Banjir Samarinda dalam Sudut Pandang Sejarah Peradaban dan Geologi

Wisnu Ismunandar
Dosen Teknik Geologi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
Konten dari Pengguna
3 Oktober 2022 11:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wisnu Ismunandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Panorama Sungai Mahakam di Kota Samarinda | Photo by Wisnu Ismunandar
zoom-in-whitePerbesar
Panorama Sungai Mahakam di Kota Samarinda | Photo by Wisnu Ismunandar
ADVERTISEMENT
Samarinda merupakan sebuah kota yang berada di tepian sungai Mahakam. Hal tersebut menjadikan Samarinda dijuluki dengan Kota Tepian. Penamaan Samarinda berasal dari kata sama - rendah. Menurut salah satu jurnalis terkemuka Kalimantan Timur yakni Oemar Dachlan menjelaskan bahwa istilah sama - rendah merujuk permukaan tanah yang tidak bergerak dan tetap rendah, bukan ukuran permukaan sungai yang airnya naik - turun. Selain itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Samarinda dijuluki De Klein Amsterdam atau Amsterdam Mini. Hal ini dikarenakan kondisi alam Samarinda yang banyak dialiri sungai - sungai sehingga tergolong ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) yang di mana wilayah daratannya terhubung dengan Sungai Mahakam dan anak - anak sungai lainnya.
ADVERTISEMENT
Berbagai peradaban besar di dunia lahir melalui peradaban sungai, seperti Peradaban India Kuno di lembah Sungai Gangga dan Sungai Indus, Peradaban Mesir Kuno yang tersebar sepanjang aliran Sungai Nil, begitu pun Samarinda di tepian Sungai Mahakam. Peradaban Samarinda tidak terlepas dari adanya peran Sungai Mahakam yang merupakan unsur penting dalam dinamika perkembangan sosial di Samarinda. Bahkan pada tahun 1732 saat masih menjadi bagian Kesultanan Kutai, Samarinda ditetapkan sebagai kota bandar dan pelabuhan. Posisi strategis sebagai kota pelabuhan ini menjadikan Kota Samarinda semakin berkembang dan ramai didatangi oleh masyarakat maupun pedagang dari luar. Hingga akhirnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1844, Samarinda ditetapkan menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda di Kalimantan Timur saat itu.
ADVERTISEMENT
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kota Samarinda dibangun dengan merujuk konsep tata wilayah dari kota Amsterdam hingga mendapat julukan sebagai Amsterdam van Kutai. Pembangunan kota diwujudkan melalui pembuatan kanal – kanal besar yang kemudian menjadi jalur transportasi bagi kapal kecil maupun perahu. Selain berfungsi sebagai jalur transportasi, pembangunan kanal ini juga berfungsi menampung volume air yang berlebih pada saat air sungai pasang dan curah hujan yang berlebih sehingga tidak menenggelamkan pemukiman. Struktur Kota Samarinda yang banyak dilalui sungai ini setidaknya masih tetap terjaga setelah masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda berakhir yakni mulai dari Zaman Orde Baru hingga berakhirnya masa pemerintahan Kadrie Oening di Samarinda (Sarip, 2022). Namun setelah periode tersebut banyak kanal – kanal, cabang – cabang sungai, rawa yang merupakan area resapan air hilang tertutup oleh tanah urugan dan pondasi beton bangunan. Pembangunan tersebut mengakibatkan minimnya saluran dan daerah resapan penampungan air yang berakibat terjadinya peristiwa banjir seperti yang terjadi saat ini.
ADVERTISEMENT
Selain aspek kondisi alam di permukaan dan kontrol manusia, peristiwa banjir ini juga dikontrol oleh kondisi geologi di permukaan maupun bawah permukaan yang mencakup terutama komposisi batuan, geomorfologi, dan struktur geologi. Kota Samarinda memiliki kondisi geomorfologi secara umum berupa bentuk asal struktural, fluvial, dan denudasional dengan dominasi morfologi berupa lembah dan perbukitan. Posisi Kota Samarinda yang terdapat pada morfologi lembah inilah yang menjadikannya rentan tergenang oleh pasokan air yang datang dari perbukitan yang mengapit dan banyaknya aliran sungai.
Namun selain Kota Samarinda, sebenarnya ada juga kota lain di Indonesia yang memiliki kondisi morfologi hampir serupa berupa lembah yakni Kota Yogyakarta. Bahkan Kota Yogyakarta tidak hanya diapit dua perbukitan namun juga diapit oleh gunung api. Akan tetapi, Kota Yogyakarta berdiri diatas batuan yang bersifat sangat permeabel yakni dominasi batupasir yang mampu dengan cepat menyerap dan meloloskan air ke bawah permukaan sehingga mampu menghindari terjadinya banjir. Berbeda halnya dengan Samarinda dimana batuan yang menyusun adalah berupa dominasi batulempung sisipan batupasir yang bersifat semi impermeabel dengan daya serap air yang rendah serta keadaan ini semakin buruk oleh pembangunan kota yang kurang memperhatikan tatanan lingkungan asal sehingga mengakibatkan terjadinya genangan air dalam waktu yang lama.
ADVERTISEMENT
Banjir sepertinya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Kota Samarinda. Terutama ketika memasuki musim penghujan, dimana cukup dalam durasi rata – rata dua hingga tiga jam saja Samarinda langsung tergenang. Akibatnya seketika menghentikan peredaran aktivitas masyarakat di beberapa lokasi yang tergenang parah dan menjadi musibah langganan bagi perumahan yang ada di sekitarnya.
Dalam tulisan ini, penulis menekankan bahwa aspek sejarah peradaban masa lampau, lingkungan, dan geologi hendaknya dapat menjadi rujukan utama dalam proses pembangunan suatu wilayah yang tidak hanya bertumpu pada aspek keekonomian semata. Dengan kondisi wilayah berupa sosial, lingkungan dan geologi yang telah ada, hendaknya kita mampu memetik pembelajaran dan mencari solusi dalam membebaskan Kota Samarinda dari bencana banjir. Sudah selayaknya pembangunan suatu wilayah mengedepankan aspek lingkungan alami yang ada agar terciptanya kehidupan masyarakat yang madani dan bersinergi dengan alam.
ADVERTISEMENT