Konten dari Pengguna

Mencari Keadilan bagi Anak Berhadapan dengan Hukum

Winner Nur Amalia
Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan
18 April 2023 12:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Winner Nur Amalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ombudsman sidak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas 1, Tangerang, Minggu (29/12). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ombudsman sidak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas 1, Tangerang, Minggu (29/12). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
Menurut pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum merupakan anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban hukum, dan anak yang sebagai saksi tindak pidana. Maksud dari anak di sini yaitu dalam hal tindak pidana yang dilakukan anak belum genap berumur 18 tahun dan diajukan tetapi belum mencapai umur 21 tahun, anak tersebut tetap diajukan ke persidangan anak.
ADVERTISEMENT
Dalam bersosialisasi ke masyarakat kadang kala anak sering kali melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan. Dalam perilaku anak yang berhadapan dengan hukum tidak semata-mata dipengaruhi oleh perubahan tumbuh kembang anak saja. Namun terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pola perilaku anak hingga cenderung mengarah pada tindakan-tindakan negatif hingga perbuatan melanggar hukum, baik itu faktor pendidikan, keluarga, ekonomi, ataupun pengaruh dari lingkungan sekitar.
KPAI mencatat ada sebanyak 54 kasus anak berhadapan dengan hukum pada sepanjang tahun 2022. Jenis kasus yang mereka alamipun beragam, seperti tawuran, pencurian, narkoba hingga pembunuhan. Penyelesaian tindak pidana anak sebagai pelaku seharusnya menerapkan pendekatan khusus melalui diversi dan restorative justice demi menghindarkan anak dari stigma buruk sistem peradilan pidana yang bertujuan semata-mata kepentingan terbaik bagi tumbuh kembang anak ke depannya.
ADVERTISEMENT
Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child). Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), merupakan tanggung jawab bersama aparat penegak hukum. Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup juga anak sebagai korban dan saksi.
Penanganan perkara pidana terhadap anak pastinya memiliki perbedaan dengan penanganan perkara pidana terhadap orang dewasa. Penanganan perkara pidana terhadap anak terdapat aturan tersendiri yaitu Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sistem peradilan pidana anak berbeda dengan sistem peradilan pidana pada umumnya yang wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Dalam hal ini penulis menganalisis kasus anak berhadapan hukum tersebut menggunakan analisis SWOT meliputi:
ADVERTISEMENT
Strenghts (Kekuatan)
Di mana dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi agar diharapkan dapat mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Diversi diartikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Artinya penyelesaian perkara tersebut diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Dengan melibatkan semua pihak yang meliputi peran orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesejahteraan anak.
Serta perlindungan khusus terhadap anak yang bersangkutan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Artinya proses penyelesaian perkara tindak pidana anak dapat dilakukan sejak kasusnya ditangani oleh kepolisian atau bahkan sebelum disidik oleh aparat kepolisian.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian diversi dianggap penyelesaian yang paling baik bagi pihak-pihak yang berhadapan dengan hukum. Namun terdapat batasan dalam pelaksanaan diversi yaitu tidak berlaku bagi anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan ancaman hukum lebih dari tujuh tahun penjara dan juga tidak berlaku bagi pengulangan tindak pidana (residivis).
Weaknesses (Kelemahan)
Pada praktiknya, proses penangkapan dan penahanan yang sangat singkat memberikan beban tugas penyelidik dan penyidik untuk menyelesaikan perkara sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Selain itu, perbedaan pendapat dari penegak hukum terhadap ketentuan dalam pelaksanaan diversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perbedaan pendapat dapat terjadi karena berbedanya cara penafsiran terhadap ketentuan yang diatur di dalam UU SPPA.
ADVERTISEMENT
Disisi lain masih adanya saja yang tidak melaksanakan diversi di mana perbedaan argumentasi mengenai syarat dilakukan diversi tersebut, seharusnya diterapkan diversi pada tingkat penyidikan, faktanya anak yang melakukan tindak pidana tetap ditahan sampai pada tahap pemeriksaan di pengadilan negeri meskipun oleh hakim anak yang memeriksa perkara tersebut mengupayakan diversi dan berhasil.
Sehingga apabila terjadi adanya peniadaan penerapan diversi bagi pelaku tindak pidana khususnya untuk anak tentunya tidak memberikan rasa keadilan bagi anak itu sendiri, setiap keputusan yang diambil sudah seharusnya mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dari anak. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dari anak merupakan hak asasi yang mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
ADVERTISEMENT
Opportunities (Peluang)
Menjalin kerja sama dengan berbagai pihak dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi sesuai amanat regulasi Pemasyarakatan. Dalam hal ini adanya musyawarah diversi yang di mana ada beberapa pihak yang berperan dan mendukung yaitu melibatkan Anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, perawakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan Fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan.
Threats (Ancaman)
Jika kesepakan diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan, maka Hakim melanjutkan perkara pidana Anak tersebut akan ke dalam proses peradilan pidana Anak dan berkas dioper kepada Penuntut Umum sesuai ketentuan UU SPPA. Hakim dalam menjatuhkan putusannya wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan diversi juga dapat dituntut pembatalan atau batal demi hukum jika kesepakatan tersebut melanggar syarat dalam perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, termasuk jika hanya melanggar unsur sepakat yaitu jika korban tidak menyetujui hasil kesepakatan diversi. Akibat batalnya kesepakatan tersebut, perkara pidana Anak tersebut akan dilanjutkan ke dalam proses peradilan pidana Anak.
Kesimpulan
Maka penulis dalam hal ini berpendapat bahwa diversi sangat penting bagi anak karena anak memiliki masa depan dalam kehidupan dan kemajuan suatu bangsa. Sehingga sudah seharusnya anak mendapatkan kesempatan untuk pembinaan dan pendidikan daripada penjatuhan hukuman penjara yang telah terbukti tidak memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana. Dengan dilakukannya diversi diharapkan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab anak terhadap suatu tindak pidana yang telah dilakukannya.
ADVERTISEMENT