DKPP, Evi Novida, dan Tafsir Hukumnya

Wiwin Suwandi
Wiwin Suwandi, profesi Advokat/Lawyer. Pegiat kepemiluan dan antikorupsi. Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Hukum (2009) dan Magister Hukum (2015) di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Konten dari Pengguna
20 Agustus 2020 10:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wiwin Suwandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Plt Ketua DKPP Muhammad memimpin sidang etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Kamis (16/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Plt Ketua DKPP Muhammad memimpin sidang etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Kamis (16/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Drama pemberhentian anggota KPU RI Evi Novida Ginting Manik oleh DKPP, yang kemudian dieksekusi Presiden Jokowi melalui Keputusan pemberhentian Evi Novida, tapi dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, menjadi sebuah case hukum yang sangat menarik dalam debat hukum penegakan pelanggaran etik penyelenggara pemilu dan hukum acaranya. Utamanya pada letak kekuatan putusan DKPP yang final dan mengikat (final and binding) sebagaimana tertuang dalam Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu No 7 Tahun 2017, hubungannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-XI/2013 dalam uji materi Pasal 112 ayat (12) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang menyatakan frasa final dan mengikat putusan DKPP bertentangan dengan UUD 1945 dan hanya mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Prop/Kab/Kota, dan Bawaslu.
ADVERTISEMENT
Pada 18 Maret 2020 lalu DKPP melalui Putusan Nomor: 317-PKE-DKPP/X/2019 memberhentikan Evi Novida Ginting Manik sebagai Anggota KPU RI. Untuk menjalankan Pasal 37 ayat (3) huruf (a) UU Pemilu No 7 Tahun 2017, Presiden kemudian menerbitkan Surat Keputusan Nomor 34/P Tahun 2020 yang memberhentikan Evi secara tidak hormat per tanggal 23 Maret 2020. Tidak terima diberhentikan, Evi Novida melawan dengan menggugat Keppres tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Hasilnya, putusan PTUN Jakarta Nomor:82/G/2020/PTUN-JKT “mengabulkan untuk seluruhnya” gugatan Evi, menyatakan batal KTUN objek sengketa, memerintahkan Tergugat (Presiden Jokowi) untuk mencabut KTUN objek sengketa, dan memerintahkan Tergugat untuk merehabilitasi nama baik dan mengembalikan kedudukan hukum Penggugat (amar 2, 3, dan 4 putusan a quo).
ADVERTISEMENT
Dalam debat hukum, Putusan DKPP dalam kasus Evi Novida menjadi menarik karena DKPP tetap melanjutkan sidang meskipun pengadu telah mencabut laporannya. DKPP berpijak pada Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, bahwa dalam hal Pengaduan dan/atau Laporan yang telah dicatat dalam Berita Acara Verifikasi Materil dicabut oleh Pengadu dan/atau Pelapor, DKPP tidak terikat dengan pencabutan Pengaduan dan/atau Laporan. DKPP juga bersikukuh putusannya final dan mengikat mengacu pada Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu No 7 Tahun 2017.
Eddy OS Hiairej (Guru Besar Pidana) Fak. Hukum UGM dalam salah satu point eksaminasinya terhadap putusan DKPP itu menyebut bahwa secara garis besar, tidak dapat dipisahkan antara hukum acara (formil) dan hukum materil. Karena fungsi atau tujuan hukum acara adalah untuk menegakan hukum materil dengan menekankan prinsip lex scripta (aturan tertulis), lex certa (aturan yang jelas) dan lex stricta (aturan yang ketat). Bahwa dalam hukum acara berlaku postulat judex ne procedat ex officio yang berarti di mana tidak ada penggugat, di sana tidak ada hakim. Hal mana berdampingan dengan postulat actori incumbit probatio, (siapa yang mendalilkan, dialah yang wajib membuktikan). Apa yang hendak diperiksa jika pengadu telah mencabut aduannya?
ADVERTISEMENT
Ramlan Subakti (Guru Besar dan Pakar Pemilu UNAIR) juga memberikan pendapatnya bahwa dalam kasus Evi Novida, KPU RI hanya melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Karena putusan MK bersifat final, maka semua pihak harus menerima dan mematuhi Putusan MK. Karena itu KPU wajib melaksanakan Putusan MK. Keputusan KPU untuk melaksanakan Putusan MK bukan putusan salah seorang anggota KPU melainkan keputusan Rapat Pleno Anggota KPU. Keputusan untuk melaksanakan putusan MK tidak bisa digugat karena KPU melaksanakan kewajiban konstitusionalnya.
Menurutnya, ketika DKPP memproses gugatan yang sudah dicabut oleh penggugat, merupakan tindakan yang salah secara hukum karena tiga hal. Pertama, karena keputusan KPU yang digugat itu merupakan pelaksanaan kewajiban konstitusional KPU. KPU merupakan pihak yang diperintahkan oleh MK untuk memperbaiki keputusannya tentang Hasil Pemilu; kedua, karena putusan MK bersifat final sehingga semua pihak harus menerimanya. Pemohon (yang mengajukan gugatan kepada MK) juga harus menerima putusan MK. Tindakan Pemohon menggugat keputusan KPU kepada DKPP merupakan tindakan salah alamat; dan ketiga, karena menimpakan kesalahan (yang jelas tidak dapat disebut salah) kepada seorang anggota KPU karena keputusan KPU merupakan keputusan Rapat Pleno Anggota KPU (keputusan semua anggota KPU). Bila DKPP menilai KPU yang salah mengambil keputusan, maka kesalahan itu harus ditimpakan kepada semua anggota KPU karena keputusan KPU diputuskan oleh Rapat Pleno KPU, bukan kepada salah seorang anggota KPU yang kebetulan diberi tugas tertentu oleh Pleno KPU.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini bukan hendak memihak pendapat siapa, tapi lebih menyoroti hukum acara penegakan etik penyelenggara pemilu yang seolah ‘bersayap’; apakah betul (masih) final, mengikat dalam putusan DKPP sesuai Pasal 458 UU Pemilu, atau sudah dieliminasi oleh putusan MK No: 31/PUU-XI/2013, sehingga masih bisa diuji di pengadilan administrasi (PTUN) melalui KTUN pemberhentian sebagai beschikking? Memang yang digugat bukan putusan DKPP, tapi keputusan pemberhentian dari instansi vertikal yang diberi wewenang UU Pemilu untuk memberhentikan anggota Pemilu (Pasal 37 ayat (3). Tapi secara substansi, pokok perkara gugatan akan menguliti dalil majelis DKPP dalam putusannya. Hal ini berarti, secara tidak langsung putusan DKPP masih bisa dinilai, dikuatkan atau dibatalkan oleh badan peradilan (PTUN).
ADVERTISEMENT
Penulis akan mengurainya pada 2 (dua) legal issue yang saling beririsan, pertama, keberlakuan putusan MK No: 31/PUU-XI/2013, dan kedua, UU Pemilu Pasal 458 ayat (13).
Pertama tentang putusan MK No: 31/PUU-XI/2013. Postulat hukum menyatakan “res judicata pro veritate habetur” yang artinya putusan hakim harus dianggap benar. Kecuali putusan itu dibatalkan oleh putusan hakim pada pengadilan yang lebih tinggi tingkatannya (Banding, Kasasi, PK). Putusan MK pada uji materi Pasal 112 ayat (12) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa frasa final dan mengikat dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu. Mahkamah berpendapat bahwa putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya karena DKPP adalah perangkat internal penyelenggara Pemilu.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, putusan MK itu untuk menguji pasal 112 dalam UU No 15 Tahun 2011 yang sudah tidak berlaku, apakah berlaku sama terhadap frasa final and binding pada Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu? Jawabannya tetap berlaku. Daya mengikat putusan pengadilan tidak saja kepada para pihak yang berperkara pada semua jenis perkara, tapi juga memiliki daya berlaku ke depan, sepanjang tidak dibatalkan atau dikoreksi pada putusan perkara lain dengan alasan hukum tertentu. Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atau final and binding pada putusan MK, derajatnya sama dengan undang-undang. MK sebagai penafsir tunggal UU terhadap UUD 1945 telah mengeluarkan putusannya yang harus diikuti dan dipatuhi. Juga, organ yang di-review kewenangannya adalah organ yang sama, DKPP.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan keberlakuan Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu tentang frasa final dan mengikat putusan DKPP? Pasal itu tetap berlaku, tapi dengan “pembatasan”, yang oleh putusan MK hanya mengikat kepada Presiden, KPU, KPU Provinsi/Kab/Kota, dan maupun Bawaslu. Adapun putusan presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dapat menjadi objek gugatan di pengadilan TUN. Jadi putusan DKPP dianggap selesai ketika sudah dieksekusi dengan terbitnya surat keputusan pemberhentian, sesuai jenjang hierarki dalam Pasal 37 ayat (3) UU Pemilu. Putusan DKPP itu hanya menciptakan hubungan hukum DKPP dengan badan/pejabat TUN yang diberikan kewajiban untuk melaksanakan putusan itu.
Soal ternyata KTUN pemberhentian itu menjadi objek gugatan di PTUN, bukan urusan DKPP lagi. Itu sudah menjadi sengketa administrasi biasa yang mendudukan KTUN Pemberhentian sebagai KTUN objek sengketa. Hukum acaranya menggunakan UU Peratun, bukan UU Pemilu. Hal mana dalam pertimbangan hakim TUN halaman 234 (Tentang Pertimbangan Hukum) putusan Nomor:82/G/2020/PTUN-JKT, bahwa terdapat hubungan hukum antara putusan DKPP dengan KTUN objek sengketa, yang menjadi alasan PTUN memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut.
ADVERTISEMENT
Oleh: Wiwin Suwandi (Advokat, Pegiat Tata Negara dan Anti Korupsi)