Yunus di kisah Pinokio, atau perumpamaan tiga orang membangun rumah dalam kisah tiga babi Disney. Dengan kata lain, mereka memang mendapatkan ceritanya dari pabriknya di Gereja, tetapi celakanya memperoleh moralitasnya yang bersahaja dari para penjual jasa hiburan belaka (Ayu Utami, 2004).
ADVERTISEMENT
Maka, Natal memang bukan sekadar urusan identitas keagamaan. Tetapi terlebih adalah masalah keilahian yang kerap telah menjadi banal (dangkal, biasa) di gereja. Dengan kata lain, Natal yang telah menjadi peristiwa tahunan itu seperti lakon yang diulang-ulang dan ujungnya hanya berbiak menjadi selera tanpa sejarah. Lugasnya, merayakan Natal tak lebih dari bagian menjadi kristiani yang tak bisa dibedakan lagi dengan berbelanja ke mal atau merasa nyaman tidak nyaman, pas tidak pas, ketika memakai nama Jawa daripada nama baptis. Natal yang dirayakan seperti ini sudah pasti terlalu sulit untuk dikenali lagi mana yang mengarah pada kebenaran dan mana yang didominasi oleh berbagai kepentingan. Sebab seleranya mudah ditebak sama-sama mengatasnamakan Natal sebagai hari raya bagi kaum minoritas yang malu-malu.
ADVERTISEMENT