Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Agar Bang Eno Bisa Menikmati Koleksi Seni Istana
15 Agustus 2018 0:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari Winuranto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Senin (13/8) kemarin, menjadi hari yang dinanti-nantikan Nono Hermawan. Di hari libur kerjanya itu, pegawai di toko kelontong tersebut bergegas menuju Galeri Nasional Indonesia di Jl. Merdeka Timur 14, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Tujuan pria yang memilih dipanggil bang Eno itu jelas: ingin menyaksikan pameran seni koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia, yang digelar mulai 3 hingga 31 Agustus mendatang.
Dari berita yang berseliweran di media sosial ia mendapat info, terdapat 45 karya seni lukis, patung dan kriya, kreasi 34 seniman Indonesia dan mancanegara dipamerkan di Galeri.
Kata Eno, pameran semacam ini menjadi kesempatan langka bagi masyarakat awam seperti dirinya. Sebelumnya ia sama sekali tak pernah berpikir bisa melihat secara langsung aneka koleksi seni Istana Kepresidenan.
Usai melakukan registrasi, Eno yang tampil kasual melangkah memasuki ruangan utama pameran. Satu per satu karya seni yang dipamerkan ia amati secara saksama.
Tak jauh dari pintu masuk, langkahnya terhenti di depan lukisan "Memanah" karya Henk Ngantung. Lukisan cat minyak pada papan tripleks berukuran 152 x 152 cm ini mulanya adalah koleksi pribadi presiden Soekarno.
ADVERTISEMENT
Syahdan, pada tahun 1944 bung Karno kesengsem pada lukisan "Memanah" yang turut dipajang dalam sebuah pameran di Jakarta.
Seusai pameran, ia mendatangi rumah Henk Ngantung, dan menyatakan niat untuk membeli lukisannya.
Tak sakadar ingin membeli, Soekarno juga mengkritisi lukisan itu. Lengan sang pemanah dianggapnya kurang pas. Soekarno pun memberi contoh posisi yang lebih tepat.
Usai direvisi pada 7 September 1944, lukisan pun dibawa pulang Soekarno. Sempat menghiasi beranda rumah di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta, Sitor Situmorang menyebut, lukisan itu laksana simbol fajar kemerdekaan menyingsing.
Lukisan lain yang ikut membetot perhatian Eno adalah "Perkelahian dengan Singa" (1870) dan "Berburu Banteng II" (1851) karya Raden Saleh.
Dalam katalog, kurator pameran Amir Sidharta dan Watie Moerany, menerangkan, lukisan "Perkelahian dengan Singa" atau kerap disebut "Antara Hidup dan Mati" mengisahkan perjuangan dalam mempertahankan hidup.
ADVERTISEMENT
Pada lukisan itu, seekor kuda terlihat terguling di tanah dengan sorot mata nanar sekaligus panik. Otot-ototnya menegang lantaran punggungnya diterkam sang raja rimba.
Penunggangnya ikut jatuh tersungkur, namun masih berusaha melawan dengan menembak singa dari jarak dekat. Sedangkan seorang yang digambarkan berkulit gelap―boleh jadi ia adalah pembantu si penunggang jaran―terlihat roboh terkapar, mungkin binasa.
Sementara pada lukisan "Berburu Banteng" digambarkan tujuh orang pemburu sedang menunggang kuda seraya menghunus tombak dan kelewang, serta menembakkan senjata. Mereka mengepung seekor banteng kekar berwarna hitam. Terlihat pula ada anjing menyalak di dekat banteng yang terkoyak tubuhnya.
Dua lukisan Raden Saleh yang dipamerkan tadi, merupakan hadiah dari Ratu Belanda Juliana untuk pemerintah Indonesia. Pada 1970 lukisan itu diberikan kepada presiden Soeharto saat melawat ke Belanda.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, Raden Saleh diketahui pernah melukis lima karya bertema perburuan banteng. Tiga karya dibubuhi tahun pembuatan yakni 1842, 1851, dan 1855. Dua lainnya tak disertai keterangan tahun sehingga tidak diketahui secara persis kapan lukisan tersebut dibuat.
Istana Kepresidenan sendiri memiliki enam lukisan Raden Saleh: "Penangkapan Pemimpin Jawa, Diponegoro (die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro)", "Menghadap Bola Dunia", "Berburu Banteng I", "Berburu Banteng II", "Harimau Minum", dan "Antara Hidup dan Mati".
Ada lukisan lain yang juga membuat Eno tercenung, "Perkelahian Antara Rahwana dan Jatayu Memperebutkan Sinta" karya Basoeki Abdullah. Dilukis tahun 1961 menggunakan cat minyak pada kanvas berukuran 157 x 120 cm, Basoeki yang kerap mengangkat kisah mitologi menggambar secara realistis sosok Jatayu, Rahwana, dan Sinta.
ADVERTISEMENT
Dalam kisah Ramayana, Jatayu yang sudah renta berusaha merebut kembali Sinta yang diculik Rahwana. Mereka bertarung di antara awan yang berarak di angkasa. Apa daya, Jatayu kalah tak berdaya.
Eno sebetulnya ingin melihat langsung lukisan "Nyai Roro Kidul" karya Basoeki Abdullah. Namun, lukisan fenomenal yang dibuat pada 1955 tersebut tak muncul dalam pameran kali ini. "Saya pernah bermimpi bertemu Nyai Roro Kidul, makanya ingin bisa melihat lukisannya," papar Eno.
Pada pameran bertajuk Senandung Ibu Pertiwi tahun lalu―yang juga digelar di Galeri Nasional―lukisan "Nyai Roro Kidul" hadir bersama "Gatotkaca dengan Anak-anak Arjuna, Pergiwa-Pergiwati" dan "Djika Tuhan Murka".
Oleh Basoeki Abdullah, Nyai Roro Kidul dilukiskan sebagai perempuan berparas cantik jelita. Di tengah deburan ombak, ia muncul mengenakan kain kemben berwarna hijau. Pada lehernya yang jenjang dihiasi kalung dari untaian mutiara.
ADVERTISEMENT
Nyai Roro Kidul dilukis, konon, setelah Basoeki Abdullah "bertemu" sendiri dengan ratu pantai dan laut Selatan.
Istana Kepresidenan yang tersebar di lima kota memang menyimpan banyak koleksi karya maestro seni. Sekadar mencontohkan ada lukisan "Pejuang" (Trubus Soedarsono, 1949), "Tak Seorang Berniat Pulang Walau Maut Menanti" (Rustamadji, 1963), "Jendral Sudirman" (Joes Soepadyo, 1954), "Gadis Tibet" (Lee Man Fong, 1956), "Pemuda Lampung Berpakaian Adat" (Dullah, 1952), dan lain sebagainya.
Koleksi seni dari luar negeri juga ada. Sebut saja patung perunggu "Penombak" (Roberto Juan Capurro, 1959), "Pemanah" (Zsigmond Kisfaludi Strobl, 1919), "Pejuang Soviet Sang Pembebas" (Yevgeny Viktrorovich Vuchetich), dan lain-lain.
Masing-masing Istana punya konsep tersendiri. Istana Kepresidenan Yogyakarta, misalnya, berkonsep nasionalisme, Istana Bogor mengusung konsep romantika Indonesia Nusantara, Istana Tampaksiring di Bali berkonsep tradisi dan Istana Cipanas bertema memorabilia antarnegara dan kenang-kenangan sejak zaman Soekarno.
ADVERTISEMENT
Di masa presiden Jokowi, sudah tiga tahun berturut-turut Kementerian Sekretariat Negara menggelar pameran seni koleksi Istana.
Pameran yang rutin digelar menjelang ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus ini, setidaknya bisa menjadi kado untuk bang Eno dan rakyat Indonesia lainnya.
Tentu ikhtiar ini patut diapresiasi. Karena koleksi seni milik negara tidak hanya dinikmati oleh kalangan orang Istana yang sangat terbatas. (*)