Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Wahai Oktober, Bersahabatlah
9 Oktober 2018 22:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Wisnu Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oktober (Bersahabatlah)
Dini hari itu aku tiba-tiba mati rasa. Tak bisa sedih, mengeluarkan air mata, atau meronta.Â
Saat itu aku mengenakan baju hitam, salah satu baju favoritku. Bahkan aku sempat berkaca ketika ketetapan dari Sang Pencipta itu tiba.Â
Masuk ke ambulans, aku juga tak bisa menangis. Tak ada yang kurasakan. Padahal keranda berbalut kain hijau sudah menutupi orang yang begitu kucintai.
Suara sirine sangat terdengar keras. Belum ada suara ayam berkokok, belum ada matahari, apalagi orang berjualan.Â
Perjalananku dari kawasan Cikini menuju Gang Kana sama sekali tak ada rasanya.Â
Ketika aku keluar dari ambulans, aku pikir aku sedang dalam kondisi tidak apa-apa.Â
Namun, kakak-kakakku berjejer, semua menangis. Aku yang saat itu berumur 14 tahun, masih mati rasa.Â
Air mata tak mau keluar. Pikiranku kosong, kakiku masih ringan melangkah.Â
Tak berapa lama pagi tiba. Jasadnya yang sudah kaku berbalut kain putih direbahkan di sebuah balai. Ketika itu aku baru sadar, aku telah kehilangan orang yang sangat kucintai.Â
Tangis pecah, membaca ayat suci sambil terisak, usapan teman baikku. Semua kuingat.Â
Di tanggal 12 Oktober, aku harus merelakan dia pergi selama-lamanya. Dia yang satu tempat tidur denganku selama hidup.Â
Dia yang selalu kutunggu kehadirannya di rumah. Dia yang selalu kucari ketika sampai larut belum kembali ke rumah.Â
Orang semakin banyak datang. Aku tak melihat satu persatu. Apalagi menyalami mereka.Â
Aku sibuk dengan diriku sendiri. Menyeka air mata yang tak mau pergi.Â
Lalu bagaimana belahan jiwanya?
Dia beberapa kali nyaris pingsan. Belahan hatinya, yang menemani hidupnya sampai 50 tahun, pergi. Bahkan ibu tak sanggup mengatar jasad bapak ke peristirahatan terakhirnya.Â
Saat kakak laki-lakiku masuk ke liang lahat, aku sudah tak dapat lagi menangis.Â
Saat itu aku hanya menatap nisan bertuliskan Riyanto bin Sumo Widjojo.Â
Ya, dia bapakku. Dia yang sudah tak bernyawa dan butuh didoakan setiap hari.Â
10 tahun berselang, aku mendapat kabar yang tak mengenakkan lagi. Hari itu aku mendengar kondisi belahan jiwa semakin tak baik.Â
Namun aku takkan berlama-lama menceritakan ini. Sebab, aku hanya berharap kepadaNya. Aku masih ingin bersamanya.Â
Wahai Oktober, bersahabatlah.Â
ADVERTISEMENT