Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kutatap Matanya Sampai Puas
10 September 2018 22:13 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Wisnu Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kutatap matanya tajam-tajam. Kunikmati betul tatapan ini.
ADVERTISEMENT
Perlahan kumulai merasa larut. Mengingat semua memoriku tentangnya yang tak pernah habis.
Beberapa bagian tangannya masih biru, bekas suntikan dokter. Maklum saja, setiap bulan dua kali dia harus mampir ke rumah sakit untuk memastikan semuanya baik-baik saja.
Aku lihat lagi. Napasnya tak lagi seperti dulu. Kadang lebih cepat, kadang lebih lambat, detak jantungnya tak beraturan.
Rambutnya memutih, menipis dan sudah tak bisa lagi dicat pekat.
Banyak yang berubah. Dia tak lagi seperti yang kukenal dulu. Dia yang dulu mengejarku ketika aku nakal.
Dia yang dengan senang hati mendorong gerobak berat hanya untuk uang kuliahku.
Atas nama kasih sayang, semuanya ia lakukan.
Kutatap lagi matanya. Kulumat semua perasaan yang membuncah tak tertutupi.
ADVERTISEMENT
Ke mana dia yang dulu?
Sekarang aku tak berani lagi membelikannya kopi ketikaku berdinas ke luar kota atau luar negeri.
Padahal dulu, di setiap daerah yang kujelajahi aku sempatkan membelikan kopi terbaik untuknya. Ah, dia memang suka sekali.
Sekarang aku tak bisa lagi membuatnya kecewa, barang sedikit. Aku tak bisa pulang malam.
Ini biasa, karena sejak dahulu dia begitu. Menungguku di depan gang, sambil selonjoran tak tahu memikirkan apa.
Ketikaku pulang, dia tersenyum. Kuraih tangannya dan kita melangkah bersama.
Yang berbeda, aku yang kini berat untuk pulang malam. Sebab, dia tak lagi mampu menungguku seperti dahulu.
Seperti malam ini, dia begitu lelah saat kutatap matanya.
Banyak hal yang belum bisa kuberi. Sampai saat ini, sampai kutatap matanya.
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang ingin kuberi. Meski sebenarnya tidak pernah dia meminta diberi.
Aku tak bisa mengatakan, aku sayang dia secara langsung.
Aku takut ia merasa aneh dengan sikapku, lalu kepikiran macam-macam.
Sampai detik ini, 24 tahun, aku belum pernah mengatakan itu.
Aku berpikir, lebih baik kutunjukkan semua rasa itu lewat apa yang kubisa selain berkata.
Tak tahu, apa dia senang dengan sikapku.
Waktuku dengannya tak banyak. Kucoba menghitung, paling hanya 4 jam tiap hari aku bisa menikmati semuanya bersama.
Dalam hati, sambil memejamkan mata, aku berharap dia bisa terus bahagia hidup berdua denganku.
Aku berharap aku tak menyakitinya barang sedikit.
Aku berdoa, suatu saat aku bisa memberinya segalanya.
ADVERTISEMENT
Ia minta apa, semua kupenuhi. Aku ingin dia memintaku sesuatu. Agar aku tahu, apa yang membuatnya bahagia.
Namun kurasa itu tak mungkin. Sebab, menurutnya, bahagia itu tidak penting. Baginya melihat aku bahagia dalam lelah adalah bahagianya.