Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Kebenaran Dalam Membaca Sastra
11 Desember 2022 15:17 WIB
Tulisan dari Wisnu Ahmad Rifai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Membaca memiliki peran penting dalam konteks kehidupan manusia, terlebih membaca di era teknologi yang tengah berkembang begitu pesat. Membaca juga adalah jembatan bagi manusia untuk meraih suatu kemajuan dan perubahan dalam dirinya atau lingkungan. Sebab, dengan membaca kita mengetahui dan memahami bagaimana suatu pandangan dari perspektif dan mata yang berbeda, dan dengan membaca pula kita mengasah kemampuan nalar dan logika untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan entah tersurat atau tersirat.
ADVERTISEMENT
Proses membaca merupakan kegiatan mencocokan huruf atau melafalkan lambang-lambang bahasa tulis. Anderson berujar jika, “Reading is a recording and decoding process”. (Membaca adalah proses merekam dan menafsirkan). Di sisi lain, membaca bukanlah sebuah proses tunggal. Membaca merupakan algoritma dari berbagai proses yang kemudian berakumulasi pada suatu perbuatan tunggal, yaitu membaca itu sendiri. Secara tidak langsung membaca adalah sebuah perbuatan aktif yang dilakukan secara sadar melalui pemahaman, pemikiran dan pemaknaan dari esensi membaca yang ditentukan oleh pengalaman si pembaca.
Banyak para pakar yang menyepakati bahwa kemahiran membaca merupakan suatu syarat mutlak untuk memperoleh kemajuan dan perubahan. Sebab membaca memegang peranan penting dan mutlak bagi individu maupun kelompok untuk memberikan atau menambahkan wawasan serta perspektif yang luas. Alfred Adler pun mengatakan, “Reading is a basic tool in the living a good life” (Membaca merupakan alat utama untuk seseorang dapat meraih kehidupan yang baik).
ADVERTISEMENT
Sedangkan sastra atau literature adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah seni menurut Wellek dan Warren. Sastra menggunakan bahasa sebagai bahan penciptaannya. Sastra dapat diartikan sebagai alat mengajar, sebuah buku petunjuk atau pengajaran. Sastra juga menyiratkan makna bahwa apa yang disebut sastra tidak lain dan tidak bukan adalah alat yang berfungsi untuk memberikan sebuah pemahaman dan pengetahuan kepada pembacanya.
Sastra merupakan pengungkapan pendapat dan pikiran penulis terhadap suatu masalah yang tengah dihadapinya atau tentang masalah sosial dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Suatu kenyataan yang dituangkan dalam bentuk tulis dengan memperhitungkan aspek keindahan yang akan dicipta melalui karya sastra. Sastra bukanlah sebuah karya tulis biasa, karya sastra mengandung unsur pikiran dan perasaan yang menjadikan sebuah karya sastra mempunyai sifat dan bentuk yang unik, karena memuat nilai personal dan estetis. Sastra juga adalah sebuah gejala bahasa tersendiri, yang menempatkan diri sebagai alternatif; yang justru mendapatkan makna pada kontrasnya dengan sistem pemaknaan umum. Meminjam istilah Riffaterre bahwa sastra berada dalam makna semiotik, bukan mimetik.
ADVERTISEMENT
Namun dewasa ini, pengertian membaca sastra yang sesungguhnya bukanlah tentang membaca secara tersurat melalui buku, manuskrip, atau tulisan-tulisan yang ada. Membaca sastra memiliki pengertian lebih dari sekedar huruf. Membaca mempunyai esensi yang terdapat pada perasaan dan logika. Bermain dengan kedua hal tersebut dan melalui pandangan secara garis besar yang telah dijelaskan di atas memunculkan sebuah pertanyaan mengenai membaca. Sejatinya apa sebuah kebenaran dalam membaca sastra? Apakah hanya sebatas pemahaman kita tentang sebuah huruf? Atau tentang merasakan bagaimana membaca adalah sebuah proses berkembangnya pemikiran dan perasaan? Soal eksistensi semata? Persoalan yang ada di sekitar kita? Karena banyak kalangan anak muda saat ini yang hanya membaca sebuah sastra sebagai suatu eksistensi yang berporos pada trend masa kini dan gaya hidup untuk terlihat memahami dan memaknai sebuah kehidupan namun memiliki pemaknaan dan penalaran yang minim. Secara sederhana mereka membaca untuk sekedar membaca dan menikmati tanpa ada rasa memahami.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya sastra memiliki sebuah fondasi atau bangunan yang “mistis”, “strukturalis”, atau patronis, yang berada di atas kepala kognitif masyarakat dan dianggap memiliki sebuah peranan dalam menentukan cara kita berbahasa. Sastra mau tidak mau mesti menolak langue untuk dapat merepresentasikan semesta melewati dunia yang ia ciptakan sendiri, di luar pemahaman struktural apapun. Menarik sebuah kesimpulan, membaca sebuah sastra adalah bagaimana kita memahami sebuah sastra tersebut di luar kendali struktural dan kendali apapun yang ada di sekitar atau diri kita sendiri karena karya sastra adalah sebuah dunia representatif yang dihadirkan oleh pemikiran dan kreasi-kreasi tak terbatas oleh si penulis dan secara tidak langsung pembaca harus mendalami pemikiran tersebut secara mandiri untuk memahami sebuah sastra yang dihadirkan.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa kebenaran dalam membaca sastra? Secara kejelasan kebenaran bersifat tak menetap, susah untuk dicari hanya melalui satu pandangan, dan tidak bisa diketahui secara pasti. Seno Gumira mengutip tentang kebenaran di dalam pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019, “Kata kebenaran lebih baik tidak digunakan. Dihindari, atau digunakan dengan hati-hati sekali, karena kebenaran, meskipun ada, tidak bisa diketahui.”
Di dalam pidato kebudayaan, Seno menambahi pendapat mengenai kebenaran dari Mpu Tanakung dalam Siwaratrikalpa pada pertengahan abad ke-15 yang menggambarkan tentang kebenaran:
manuk asukha-sukhan muńgwiń pań rãmya masahuran
kadi papupul i sań wriń tatwâdhyātmika maceńil
burung-burung menghibur diri di antara reranting, bahagia saling bercuit seperti pertemuan para pakar yang berdebat mencari kebenaran esoterik
ADVERTISEMENT
Rupa dari kebenaran sejak dahulu memang menjadi sebuah hal rancu dan selalu diperebutkan. Secara sederhana kebenaran itu ada tetapi pencarian akan kebenaran tersebut yang menjadi sebuah kendala bagi kita. Kebenaran dalam membaca sebuah sastra adalah ketika kita tahu bahwa apa yang kita baca benar dan melalui sastra kita memperluas pandangan terhadap dunia yang kian mengiris hati tentang hilangnya esensi kebenaran dari tiap-tiap sisi kehidupan manusia. Jadi, kebenaran adalah fana dan tidak abadi. Kebenaran abadi ketika ia digenggam oleh hati dan nurani bagi mereka yang percaya bahwa kebenaran itu ada. Dan secara tegas menegakkan kebenaran dengan kepercayaan dan perasaan tanpa merugikan orang lain dan lingkungan. Itulah kebenaran.
Daftar Pustaka
Ajidarma. Kebudayaan Dalam Bungkus Tusuk Gigi. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. 2019.
ADVERTISEMENT
Radhar. Kebenaran dan Dusta Dalam Sastra. Magelang: IndonesiatTera. 2001.
Wellek & Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. 2016.