Konten dari Pengguna

Simbolik dan Kekerasan di Sekolah

Wiwit Putra Bangsa
Bekerja sebagai ASN di Bapas Purwokerto sebagai Pembimbing Kemasyarakatan. Menulis Buku Orang-orang Tersesat (Aglitera, 2021). Cerpennya terpublikasikan di beberapa media. Puisi Liana menjadi juara satu kompetisi online tingkat nasional (2023)
11 Oktober 2024 19:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wiwit Putra Bangsa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mungkin kita pernah ketika melihat atau mendengar di sekolah terjadi tindak Bullying siswa terhadap siswa lain. Kok bisa yang anak setega itu, memperlakukan temannya di sekolah?
ADVERTISEMENT
Bullying merupakan fenomena sosial yang sering terjadi di berbagai lingkungan, khususnya di dunia pendidikan. Pierre Bourdieu, dengan teorinya tentang habitus, modal sosial, modal budaya, dan kekerasan simbolik, menyediakan alat analisis untuk memahami bagaimana dinamika sosial, dominasi, dan kekuasaan berperan dalam tindakan bullying. Dalam esai ini, akan dibahas bagaimana konsep-konsep kunci dari Bourdieu dapat membantu kita memahami akar penyebab bullying dan bagaimana kekuasaan simbolik berperan dalam tindak kekerasan tersebut
1. Habitus dan Bullying
Habitus adalah sekumpulan disposisi yang berkembang dari pengalaman hidup individu di lingkungan sosial tertentu. Dalam konteks bullying, habitus berperan penting karena disposisi atau kebiasaan yang terbentuk dalam lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat dapat mempengaruhi perilaku agresif atau korban yang
Foto oleh RDNE Stock project: https://www.pexels.com/id-id/foto/buku-catatan-notes-buku-tulis-buku-agenda-6936512/
cenderung menerima kekerasan. Anak-anak yang berasal dari lingkungan dengan kecenderungan kekerasan atau dominasi mungkin lebih rentan melakukan atau menjadi korban bullying karena mereka sudah terbiasa dengan praktik-praktik dominasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Di sekolah, habitus juga bisa menciptakan batas-batas sosial antara kelompok siswa, di mana perbedaan dalam modal budaya atau sosial mereka dapat menyebabkan stratifikasi sosial. Siswa yang memiliki habitus yang lebih dekat dengan norma budaya dominan mungkin lebih dihargai oleh guru dan teman-teman sebaya, sementara siswa yang berbeda dapat menjadi sasaran bullying karena dianggap "tidak sesuai" dengan norma tersebut.
2. Modal Sosial, Modal Budaya, dan Dominasi dalam Bullying
Bourdieu memperkenalkan konsep modal sosial dan modal budaya sebagai faktor penting yang membentuk interaksi sosial. Dalam konteks bullying, modal sosial—yakni jaringan hubungan sosial yang dimiliki individu—dapat menjadi faktor penting yang memperkuat kekuasaan pelaku bullying. Pelaku bullying sering kali memiliki kekuatan dalam kelompok karena mereka memiliki koneksi sosial yang lebih kuat, membuat mereka merasa lebih berkuasa dan dominan.
ADVERTISEMENT
Modal budaya juga memainkan peran penting dalam fenomena bullying. Anak-anak dengan modal budaya yang lebih tinggi—seperti kemampuan berbahasa yang baik, pengetahuan yang sesuai dengan standar sekolah, atau gaya hidup yang sesuai dengan norma dominan—seringkali berada dalam posisi yang lebih diuntungkan. Sebaliknya, siswa dengan modal budaya yang berbeda atau rendah, seperti berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih rendah, atau memiliki perbedaan budaya yang signifikan, sering kali menjadi sasaran bullying. Dominasi ini mencerminkan bagaimana sekolah bisa menjadi arena reproduksi ketidaksetaraan sosial.
3. Kekerasan Simbolik dalam Bullying
Konsep kekerasan simbolik yang dikemukakan Bourdieu juga relevan dalam memahami bullying. Kekerasan simbolik adalah cara di mana kekuasaan dan dominasi diberlakukan melalui simbol-simbol atau norma sosial yang tampaknya netral tetapi sebenarnya memaksakan nilai-nilai tertentu pada individu. Dalam bullying, kekerasan simbolik terjadi ketika norma-norma yang diakui secara sosial—seperti standar kecantikan, kepintaran, atau cara berpakaian—dipaksakan kepada individu lain yang dianggap tidak memenuhi standar tersebut.
ADVERTISEMENT
Pelaku bullying menggunakan kekerasan simbolik untuk menegaskan dominasi mereka, dengan cara mempermalukan, merendahkan, atau mengejek korban karena mereka tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Kekerasan simbolik ini sering kali tidak terlihat sebagai kekerasan secara fisik, tetapi dampaknya sama merusaknya karena membuat korban merasa rendah diri dan tidak berharga. Siswa yang berbeda dari segi budaya, ekonomi, atau penampilan seringkali menjadi sasaran kekerasan simbolik ini, yang dalam jangka panjang dapat memperkuat ketidaksetaraan sosial.
4. Reproduksi Sosial dan Bullying
Bourdieu berpendapat bahwa sistem sosial dan pendidikan cenderung mereproduksi struktur-struktur kekuasaan yang ada, dan bullying dapat dilihat sebagai bagian dari mekanisme reproduksi sosial ini. Dalam konteks sekolah, bullying bukan hanya tindakan individu, tetapi merupakan produk dari sistem sosial yang lebih luas di mana kekuasaan dan modal sosial-budaya berperan.
ADVERTISEMENT
Pelaku bullying sering kali mereproduksi bentuk-bentuk dominasi yang mereka pelajari di rumah atau dari masyarakat. Sekolah, sebagai lembaga sosial, terkadang gagal mengatasi hal ini karena cenderung memvalidasi modal budaya tertentu yang mendukung struktur kekuasaan. Akibatnya, kelompok yang memiliki modal budaya atau sosial yang lebih rendah menjadi sasaran bullying, dan dinamika kekuasaan yang tidak setara ini terus berlanjut dan diperkuat.
Pierre Bourdieu memberikan kerangka teoretis yang kaya untuk memahami fenomena bullying dalam konteks sosial yang lebih luas. Tindak bullying bukan hanya soal interaksi antarindividu, melainkan juga tentang kekuasaan, dominasi, dan modal sosial-budaya yang dimiliki oleh pelaku dan korban. Dengan memahami konsep-konsep seperti habitus, modal sosial, modal budaya, dan kekerasan simbolik, kita dapat melihat bahwa bullying adalah bagian dari dinamika reproduksi sosial yang lebih besar. Untuk mengatasi bullying, penting untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan adil, yang tidak hanya menghargai modal budaya dominan, tetapi juga merangkul keragaman dan perbedaan sosial.
ADVERTISEMENT