Konten dari Pengguna

Toxic Masculinity: Pandangan Masyarakat Terhadap Fanboy

Wiwin Husnul Hotimah
Mahasiswa Universitas Pamulang
19 Oktober 2022 10:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wiwin Husnul Hotimah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
By Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
By Pixabay
ADVERTISEMENT
Popularitas musik K-pop atau gelombang Korea sering dikenal dengan Hallyu, awalnya hanya berkembang dinegara-negara Asia Timur. Kini menyebar secara global hampir ke seluruh penjuru dunia dengan cakupan penggemarnya beragam tidak lagi memandang usia, gender, dan nasionalitas.
ADVERTISEMENT
Perkembangan musik K-pop di Indonesia sangat populer dikalangan remaja dan dewasa. Laporan yang diliris Korea Foundation pada tahun 2021 menunjukkan perkiraan jumlah penggemar K-pop di seluruh dunia pada tahun 2020 mencapai sekitar 104 juta orang. Selain itu laporan yang dirilis pada sosial media yaitu Twitter. Pada tahun 2021 menunjukan ada 7,5 Miliar twit mengenai K-pop di Indonesia yang membuat Indonesia menjadi peringkat satu dengan twit terbanyak sepanjang Juli 2020 hingga Juni 2021.
Melalui sebuah survei dari IDN Times (2019) terkait dengan penyebaran populasi K-pop di Indonesia, para peneliti menemukan persentase perbandingan antara jumlah fangirl dan fanboy K-pop. Dari 580 jumlah data yang mengisi sebuah survei, persentase fanboy kurang dari 10% yaitu 7,9% berbanding dengan jumlah fangirl yaitu 92,1% yang persentasenya sangat jauh. Hal ini menggambarkan bahwa kalangan fanboy di Indonesia tidaklah banyak dengan kisaran 1:12.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini sebenarnya tidak terlepas dari stereotype masyarakat di Indonesia bahwa laki-laki tidak seharusnya menyukai musik K-pop karena tidak jarang dikaitkan dengan tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar seperti, “laki-laki kok suka k-pop? Banci ya” atau “laki-laki kok suka laki?”. Bukan tanpa sebab, hal ini dikarenakan citra maskulinitas yang dibuat oleh masyarakat Indonesia sangat berbanding terbalik konsep yang dimiliki oleh Grup K-pop terutama laki-laki yang sangat mengutamakan visual. Fenomena ini jika masukan dalam kacamata feminisme termasuk dalam kategori Toxic Masculinity yang gambaran utamanya mengenai ketidakadilan yang didapat oleh pria karena suatu budaya dari tempat pria tersebut pijak.
Toxic masculinity pada tahun terakhir ini membuat daya tarik di sebuah perbincangan yang mengacu pada bentuk maskulinitas seorang pria dalam sifat atau perilaku dominan, kekerasan, dan sebuah control dalam menegaskan kekuatan dan superioritas yang pria miliki. Dalam pembahasan ini toxic masculinity merupakan sebuah tindakan yang tidak sesuai dengan definisi masyarakat terhadap kemaskulinan seorang pria sehingga masyarakat tersebut secara verbal ataupun non-verbal menghakimi orang tersebut.
ADVERTISEMENT
Citra maskulinitas masyarakat Indonesia berbanding terbalik dengan apa yang diterapkan dalam performativitas maskulinitas serbaguna yang ditampilkan oleh boygroup K-pop. Seperti riasan pada wajah, dalam industri K-pop riasan adalah hal yang wajar digunakan oleh setiap talenta di sana sebagai bentuk mempercantik kepribadian diri. Hal ini berbanding terbalik dengan di Indonesia yang menganggap pria tidaklah pantas menggunakan sebuah riasan yang seperti mana dipakai oleh wanita. Bukan hanya sebuah riasan, gaya rambut serta busana mereka yang digunakan sangat eksploratif membuat hal tersebut tidak jarang dipandang sebagai “pretty boys” berbanding terbalik dengan standar maskulinitas tradisional di Indonesia.
