Kopi Pahit Pemanis Hidup Kakek Mulyono

16 Januari 2017 6:19 WIB
comment
30
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Mulyono, penjual kopi keliling. (Foto: Kevin Septhama/kumparan)
Kala itu azan berkumandang seperti biasa di Masjid Istiqlal. Di bawah terik matahari orang-orang kemudian berbondong-bondong menunaikan salat Jum'at. Ada yang di dalam, ada juga yang di luar.
ADVERTISEMENT
Tak sedikit pula orang-orang yang mencoba mengais rezeki di pinggir kompleks masjid. Yang dijual pun bermacam-macam, ada minyak wangi, makanan, minuman ringan, hingga gamis khas padang pasir arabia.
Namun ada yang menarik perhatian saya saat itu. Pria renta berbaju hitam bergaris, dengan topi hitam sedang duduk melamun di samping sepedanya yang dihiasi rencengan kopi dan termos air panas.
Rupanya itu Mulyono (83), yang saban hari berkeliling tanpa lelah menjajakan kopi hangatnya kepada orang yang berlalu lalang.
Mulyono, penjual kopi keliling. (Foto: Kevin Septhama/kumparan)
Tuhan Maha Pengasih, kalimat itulah yang diyakininya. Ketika dirinya melihat realita kehidupan orang-orang yang begitu kuat bersahabat setiap hari dengan polusi dan kerasnya Ibukota.
Ini adalah sekelumit cerita, ketika sebagian lainnya memutuskan untuk menyerah pada nasib, mengemis menengadahkan tangannya dan menunggu receh datang ke kantong mereka di pinggir jalan dan di kolong-kolong jembatan menunggu harapan.
ADVERTISEMENT
Namun Mulyono bukan satu dari mereka. Dia punya prinsip begitu teguh, tak ada istilah meminta-minta di dalam jiwanya.
Rupanya Kakek Mulyono sudah lama di Jakarta. Pergi dari kampungnya, berharap peruntungan di Ibukota setelah harta kekayaan orang tuanya habis dirampas oleh keluarganya. Saat memutuskan untuk hijrah ke Ibukota, Mulyono hanya membawa kekecewaan yang mendalam, nyawa dan pakaian yang menempel di raga yang sudah tak muda lagi itu.
Dirinya ingat betul, kala itu dia menumpang kereta barang dari Lamongan setelah memergoki istrinya berselingkuh dengan kakak tirinya.
"Waktu itu saya ditodong celurit sama selingkuhan istri saya, saya lari aja dari Lamongan ke sini. Modal nyawa naik kereta barang. Waktu itu kan masih ada kereta barang yang bawa kuda dan hewan ternak," kenangnya.
ADVERTISEMENT
Tak punya apa-apa membuat dirinya terlantar di Ibukota. Anak-anaknya pun kini sudah tidak mau lagi menampungnya. Pernah suatu hari dirinya diminta pulang oleh anak ketiganya yang kini memiliki usaha soto Lamongan di daerah Taman Anggrek, Jakarta Barat. Namun hal itu malah membuatnya semakin merasa terhina.
"Bayangkan saja, anakku menyuruhku tidur di tempat kuli-kulinya dia, tempat kuli pelayan tempat makannya. Demi Tuhan nggak ada toiletnya. Mau buang air kecil tak bisa, buang air besar apalagi. Hina sekali saya," ujar pria asli Pekalongan ini penuh sesal.
Mulyono, penjual kopi keliling. (Foto: Kevin Septhama/kumparan)
Mulyono kemudian kecewa, dirinya memutuskan untuk pergi dari tempat anak ketiganya itu. Selang beberapa bulan kemudian anaknya menemukannya kembali. Berharap anaknya berubah pikiran tetapi malah membuat Mulyono semakin kecewa dengan sikap anaknya.
ADVERTISEMENT
"Padahal dulu saya bangga, tapi sekarang sebaliknya, sakit hati saya. Hanya diberi uang Rp 50 ribu, padahal saya hanya meminta sedikit darinya untuk beli celana. Bapak nggak punya celana. Dia lantas nggak mau ngasih lagi dan kemudian pergi begitu saja," sesal pria kelahiran 1933 ini.
Sejak saat itu, Mulyono lebih memilih menggantungkan hidup ke sepeda yang digunakannya untuk menjajakkan kopi. Sepeda itu hasil pemberian salah seorang dermawan.
Mulyono tadinya sangat akrab dengan sopir sang dermawan. Kegemarannya membaca koran mengantarkan dirinya mendapatkan sepeda silver yang kini menjadi tambatan hidup.
"Waktu itu saya masih luntang-lantung, senang baca koran, sopirnya sering pinjam koran saya, bosnya sering lihat saya,” tuturnya.
Mulyono, penjual kopi keliling. (Foto: Kevin Septhama/kumparan)
Selang satu bulan sopir menghampirinya. "Kamu jangan pergi ya, nanti jam 10 pagi saya jemput pakai mobil," kenangnya. Tak diduga dirinya diberi sepeda lengkap dengan tiga buah termos air dilengkapi serencengan kopi, susu, dan perlengkapan jualan sepeda kopi keliling pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Dari saat itulah Mulyono kemudian berkeliling menjajakan dagangannya. Mengelilingi Pasar Baru, Mangga Besar, Karanganyar lalu kembali ke Jalan Veteran 1. Dirinya pun kerap berjualan mengelilingi Monas saat malam Sabtu dan Minggu.
Semangat demi menghidupi dirinya sendiri inilah yang mengantarkan rezeki dari Tuhan ke tangannya. Sampai saat ini rezeki terus mengalir kepada dirinya yang renta.
“Tempo hari pernah ada mobil berhenti dekat saya. Ada wanita cantiknya bukan main kemudian berhenti. Tiba-tiba dia ngasih rezeki ke saya, nih pak, Rp 100 ribu, Rp 200 ribu," katanya sambil memperagakan gerakan wanita tersebut.
"Pernah juga ada orang yang tiba-tiba manggil saya, ngasih aja Rp 30 ribu di Pasar Baru kira-kira cewek umur 40 tahun. Kedua saat di depan Ragusa itu. Ada yang teriak ke saya dari kejauhan ‘Pak kopinya satu, jangan diseduh ya’ terus saya dikasih Rp 100 ribu," kenangnya.
ADVERTISEMENT
Mulyono sama sekali tidak mengharapkan belas kasihan orang. Dirinya sudah merasa cukup dengan hasil berjualan kopi. Yang penting cukup untuk makan dan minum, tidak perlu lebih. Namun, Tuhan kadang memberikan rezeki dengan cara yang tak terduga.
“Pernah lagi kemarin, kira-kira jam 7 malam, ada laki-laki, perempuan sedang berjalan kaki. ‘Pak kopi 2 jangan diseduh’. "Demi Allah dan Rasulnya, saya dikasih Rp 200 ribu. Alhamdulillah semua sudah diatur Allah,” ucapnya penuh syukur.
Mulyono, penjual kopi keliling. (Foto: Kevin Septhama/kumparan)
Kini, di usianya yang senja Kakek Mulyono sudah mendapatkan keinginannya: hidup bebas, mandiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Dirinya tak ingin merepotkan banyak orang, apalagi anak-anaknya yang tak ikhlas hati menampung ayahnya yang sudah renta.
"Udah lah saya mau musafir aja. Semua saya serahkan pada Allah, saya diberi rezeki, saat jualan pun saya serahkan pada Allah, artinya dia sayang sama saya," katanya penuh keyakinan.
ADVERTISEMENT