Menuju Simeulue, Pulau Kokoh di Samudera Hindia

3 Mei 2017 10:35 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jurnal perjanan ke Sinabang Aceh. (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Ini adalah pengalaman pertama saya dan sahabat saya, Ridho Robby, mengunjungi sebuah pulau yang berdiri tegar di Samudera Hindia, yaitu Simeulue, Provinsi Aceh.
ADVERTISEMENT
Sebagian warga Indonesia mulai mendengar Simeulue pada tahun 2004, saat gempa dan tsunami dahsyat menerjang Aceh dan Sumatera Utara. Seratus ribuan orang tewas, tapi Simeulue yang tepat di tengah Samudera Hindia, justru relatif selamat dari tsunami. Pulau memang lantak, tapi hanya 6 warga yang tewas. Penyebabnya, penduduknya memiliki kearifan lokal terkait tsunami sehingga tahu bagaimana upaya penyelamatan diri saat tsunami mengancam. Mereka memiliki budaya tutur yang menggambarkan tanda-tanda tsunami akan muncul dan bagaimana cara menyelamatkan diri.
Waktu tempuh penerbangan dari Jakarta-Simeulue sekitar 3 jam. Pertama, perjalanan dari Jakarta ke Medan sekitar 2 jam. Kedua, Medan menuju Simeulue sekitar 1 jam.
Namun, itu hanya jadwal ideal. Saat hendak terbang ke Simeulue, perjalanan kami tertunda selama 3 jam akibat cuaca yang buruk. Hmm..oke..saya pun sabar, setidaknya saya menunggu bukan karena pesawat yang delay akibat masalah teknis, itu pasti akan menguras emosi.
ADVERTISEMENT
Penerbangan pertama dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 09.00 WIB menuju Medan sangat kami nikmati. Servis yang diberikan oleh awak kabin Garuda cukup memuaskan.
Namun saat ingin berganti pesawat, cuaca buruk menghiasi langit di sekitar Bandara Kualanamu Medan. Kami memutuskan untuk beristirahat bersama rombongan sekaligus menikmati makan siang. Usai makan siang, kami beristirahat di BRI Lounge.
Kami membawa peralatan cukup banyak untuk liputan ditambah beberapa barang pribadi. Saat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnnya di bandara tersebut, kami cukup kelelahan karena barang bawaan.
Jurnal perjanan ke Sinabang Aceh. (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Tiba di BRI Lounge, kami mengisi waktu dengan berbagai hal, mulai dari nonton, makan, dan sharing. Akibat penerbangan yang tertunda, Ridho dapat bertemu dengan sang adik yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Medan. Pertemuan yang terbilang singkat itu setidaknya dapat melepas kerindungan antara adik-kakak, karena hampir satu setengah tahun tidak bertemu.
ADVERTISEMENT
Cukup dramalah, ya.
Tiba pukul 15.30 WIB, kami bersiap terbang ke Simeulue menggunakan pesawat jenis ATR. Pesawat yang kami gunakan hanya mampu membawa sekitar 70 penumpang.
Akibat barang bawaan kami terlalu banyak, seorang pramugari meminta beberapa tas milik kami untuk diletakkan di bagasi pada bagian dalam belakang pesawat.
Kami lalu mencari kursi yang akan kami duduki. Saat itu kami mendapat seat 3D dan 3F. Ketika menuju seat yang kami maksud, saya agak bingung karena seat itu telah diduduki oleh seorang ibu yang sedang menggendong bayinya. Saya mencoba untuk meletakkan sebagian barang ke kabin pesawat terlebih dahulu. Karena ukuran kabinnya kecil, kami sempat mengalami kesulitan saat meletakkan barang.
ADVERTISEMENT
Kembali pada ibu yang yang menduduki kursi saya di pesawat. Saya bertanya, “Maaf ibu, boleh saya cek tiketnya?”
“Ini Mbak,” jawab si ibu sambil menunjukkan tiket.
Saya menjelaskan bahwa kursi yang tertera di tiket miliknya adalah di seat nomor 9. Dia meminta maaf dan bergegas pindah.
Saat kami duduk, saya merasakan sesuatu yang berbeda, biasanya ketika masuk ke dalam sebuah pesawat kita akan merasakan dingin karena AC. Namun, saat itu pesawat dalam AC tersebut belum dinyalakan.
Kami kepanasan. Saya mencari sesuatu yang dapat disulap untuk menjadi sebuah kipas. Alhasil, saya menggunakan brosur maskapai penerbangan pesawat tersebut untuk mengipas diri saya. Sempat terpikir, ini bukan seperti di dalam sebuah pesawat, melainkan di dalam sebuah bus.
ADVERTISEMENT
Saat hendak take off, AC mulai dinyalakan. Karena kelelahan, saya tertidur, sedangkan Ridho menikmati pemandangan dari ketinggian.
Akhirnya kami pun tiba di bandara Lasikin, Simeulue, Aceh, sekitar 16.56 WIB. Ukuran bandaranya pun terbilang kecil, yaitu sekitar 2.000 meter persegi. Bandara yang dibangun secara bertahap sejak tahun 2002 ini terletak di pinggiran pantai yang langsung menghadap ke Samudera Hindia.
Hamparan laut yang menakjubkan. Betapa indahnya ciptaan Tuhan.
Pemandangan di tempat kami menginap juga tak kalah indahnya, selain udaranya yang sejuk khas pantai. Hotel ini juga jauh dari riuhnya kota sehingga sangat nyaman untuk beristirahat.
Perjalanan kami ke Simeulue untuk memenuhi undangan dari Bank BRI, untuk melihat kondisi dua sekolah di daerah tersebut, yaitu SDN 12 Teupah Barat dan SDN 7 Simeulue Timur.
ADVERTISEMENT
Di sana para pejabat BRI akan mengajar anak-anak kurang beruntung yang bersekolah di tempat yang kurang layak.
Nantikan story-story tentang kegiatan kami dengan BRI berikutnya, ya.
Jurnal perjanan ke Sinabang Aceh. (Foto: Ridho Robby/kumparan)