Apakah Aku Ateis? Agnostik?

Rafi Wijaya
Salah satu mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
21 Juli 2021 7:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rafi Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Photo: unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banyak sekali peristiwa yang berdampak besar kepadaku, semakin harinya seiring usia ini berjalan semakin banyak kerepotan dan hambatan yang ku lewati. Seluruh permasalahan yang tidak bisa ku pahami tentang diri dan dunia ini hampir tidak memiliki jawaban yang khusus.
ADVERTISEMENT
Kepenatan ini bermula saat diriku masuk dunia SMA. Saat itu ibuku meninggal beberapa hari setelah mendapat kabar baik akan penerimaan hasil seleksi masuk SMA. Histeris terburuk datang kepadaku hari itu, menyulut akar kekecewaanku “mengapa hari ini, saat ini?”. Rasa sakit terbaik yang pernah hadir di dalam hidupku, dan tepatnya di umur 15 tahun.
Seiring waktu berjalan dunia yang ku lewati ini semakin tidak baik-baik saja. Setelah kejadian kepergian ibuku, keluarga ini tidak semakin akrab. Seperti setiap kali ketika kami ada masalah kami selalu menyelesaikannya dengan amarah yang cukup besar, dan tentunya tanpa solusi yang tepat. Tentu saja aku sangat tidak nyaman dengan momen ini yang sering kali terjadi. Sehingga, seluruh kejadian itu memberi dampak yang besar padaku.
ADVERTISEMENT
Aku sangat heran saat itu dengan hidup ini, apa memang tidak ada sebuah kedamaian dalam hidup ini. Pertama kali merasakan hal ini sepintas pertanyaan muncul di kepalaku, apakah tuhan benar-benar menciptakan sebuah kedamaian? Atau memang keberadaan tuhan sendiri itu ada? Pertanyaan itu muncul tepat beberapa saat setelah aku lulus. Ku sadari memang cukup radikal dengan pemikiran seperti itu.
Setelah lulus ayahku perlu dirawat karena penyakit yang ternyata sudah terjangkit sejak lama. Komplikasi yang berdampak kepada keluarga kami, khususnya aku. Aku harus kembali mendekam di ruang tunggu seperti layaknya aku menunggu ibu saat dirawat di rumah sakit. Untuk peristiwa ayahku sendiri membuatku sedikit terhambat untuk ikut seleksi perguruan tinggi negeri, seperti kurang waktu untuk belajar, kehilangan fokus, persiapan yang tidak matang. Alhasil aku perlu untuk mengulang tahun depan, tentunya aku tidak menyalahkan ayahku akan itu. Dendam pribadi dengan tekanan yang selalu aku terima memberikan aku sedikit semangat dan aku berhasil lolos di salah satu PNJ di Depok pada 2019.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan itu merupakan perjuangan yang tidak enteng. Tentunya di keluarga kami tidak ada yang berubah, dan tekanan banyak sekali datang kepadaku. Permasalahan keluarga, keuangan, lingkungan yang tidak harmonis, membuatku semakin memikirkan apa makna sebuah hidup. Apa itu kehidupan? Tidak adakah kehidupan yang damai? Ke mana ketenangan yang selalu dijaminkan oleh keyakinanku selama ini? Mungkin pada dasarnya aku yang salah, atau keluargaku. Memang keluarga kami tidak konservatif maupun keras terhadap sebuah keyakinan kami pribadi. Hanya saja aku tidak pernah merasakan kedamaian rohani oleh keluargaku sendiri, terkecuali ibuku sayangnya saat ini ia sudah tiada.
Untuk sekarang aku mungkin dapat dibilang sedikit menyimpang untuk beberapa kalangan. Namun yang aku sadari aku tidak pernah menemukan ketenangan rohani maupun batin. Sampai suatu saat aku menemukan pemahaman Ateisme dan juga Agnostisisme. Beberapa sumber video di internet banyak yang menjelaskan bahwa ada sebuah paham di mana kita dapat melepaskan keimanan kita sebagai manusia atau menolak sebuah keyakinan kita, walaupun yang pada dasarnya itu merupakan dua hal yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Sedikit demi sedikit aku membaca, mempelajari, memahami pemahaman itu. Di sanalah aku merasa bukan diriku saja yang tidak merasa damai di dunia ini. Tanpa menyalahkan siapa pun aku memahami ada hal yang berbeda dibandingkan orang lain.
Awalnya aku pernah mencoba menceritakan rumitnya masa laluku ke beberapa temanku, dan tidak semua memahami permasalahannya mereka hanya menuangkanku sebuah solusi rohani. Tentu aku merasa tidak nyaman dengan solusi yang kudengar, bahkan aku sendiri tidak menganggap hal tersebut sebuah solusi. Bagaimana bisa aku tenang ketika permasalahan dan tekanan yang bagiku cukup keras bisa diselesaikan dengan hanya pendekatan rohani.
Semakin penasaran aku memikirkan dan mempertanyakan tentang diriku serta dunia ini. Hingga pada akhirnya aku merasa lebih tenang ketika aku perlahan melepaskan keyakinanku sehingga aku tak perlu terbebani pikiran berat lainnya. Seperti “Apakah orang-orang memaksakan dirinya menjadi baik hanya karena adanya surga? Apakah surga adalah konsep yang dibuat oleh orang yang sedang jatuh sehingga mereka penuh harapan akan ada kebaikan dan ada bayaran yang setimpal di akhir hayatnya nanti? Apakah dunia yang kita saat ini jalani memang adalah nerakanya?”
ADVERTISEMENT
Banyak lagi pertanyaan yang lahir akan keraguanku di dunia ini, hingga membuatku semakin sering mencari ketegasan dan kenyamanan batin ini dari membaca buku, menonton video di internet, bertanya, diskusi dan lainnya. Apakah aku sekarang Ateis? Atau seorang Agnostik? Apakah aku percaya dengan Tuhan? Apakah aku perlu atau harus menjalani hidup dengan meyakini sebuah konsep keberagamaan? Hingga kini aku masih meragukan jawaban atas pertanyaan itu.
----