Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Kita Manusia Memang Tercipta Suka Gibah
18 Juli 2022 14:28 WIB
Tulisan dari Witianatalatas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Coba hidup tanpa gibah? Grup whatsapp terasa sepi. Minim obrolan. Ramai hanya saat menyelamati yang bersuka atau menyemangati yang berduka. Ikatan kolega di tempat kerja terasa renggang. Tidak ada misuh soal atasan selaku musuh bersama. Kumpul dengan kawan lama terasa hambar tanpa mengulang-ulang kejelekan teman di masa lalu. Di sini perannya gibah, menambah bumbu dalam interaksi dan menjaga langgengnya relasi.
ADVERTISEMENT
Objek gibah sudah pasti orang yang ada di luar pihak yang terlibat dalam pembicaraan. Bisa orang yang sama-sama dikenal, hanya dikenal oleh satu pihak, atau tidak dikenal sama sekali seperti figur publik. Kalau menurut KBBI, isi gibah sifatnya negatif. Ada sih yang membicarakan orang lain dari sisi positif. Tetapi persentasenya kecil dan tidak tergolong gibah kalau menurut KBBI tadi.
Sebagai penikmat gibah, saya tidak setuju gibah dihakimi dan diputuskan sebagai sesuatu yang buruk saja. Siapa yang tidak pernah gibah. Sebaik-baiknya manusia sepertinya pasti pernah.
Ini karena gibah memberikan reward secara psikologis. Kayaknya nikmat saja. Apalagi kalau sambil mengeluarkan unek-unek. Makanya bisa dilakukan berjam-jam. Topik yang sama bisa berlanjut di hari lainnya, sekadar repetisi, bahkan ada followup-nya.
ADVERTISEMENT
Gibah juga sebagai saluran saling berbagi informasi. Isi gibah bisa berupa rahasia yang tadinya hanya diketahui oleh orang yang pertama mengucapkan eh tahu tidak. Ada perasaan superior tahu sesuatu yang orang lain belum tahu.
Gibah membangun simpati dan empati. Ini berlaku kalau yang tertimpa nasib buruk dan sebagai bahan omongan adalah orang yang disenangi, minimal hubungannya dekat. Beda kalau yang diomongkan adalah orang yang tidak disukai. Muncul rasa bersyukur. Syukurin. Dan, syukur diri sendiri tidak mengalami yang dialami orang tersebut.
Tentu gibah tidak luput dari bahaya. Makanya, jelek di mata agama. Kalau gibah bukan berdasarkan kebenaran jatuhnya fitnah. Persis ketika penonton setia kanal youtube Deddy Corbuzier dilabeli dengan smart people. Kebenarannya masih disangsikan sehingga lebih mengarah ke fitnah.
ADVERTISEMENT
Makanya juga ada wejangan agar jangan berteman dengan orang yang senang membicarakan orang lain. Nanti, ada masanya kita yang akan dibicarakan oleh orang itu. Sepertinya sulit sih mencari teman yang tidak pernah gibah. Agaknya lebih gampang tidak punya teman sekalian. Namanya hidup pasti pernah di posisi objek omongan orang. Asal tidak tahu, peluang tersakitinya lebih kecil.
Tidak ada manusia yang sempurna, tetapi berusaha menjadi orang yang sempurna sah-sah saja. Kalau kamu tipe yang tidak mau ikutan gibah karena takut konsekuensinya baik di dunia maupun akhirat, ada tata krama dalam menolak ajakan gibah.
Pertama, tidak usah memberikan pernyataan keras gibah itu dosa. Percayalah, teman-temanmu yang sedang gibah itu juga sudah tahu. Selain kamu kelihatan tidak asyik, temanmu juga tidak bakalan terinspirasi menjauhi gibah seumur hidupnya.
ADVERTISEMENT
Kedua, kamu bisa alihkan topik pembicaraan. Jika dirasa manuver pengalihan topik terlalu tajam dan dibuat-buat, mungkin ada baiknya ikuti saja pembicaraan tanpa menambah-nambahi. Jatuhnya kamu hanya sebagai pendengar. Pernah ada teman yang seperti ini, sayangnya dia menggabungkan cara yang kedua ini dengan pernyataan yang menghakimi. Saat sesi gibah dimulai, teman saya ini berucap gw dengerin aja ya, nggak baik ngomongin orang. Iya, kamu suci, yang gibah penuh dosa.
Ketiga, bisa cukup memberi tanggapan dengan empati saja, sereceh pasti rasanya kesal ya atasanmu memperlakukanmu seperti itu. Jadinya kamu tidak menuduh, tidak menambah-nambahkan, dan tidak perlu berpikir keras mencari isu pengalihan.
Yuval Noah Harari, dalam bukunya yang berjudul Sapiens, mengatakan bahwa bergosip atau gibah adalah proses awal menemukan bahasa di antara manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia perlu membangun kerja sama untuk keberlangsungan hidup. Bahasa terbentuk dari cara manusia mengetahui siapa di antara anggota kelompok mereka yang jujur dan bisa dipercaya atau curang dan menyebalkan. Singkatnya, membicarakan orang di belakang asal muasal adanya komunitas yang erat berdasarkan kepercayaan satu dengan lainnya.
ADVERTISEMENT
Setipe dengan pengarang Sapiens, David Ludden, seorang profesor psikologi di Georgia Gwinnett College melalui Psychology Today memaparkan penelitian bahwa gibah adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari otak manusia.
Otak manusia memiliki kemampuan menyampaikan informasi dalam rupa komunikasi yang kompleks, yaitu susunan bahasa yang lengkap subjek, predikat, dan objeknya. Tidak sama dengan hewan yang berkomunikasi dengan nada suara. Kemampuan otak kita sebagai bukti bahwa gibah adalah bakat alami manusia, bercerita dengan detail siapa melakukan apa disertai keterangan tambahan lainnya.
Pantas saja godaan menjauhi gibah sangatlah berat. Saya, kamu, dan manusia lainnya yang gibah hanya mengikuti sewajarnya kerja otak manusia. Lagi pula, seharamnya gibah yang berpeluang dilakukan saban hari kalah menakutkan dari haramnya mengucapkan selamat hari raya ke umat beragama lain yang hanya dilakukan setahun sekali.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Harari, Yuval Noah (2011). Sapiens: A Brief History of Humankind. London: Penguin Random House UK
Psychologytoday.com. (2015, 27 Februari). Why You Were Born to Gossip. Diakses pada 24 Juni 2022, dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/talking-apes/201502/why-you-were-born-gossip#:~:text=The%20structure%20of%20language%20is,truly%20are%20born%20to%20gossip.