Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Merdeka Belajar di Masa Pandemi
19 Agustus 2020 22:58 WIB
Tulisan dari Esmasari Widyaningtyas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Maaf, bukannya saya nggak mau atau nggak bisa berempati dengan penderitaan orang-orang yang kehilangan nafkah karena COVID 19.
ADVERTISEMENT
Tapi dalam banyak hal, saya merasa pandemi ini datang di saat yang tepat!
Dia datang karena Tuhan tahu, kita ini makhluk yang harus dibuat susah dulu baru bisa sadar. Tuhan tahu, kalau kesulitan membuat kita mengerahkan segala daya upaya supaya bisa jadi lebih baik.
Begitulah, hingga akhirnya tercipta makhluk mikro yang membuat seluruh dunia porak poranda. Tak ada lagi keleluasaan bertatap muka seperti dulu.
Semua berubah
Sungguh tak disangka, tatanan bumi akan berubah perlahan dan pasti hanya karena makhluk kecil ini.
Dan seperti biasa, perubahan membuat kita gelagapan. Semua galau, karena mau tidak mau dipaksa mencari kenyamanan dicantara perubahan. Iya kan?
Sebagai ibu, saya turut merasakan bahwa salah satu dampak terbesar dari pandemi adalah perubahan cara belajar anak-anak kita. Mereka yang biasanya leluasa datang dan belajar di sekolah, kini harus terkungkung di rumah. Belajar dari rumah, begitu istilahnya.
ADVERTISEMENT
Namanya juga proses adaptasi kebiasaan baru. Kebijakan belajar dari rumah ini jelas membuat banyak orang tak nyaman. Gelombang protes dan keluhan terdengar di mana-mana. Kritik pembelajaran daring berceceran di berbagai lini masa media sosial dan berita-berita online.
Saya saja ikut engap bacanya.
Jangan salah paham. Saya juga ibu, saya juga menginginkan pendidikan terbaik buat anak. Tapi dalam situasi pelik seperti sekarang, dimana belajar dari rumah adalah opsi terbaik yang bisa dilakukan, mengeluh sama sekali tak ada gunanya.
Kami, saya dan anak saya, awalnya juga limbung dengan kebiasaan baru ini. Apalagi, pandemi datang saat anak saya baru mau masuk SD. Tapi kami tak membiarkan diri galau terlalu lama.
ADVERTISEMENT
Di rumah, kami menemukan cara belajar baru yang tidak kalah menyenangkan. Tidak melulu harus belajar menghadap buku teks, kami belajar dari berbagai benda dan barang di sekitar rumah.
Ada sepetak halaman rumah yang penuh dengan serangga dan tanaman. Itulah salah satu ruang belajar kami saat di rumah. Anak saya belajar dengan memperhatikan semut, belalang dan cacing. Ia belajar tentang tanaman sambil membantu merawat sayur dan bunga yang saya tanam di sana.
Berhubung dia juga mulai tertarik membuat vlog, beberapa kegiatan itu didokumentasikannya melalui kamera handphone. Memang hasil vlog-nya masih jauh dari sempurna. Ya nggak apa, namanya juga masih belajar.
Waktunya membangun kecerdasan digital
Kedatangan pandemi dan konsekuensi perubahan metode pendidikan formal yang mengiringi, adalah peluang untuk membangun kecerdasan digital pada anak-anak. Setidaknya begitu pikir saya.
ADVERTISEMENT
Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, mengatakan bahwa kita berada di masa peralihan. Dari physical space (ruang fisik) menuju cyber space (ruang cyber).
Kalau merunut pada evolusi peradaban manusia, kata Pak Nuh dalam perbincangan bersama mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan di vlog DI’s Way, sejak masa berburu, bercocok tanam hingga masa industri keberhasilan peradaban selalu diukur dengan hal fisik.
“Berburu bisa dibilang berhasil, kalau tangkapannya banyak. Bercocok tanam juga dibilang sukses kalau hasil panen melimpah. Begitu juga di era industri.”
Saat itu, lanjut dia, kita berada di ruang fisik yang dibatasi ruang dan waktu. Namun sekarang, dunia mulai bergeser. Selain ada di ruang fisik, kita juga memiliki ruang cyber yang abstrak. Informasi dan pengetahuan, yang juga bersifat abstrak, mendapat penghargaan dan laku di dunia cyber ini.
ADVERTISEMENT
Di masa mendatang, anak-anak kita akan lebih banyak berinteraksi dalam ruang cyber. Itulah sebabnya sangat penting untuk membangun keterampilan dan kecerdasan digital.
Ada hal menarik yang diungkapkan Pak Nuh saat itu. Generasi di masa mendatang tidak hanya membutuhkan kecerdasan Intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
“Mereka juga harus memiliki kecerdasan digital!”
Kenapa kecerdasan digital ini penting?
Kecerdasan digital berkaitan erat dengan bagaimana seseorang bergaul dan mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari dunia digital. Atau disebut juga ruang cyber, menurut istilah Pak Nuh.
Saat ini, masih banyak orang tua mengambinghitamkan gadget dan internet sebagai biang kerok kenakalan anak. Gadget dan internet bikin kecanduan. Anak jadi malas belajar, suka membully dan bahkan berpotensi jadi korban kekerasan seksual karena internet.
ADVERTISEMENT
Apa iya begitu?
Buat saya, gadget dan internet itu seperti pisau yang bisa dipakai untuk membantu mengupas bawang sekaligus bisa jadi senjata pembunuh. Tergantung seberapa bijak kita menggunakannya.