K-pop seringkali dipandang sebelah mata oleh beberapa kalangan masyarakat karena berbedaan budaya yang sangat signifikan. Berbeda dengan konsep maskulinitas yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, tidak banyak pria yang menyukai K-pop karena tidak sesuai dengan konsep maskulinitas. Dan seringkali bila ada pria yang menyukai K-pop masyarakat langsung melabelkan orang tersebut dengan tuduhan bahwa mereka adalah homoseksual dengan intensi menghina yang dilontarkan baik di media sosial maupun secara langsung. Padahal genre musik tidak bisa diklasifikasikan berdasarkan gender.
ADVERTISEMENT
Respons yang fanboy dapatkan kadang membuat diri mereka sendiri terpuruk dan enggan menunjukan jati diri. Kasus yang saya dapatkan mengenai seorang fanboy di salah satu platfrom penggemar K-pop. Fanboy tersebut menceritakan bahwa dia dianggap bukan lelaki sejati atau memiliki orientasi seksual padahal dirinya tidak sama sekali yang seperti temannya pikirkan. Dalam kehidupannya, fanboy tersebut sama seperti laki-laki pada umumnya yang memiliki kisah cinta dengan seorang perempuan. Namun karena statusnya sebagai fanboy membuat dia dikucilkan teman laki-laki di kelas maupun di lingkungannya karena telah dicap buruk. Demi memenuhi hasrat sosialisasinya, fanboy tersebut memilih berteman dengan orang yang menyukai genre musik yang sama dengannya yaitu K-pop. Seperti yang saya paparkan diatas bahwa penggemar K-pop lebih lebih banyak fangirl, maka dari itu teman pria tersebut cenderung perempuan. Hal ini juga yang membuat pandangan masyarakat terhadap fanboy menjadi negatif.
ADVERTISEMENT
Seorang pria yang tidak sesuai dengan standar kebudayaan yang dimiliki oleh suatu tempat yang pria itu pijak maka akan terjadi diskriminasi. Ketidakadilan yang mendasar bagi seorang pria untuk bebas menyukai hal yang tidak sesuai dengan konsep maskulinitas yang dibuat oleh masyarakat tradisional. Hal ini dapat membuat orang yang merasakan sebuah toxic masculinity akan bertindak agresif atau kasar terhadap orang lain atau bahkan dirinya sendiri karena diskriminasi yang dia alami. Oleh karena itu, standar maskulinitas adalah budaya yang kolot yang seharusnya kita saring kembali dan kita perbaiki ulang gambarannya. Hak seseorang dalam melakukan hal yang dia inginkan bukanlah sebuah tanggung jawab masyarakat yang harus mengatur apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat.
ADVERTISEMENT
Setiap orang bebas menyuarakan pendapat dan pemikiran tentang apa yang mereka lihat dan rasakan, akan tetapi akan jauh lebih baik apabila pemikiran tersebut tidaklah melibatkan sebuah permasalahan gender. Musik adalah sebuah karya seni yang sifat bebas dinikmati oleh siapapun tidak memandang gender, usia dan lainnya. Maka dari itu bila hal tersebut masih dapat dilakukan oleh semua gender tidak adanya larangan, kenapa harus dipermasalahkan. Alangkah baiknya, kita memberi kesempatan bagi orang tersebut dalam mencari hal apa yang mereka sukai tanpa harus memikirkan pandangan masyarakat terhadapnya. Tindakan diskriminasi adalah sebuah tindakan yang buruk dilakukan karena itu akan membuat korban tidak percaya diri dan menyalahkan dirinya sendiri.
Oleh karena itu agar tidak terjadi sesuatu hal seperti ini sangat penting bagi kita untuk memahami prihal gender termasuk toxic masculinity yang jarang sekali dimengerti karena feminisme yang identik dengan perempuan. Bukan hanya perempuan, laki-lakipun sering mengalami diskriminasi gender dalam kehidupan bermasyarakat. Maka mari buat tempat yang membuat mereka nyaman dalam melakukan aktivitas yang mereka sukai tanpa harus memandang gender yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT