Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kepala Daerah Sebagai Ujung Tombak Asta Cita: Sebuah Hipotesis
28 Oktober 2024 16:53 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Miren Kogoya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Salah satu dari tujuh kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 67 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah melaksanakan program strategis nasional. Dalam pelaksanaan kewajiban tersebut, sering kali kita melihat adanya ketidaksepadanan program pusat dan daerah. Kita harus jujur, bahwa debottlenecking program pusat-daerah seharusnya dimulai dari kesadaran kepala daerah untuk menerjemahkan program strategis nasional ke dalam APBD sebagai instrumen penyelenggaraan pelayanan dasar agar pelaksanaan program sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat.
Mari kita kesampingkan persoalan abstraksi dari wewenang dan hirarki dan kita ajukan sebuah hipotesis bahwa kepala daerah merupakan ujung tombak pelaksanaan Asta Cita sebagai program strategis nasional.
Hari ini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa Asta Cita sebagai guideline program stategis nasional yang dikomandani Presiden Prabowo, “suka tidak suka harus dilaksanakan.” Penekanan frasa ini hendaknya tidak dianggap sebagai ancaman tetapi mandat yang harus dijalankan sebagai bentuk patriotisme kepada bangsa dan negara.
ADVERTISEMENT
Dalam pidato kenegaraan pertama dalam Sidang Paripurna MPR RI usai dilantik sebagai Presiden RI ke-8, Presiden Prabowo mengatakan “Kita sebagai pemimpin politik, jangan kita terlalu senang melihat angka-angka statistik yang membuat kita terlalu cepat gembira, terlalu cepat puas. Padahal kita belum melihat gambaran sepenuhnya.” Kesalahan terbesar kebanyakan kepala daerah adalah menerjemahkan APBD sebagai statistik angka semata, baik dari sisi alokasi, capaian dan output program tanpa melihat gambaran seutuhnya.
Kita contohkan saja, di Provinsi Papua Tengah banyak pemerintah daerah yang melaksanakan pembangunan los pasar. Dari sisi statistik angka, penganggaran, dan amanat OTSUS memang sangat jelas dibutuhkan. Namun dalam gambaran sepenuhnya, sesungguhnya adalah suatu hal yang mubazir karena di lokasi los pasar tersebut tidak memungkinkan untuk terjadinya interaksi jual beli karena pada dasarnya tidak terdapat cukup banyak penjual dan pembeli. Dalam penanganan stunting, bukannya mengalokasikan anggaran makan bergizi gratis lebih banyak, kita menyaksikan belanja operasi lebih besar seperti perjalanan dinas dan monitoring.
ADVERTISEMENT
Keadaan di atas tentu saja sangat memprihatinkan. Jawaban terhadap keadaan ini hanya bisa didapat apabila kepala daerah mengerti kewajibannya dan mengikuti koridor dan indikator pelaksanaan pemerintahan yang baik dan transparan. Tentu saja dimulai dari proses demokrasi pilkada. Tumpuan besar kita menghadapi tantangan di atas adalah dengan menghadapi pilkada dengan sikap jujur dan transparan. Calon yang mumpuni mesti diberi ruang, terlepas dari hubungan kekeluargaan dan hubungan pribadi lainnya.
Segala hiruk pikuk kampanye pilkada mestinya membawa kita pada sebuah harapan dalam tanya, apakah pilkada dapat menjawab hipotesis di atas?