Nah, dampak negatif internet yang sering digembar-gemborkan itu, tak lain tak bukan akibat rendahnya kecerdasan digital.
Seperti apa sih kecerdasan digital?
Silahkan simak infografis berikut :
Dalam Webinar bertajuk “Mengisi Kemerdekaan dengan Postingan Positif” yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 14 Agustus 2020 silam, ada pernyataan menarik dari penulis, Maman Suherman.
Kata Kang Maman, tingkat literasi orang Indonesia peringkat kedua terendah di dunia.
“Bayangkan, orang-orang Finlandia itu setiap tahun membaca 40 sampai 50 buku per orang. Sementara kita, hanya 3 buku per orang per tahun.”
ADVERTISEMENT
Makanya, kata Kang Maman, jangan heran kalau perpustakaan di Indonesia jadi tempat paling sepi kedua setelah kuburan. Sungguh, sindiran yang sangat menohok.
Tingkat buta aksara di Indonesia memang rendah. Tapi itu tidak berarti tingkat literasi kita tinggi. Sama sekali tidak!
Kebanyakan orang Indonesia, ini kata Kang Maman lho ya, bisa baca tapi nggak mengerti apa yang dibaca. Jadi jangankan untuk naik ke tahap selanjutnya yaitu mengamalkan dalam hidup nyata, paham aja nggak!
Merdeka belajar
Saat ini kita semua sedang beradaptasi melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Banyak repotnya sih. Biaya pulsa membengkak, ibu-ibu jadi makin emosi saat menemani anak belajar.
Teman saya, Arinta, juga mengalami hal serupa. Anaknya dua. Anak pertama kelas 4 SD, sementara si bungsu TK B. Keduanya sama-sama harus menjalani PJJ dengan beban tugas harian.
ADVERTISEMENT
“Kalau bisa sih, anak-anak jangan diberi target. Kondisi susah begini, sebaiknya dimaklumi dulu. Justru yang sebaiknya lebih diperhatikan adalah kesehatan mental anak. Mereka sudah bosan di rumah melulu, nggak usahlah dibebani macam-macam.”
Keluhan Arinta, mungkin mewakili keluhan sebagian besar ibu-ibu di Indonesia saat ini. Yang memberatkan dari PJJ sebenarnya bukan karena guru dan murid nggak bisa tatap muka. Tetapi karena PJJ yang diterapkan sekarang tak ubahnya seperti memindahkan sekolah ke rumah. Sama sekali nggak ada asyiknya!
Jujur saja deh, anak-anak semangat sekolah umumnya karena senang bisa bertemu banyak teman. Yang paling ditunggu anak di sekolah, bukan mendengarkan materi dari guru.
Nggak percaya? Lihat saja betapa bahagianya para siswa saat jam istirahat dan jam kosong. Bergaul dengan teman seperti oase yang menetralisir kepenatan otak karena jejalan materi pelajaran yang berjibun.
ADVERTISEMENT
Jadi sekarang coba bayangkan saat mereka belajar di rumah, dengan materi yang sama banyaknya tapi nggak bisa bergaul dengan teman-temannya. Akhirnya stress, penat.
Kasihan.
Ada kutipan menarik yang saya dapat dari rumahinspirasi.com
Ide ini, menurut saya, sejalan dengan konsep Merdeka Belajar yang dilontarkan Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Nadiem Makarim.
Merdeka belajar, adalah titik tolak untuk keluar dari sistem pembelajaran monoton yang sudah kita jalankan selama berpuluh tahun. Merdeka belajar, menawarkan sebuah sistem pendidikan dengan suasana belajar yang lebih menyenangkan.
Menyenangkan buat murid, maupun untuk pendidik.
Merdeka belajar, artinya anak-anak merdeka untuk mempelajari dan menekuni topik yang mereka sukai. Tidak ada lagi penghakiman bahwa anak tak bisa matematika berarti bodoh. Tidak ada lagi diskriminasi berdasarkan rangking nilai ujian.
Merdeka belajar menitikberatkan pada pembentukan karakter. Menumbuhkan manusia yang mandiri, berani, cerdik dalam bergaul, sopan, beradab serta memiliki kompetensi adalah hasil akhir dari merdeka belajar.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan merdeka belajar di masa pandemi?
Di sinilah peran aktif kita sebagai orang tua dibuktikan. Sebagai orang tua dan guru utama anak, kita perlu menciptakan suasana yang nyaman dan bisa merangsang keinginan belajar anak-anak.
Bukan berarti kita harus berubah jadi seperti guru. Tapi mulai dengan membangun bonding dengan anak. Ajak anak ngobrol, pahami apa kesukaannya, arahkan ke tujuan yang positif.
Menurut Kang Maman, merangsang minat belajar anak bisa dengan banyak cara. Bisa dengan story telling seperti mendongeng, membacakan buku cerita. Atau untuk anak yang lebih dewasa, dengan mengajak berdiskusi.
Justru, ini adalah saat yang tepat untuk membangun kecerdasan digital anak-anak. Mumpung ruang gerak kita dibatasi. Mumpung tingkat konsumsi internet meningkat. Kenapa nggak sekalian saja kita ajak anak belajar membuat konten yang positif dan bermanfaat di berbagai platform media.
ADVERTISEMENT
Ingat, kita memasuki era dimana informasi dan knowledge sedang jadi primadona. Anak-anak perlu kita siapkan untuk lebih cerdas mengelola informasi dan menyampaikan pengetahuan melalui dunia maya dengan cara yang santun dan beretika.
Referensi :