Pelajaran dari Pilwalkot Solo 2020

Anicetus Windarto
Bekerja sebagai peneliti di Litbang Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Konten dari Pengguna
26 April 2021 19:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anicetus Windarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu TPS unik dalam Pilwalkot Solo 9 Desember 2020. Photo by: Damianus Bram
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu TPS unik dalam Pilwalkot Solo 9 Desember 2020. Photo by: Damianus Bram
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sesudah mengakhiri masa jabatannya sebagai Walikota Solo pada 17 Februari 2021, FX Hadi Rudyatmo kembali memilih menjadi tukang las. Pilihan yang diunggah di akun intagramnya dan sempat viral itu menunjukkan bahwa tidak ada jabatan yang abadi. Artinya, jabatan itu hanya bersifat sementara dan merupakan amanah untuk menyambung suara dan kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, bagaimanakah masa depan Kota Solo di era wali kota yang baru? Apa saja yang masih perlu dan penting untuk dikerjakan agar suara dan kepentingan rakyat semakin tersambungkan?
Bukan kebetulan bahwa menjelang peringatan hari jadi Kota Solo ke 276 (17 Februari 1746–17 Februari 2021) dan berakhirnya masa jabatan FX Hadi Rudyatmo dan Achmad Purnomo sebagai Wali kota dan Wakil Wali kota Solo, ada kabar bahwa Gusti Kanjeng Ratu Wandansari Koes Moertiyah atau biasa disapa Gusti Moeng terkurung di Keraton Surakarta sejak Kamis (11/2/2021), bersama dengan Gusti Timoer Rumbai (puteri dari Hangabehi), serta dua orang abdi dalem penari dan seorang sentono (pembantu). Salah satu puteri dari Pakubuwono XII itu menyatakan bahwa mereka ingin menyelamatkan Sinuhun atau Pakubuwono XIII yang adalah putera tertua dari Pakubuwono XII bernama Hangabehi. Dengan aksi seperti itu, seakan-akan memperpanjang kembali konflik dalam keluarga Keraton Surakarta yang sudah berlangsung selama 17 tahun, tepatnya sejak 12 Juni 2004 sesaat setelah Pakubuwono XII wafat.
ADVERTISEMENT
Sejak konflik itu meledak dan melahirkan “raja kembar”, yaitu Hangabehi (31 Agustus 2004) dan Tedjowulan (9 November 2004), sebagai Pakubuwono XIII, Keraton Surakarta tampak semakin terabaikan. Meski sudah dimediasi oleh pemerintah pusat, melalui Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), yang diwakili oleh Jenderal TNI (Purn) Subagyo Hadisiswoyo, konflik yang sempat meredam dengan disepakatinya Hangebehi sebagai Pakubuwono XIII dan Tedjowulan sebagai Mahapatih, tetap saja masih sulit untuk dipadamkan. Bahkan hingga saat ini, konflik itu seakan-akan telah menjadi mirip dengan “sinetron” yang berseri tanpa batas di layar kaca televisi Indonesia.
Dari ragam konflik di atas, tampak bahwa perebutan atas nama takhta dan harta masih begitu dominan. Dalam konteks ini, perebutan kuasa atas museum, pengelolaan pagelaran, alun-alun, parkir, masjid agung, adalah panggung dari konflik itu. Masih ditambah lagi dengan kucuran dana dari pemerintah terkait pengelolaan BCB (Bangunan Cagar Budaya) dan beragam acara kebudayaan. Dengan demikian, hal dan masalah politik uanglah yang sesungguhnya menjadi sumber dari segala pertikaian di Keraton Surakarta. Pertikaian yang selalu disembunyikan di bawah otoritas dari masa lalu yang kerap dipandang adiluhung itu mudah ditebak berpusat pada politik kebudayaan Jawa yang telah dikonstruk menjadi adilinglung dari masa ke masa.
ADVERTISEMENT
Dalam kajiannya tentang Pemilu di era Orde Baru yang berjudul “Notes on The 1982 General Election in Solo”, John Pemberton (1986) mencatat bahwa Kota Solo termasuk salah satu panggung politik yang selalu menjadi pusat perhatian di Indonesia. Berdasar pengamatan pada Pemilu tahun 1982, Pemberton menemukan bahwa Kota Solo telah dijadikan laboratorium politik bagi sebuah "pesta demokrasi". Artinya, Pemilu yang dijadikan sebagai pesta atau hajatan lima tahunan seolah-olah dihadirkan dengan melibatkan partisipasi rakyat secara massal terutama selama masa kampanye. Melalui beragam poster yang dipasang di jalanan dan pawai dengan sepeda motor yang suara knalpotnya membuat bising alias memekakkan telinga, pesta diselenggarakan seakan-akan dengan hura-hura, namun tanpa menimbulkan huru-hara. Dan fantastisnya, pemenang dari kontestasi politik perebutan suara itu sudah dapat diketahui bersama jauh sebelumnya, baik di tingkat lokal maupun nasional.
ADVERTISEMENT
Meski sudah jauh berbeda dengan pesta demokrasi di atas, uniknya hasil akhir dari Pilwalkot Solo 2020 pun dapat dengan mudah ditebak. Dengan mencatat kemenangan telak sebesar 86%, yang mampu melebihi hasil akhir Pilpres di tahun 2019 (Joko Widodo dan Maaruf Amin) yang hanya meraih 82%. Pilwalkot Solo 2020 mampu menghasilkan sebuah pesta demokrasi yang bergaya mirip Orde Baru. Entah kebetulan atau tidak, pemenangnya tampak sudah dinubuatkan, bukan hanya dari berbagai lembaga survei ternama, melainkan justru oleh sebagian besar dari warga Kota Solo.
