Konten dari Pengguna

Peraduan

Wisnu Prasetiyo
Wartawan kumparan
5 April 2017 6:23 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wisnu Prasetiyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peraduan
zoom-in-whitePerbesar
Sesaat perasaan ini terhentak saat kaki baru saja berjejak di peraduan.
ADVERTISEMENT
Setelah hanya 3 hari melanglang buana ke Timur, aku kembali dengan perasaan rindu yang agak berbeda.
Benar saja, rasa ini ternyata berbalas dengan apa yang ia rasakan.
Dia sudah setengah terlelap. Namun ketika aku sampai dan mencium tangannya tiba-tiba dia memelukku erat seraya mencium pipiku sebelah kanan.
Rasanya sungguh membuatku nyaman. Dan air mata pun tak tertahan. Dia jatuh beberapa saat kemudian.
Aku berpikir. Sebegitu rindunya kah dia?
Padahal aku hanya 3 hari tak membersamainya. Dan padahal, dulu aku kerap tugas ke luar kota dalam waktu yang sama.
Bahkan bisa sebulan tiga kali.
Setelah membasahi diri dengan air suci, aku sempat merenung sejenak.
Aku pun perlahan menemukan jawabannya.
Kondisinya kini berbeda. Bahkan jika dibandingkan dengan beberapa bulan atau setahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Saat ini, ia lebih banyak istirahat karena tubuhnya tak sebugar biasanya.
Aku pun paham di usianya saat ini, fungsi organ-organ tubuhnya pasti sudah tak sempurna.
Di sisi lain alam pikirannya pun perlahan namun pasti mulai kembali seperti saat ia masih belia.
Aku pun semakin tersadar.
Bekerja keras, meninggalkan kesenangan-kesenanganku terdahulu, bahkan sampai melupakan teman adalah konsekuensi logis dari apa yang terjadi saat ini.
Meski mungkin ia tak mau aku bekerja terlalu keras. Mungkin ia ingin aku tinggal di rumah saja.
Sekadar menemani hari-harinya yang sepi.
Aku terdiam lagi.
Dulunya, aku kerap abai akan tugas-tugasku.
Aku menempuh pendidikan sementara ia berpeluh-peluh mendorong gerobak besar untuk menjajakan dagangannya.
Itu cuma 0, sekian persen dari pengorbanannya untukku.
ADVERTISEMENT
Kini ia harus kujaga. Tak ada nama perempuan lain satu pun di pikiranku.
Meski banyak yang mengira dan melihatku begitu haus dengan kasih sayang perempuan, aku pun hanya tersenyum menghadapinya.
Karena, kalaupun aku sempat bercerita soal ketertarikan, itu hanya sesaat mengendap di pikiranku.
Kini, aku hanya berpikir bagaimana membuat diriku bermanfaat dan mengabdi untuk hidupnya.
Bukan untuk siapa-siapa.
Hanya untuk dia yang selalu membuatku menangis ketika mengingatnya.
Semoga Tuhan selalu memberikanmu kesehatan.
Ibu,