Penting untuk dicatat bahwa sebelum mencalonkan diri sebagai wali kota Solo, nama Gibran Rakabuming Raka telah populer sebagai salah satu pengusaha dalam bisnis makanan kuliner. Awalnya dengan bisnis Markobar (Martabak Kota Barat) yang berdiri sejak tahun 1996 dan berlanjut ke penyedia jasa katering Chilli Pari pada tahun 2010 yang memfasilitasi persewaan gedung, baik untuk pernikahan maupun wisuda para sarjana, dengan nama Graha Sabha Buana yang dibangun pada tahun 2002. Di gedung itulah, akad nikah bagi pasangan Muhammad Bobby Afif Nasution yang memenangkan pemilihan Wali kota di Medan, Sumatera Utara, tahun 2020 dan Kahiyang Ayu digelar pada 8 November 2017 dengan dihadiri oleh para pejabat, pengusaha, termasuk para selebritis di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan nubuat dan hasil seperti itu, tampak tak ada seorangpun yang merasa perlu untuk mencermatinya, apalagi menggugatnya. Justru kebanyakan warga kota Solo tidak lagi peduli, bahkan meragui, jangan-jangan politik suara di masa lalu sedang dimainkan kembali demi kepentingan sepihak tertentu?!? Menarik bahwa dalam kajiannya yang berjudul "Rethingking the Moral Foundation of Indonesian State", Takashi Shiraishi (2001) pernah memperingatkan betapa di era pascareformasi justru "Suharto-Suharto kecil" sedang dilahirkan kembali. Melalui beragam aksi kekerasan, seperti penangkapan, penganiayaan, hingga pembakaran hidup-hidup terhadap para maling atau pencopet di tahun 2000-an, peristiwa itu menjadi dering peringatan kritis yang mampu meruntuhkan fondasi moral negara bangsa di Indonesia.
Tentu, meski tidak sekeras dan sebrutal pilkada-pilkada di lain kota/daerah, Pilwalkot Solo 2020 cukup dapat dimanfaatkan untuk ngegongi slogan yang sempat viral berkaitan dengan kerinduan akan kembalinya zaman Orde Baru. Slogan singkat yang berbunyi "Piye Kabare? Penak Jamanku to?" dengan gambar sosok The Smiling General (Jenderal yang Selalu Tersenyum) itu cukup memberi tanda-tanda bahwa masa depan politik di Indonesia dapat berbelok, atau bahkan dibelokkan, dengan kata-kata yang hanya gemar untuk ngegongi belaka. Sebab hal itu adalah sama saja dengan "tidak untuk mendengarkan" apa yang menjadi suara dan kepentingan dari liyan atau sesama yang lain, sebagaimana pernah ditemukan oleh Joshua Barker and Vicente Rafael (2012) dalam kajiannya yang berjudul “The Event of Otherness: Interview with James T. Siegel”.
ADVERTISEMENT
Inilah yang membuat Kota Solo menjadi tampak magis atau ajaib lantaran di masa Revolusi Indonesia 1945-1949, Perdana Menteri Sjahrir pernah ditangkap oleh kelompok oposisi, di tahun 1965-1966 telah terjadi penangkapan, pembunuhan dan pembuangan terhadap siapa pun yang dituduh berkaitan dengan PKI dan/atau komunis, termasuk Wali kota Solo Oetomo Ramelan, dan di tahun 1980 dan 1998 pernah meletus kerusuhan massal yang dikaitkan dengan politik rasial “anti Cina”.
Maka, seperti tampak dalam Pilwalkot Solo 2020, rakyat di kelas bawah masih memiliki keyakinan yang terlalu sukar untuk digoyang dengan pengetahuan, terutama keyakinan yang berkaitan dengan para pemimpin yang dipandang masih mampu menyambung lidah dan suara, termasuk kepentingan mereka. Meski pada kenyataannya rakyat sudah dibuang dari pikiran, namun keyakinan itu tampak masih tetap saja dipegang teguh entah sampai kapan dan di mana.
ADVERTISEMENT
Tak heran, dalam kajian tentang “Kebaikan Negara”, Benedict Anderson (2002) mengambil kisah dari suatu episode dalam serial televisi cukup populer di Amerika Serikat, yaitu “The Simpsons”. Dalam episode yang berjudul “Mr. Lisa Goes to Washington”, diperlihatkan bahwa nasionalisme dapat membereskan segalanya, termasuk korupsi, asalkan ada kebaikan-kebaikan yang diperlukan bagi negara-bangsa untuk menjadi lebih jeli dan waspada. Itulah mengapa Pilkada 2020, khususnya Pilwalkot Solo, menjadi enak dan perlu untuk diamati dengan lebih mendalam, seperti mengenai politik uang, daripada sekadar menakuti-nakuti orang dengan politik dinasti dan/atau oligarki.
Dengan kenyataan seperti itu, cukup jelas bahwa masa depan Kota Solo masih perlu untuk diwaspadai dengan jeli agar tidak sekadar dijadikan sebagai panggung untuk memamerkan kemegahan sebagai jalan aspal untuk meraih kekuasaan. Seperti pernah dicatat olehClifford Geertz (2000) dalam bukunya yang berjudul Negara Teater. Kerajaan-kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas, bahwa kekuasaan melayani kemegahan, bukan sebaliknya (power served pomp, not pomp power), maka kekuasaan yang baru di Kota Solo tetap membutuhkan pengawasan yang ketat dan melekat agar tidak semata-mata menjadi pameran dan/atau tontonan kemegahan dari pihak-pihak yang sedang berkuasa.
ADVERTISEMENT