Jangan Biarkan Korban Berjuang Sendiri, Segera Sahkan RUU PKS!

Santi Kurniasari
Marathoner, ibu rumah tangga
Konten dari Pengguna
6 Mei 2021 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Santi Kurniasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto pemandangan, koleksi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Foto pemandangan, koleksi pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pegang-pegang tubuh seseorang tanpa persetujuan, sehingga yang bersangkutan marah dan protes, itu melanggar hukum nggak sih? Kalau ada kejadian seperti itu, layak dilaporkan ke pihak berwajib atau tidak? Pelakunya bisa dihukum atau tidak?
ADVERTISEMENT
Jawabannya adalah, tergantung si korban warga negara mana, dan pada saat kejadian ia sedang berada di negara mana. Karena jujur saja, tidak semua negara mengupayakan keadilan bagi korban pelecehan seksual. Negara kita, misalnya.
Sikap dan langkah-langkah yang diambil oleh korban pelecehan seksual dari negara yang berbeda itu bisa jadi bagaikan langit dan bumi. Korban yang didukung oleh landasan hukum memadai oleh negaranya, akan mencari keadilan dengan penuh percaya diri. Korban yang tidak didukung oleh landasan hukum memadai, cenderung memilih diam.
Tahun 2001 saya mengikuti sebuah kompetisi debat tingkat mahasiswa di Singapura. Namanya juga acara anak muda, selain adu argumen, banyak pula kegiatan bersenang-senangnya. Suatu malam, para peserta diajak bermain air dan busa sabun di Pulau Sentosa. Orang Asia rata-rata mengenakan baju yang relatif tertutup (untuk ukuran kolam renang) berupa celana pendek dan kaus. Sedangkan orang bule rata-rata mengenakan pakaian renang dan bikini.
ADVERTISEMENT
Di tengah hujan busa sabun dan hentakan musik disko riang, seorang mahasiswi dari Australia mengalami pelecehan seksual. Seorang pria dari sebuah negara Asia meraba-raba tubuhnya tanpa izin. Hal ini dilakukan berulang kali meski si korban sudah protes dan marah-marah. Saksi matanya banyak.
Kenapa si pelaku berani melakukan pelecehan seksual di depan begitu banyak saksi mata? Barangkali ia beranggapan bahwa perempuan yang mengenakan bikini memang mengundang untuk dilecehkan (anggapan yang cukup familier, bukan?) Barangkali di negara asalnya, perbuatan semacam itu dinilai wajar saja dan pelakunya tak tersentuh hukum. Barangkali ia lupa, saat itu ia sedang berada di negara asing yang terkenal ketat menegakkan hukum.
Pelecehan seksual tersebut kemudian dilaporkan kepada panitia, yang menanggapi dengan baik. Polisi dipanggil, dan pelaku pelecehan seksual tadi ditangkap. Keesokan harinya kami mendapat kabar bahwa si pelaku dipulangkan ke negaranya hari itu juga, dan namanya masuk ke daftar hitam. Konon ia dilarang masuk ke Singapura lagi untuk selama-lamanya.
ADVERTISEMENT
Saya hanya berpikir, andaikan saya yang mengalami pelecehan seksual seperti itu, saya tidak akan melapor. Ya, saya pernah mengalami pelecehan seksual serupa (diraba-raba tanpa izin) saat sedang naik bus. Pelaku pelecehan seksual di kendaraan umum tentu sulit dilacak dan dicari tahu identitasnya. Namun jika tahu identitas si pelaku sekalipun, saya tetap tidak akan terpikir untuk melapor. Berbeda dengan mahasiswi Australia tadi.
Padahal kalau dipikir-pikir, dari segi pendidikan, kurang lebih saya setara dengannya. Sama-sama sarjana (atau calon sarjana) strata satu. Sama-sama menganggap diri cukup kompeten untuk mengikuti kompetisi debat. Mengapa ia melapor dan saya tidak? Jawabannya adalah karena saya tidak didukung oleh landasan hukum yang memadai.
Pada tanggal 7 September 2015, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU), Azriana, Ketua Komnas Perempuan, menyampaikan bahwa setidaknya ada 15 macam kekerasan seksual yang dialami perempuan di Indonesia. Dan 13 di antaranya belum diatur dalam undang-undang. Sebagai contoh, hukum pidana Indonesia mengenai pemerkosaan terbatas pada penetrasi penis ke vagina, dan prosedur pembuktiannya pun sangat membebani korban. Jika pelaku memasukkan jari tangan atau benda asing lain ke vagina korban misalnya, hal itu tidak masuk dalam kategori pemerkosaan.
ADVERTISEMENT
Pun pelecehan seksual, yang hanya diatur dalam pasal tentang perlakuan tidak menyenangkan. Padahal, memegang bagian tubuh seseorang secara paksa tanpa persetujuan, juga bisa disebut penyerangan seksual.
Nah kan, undang-undangnya saja belum ada. Bagaimana caranya memberi tahu masyarakat, khususnya para pelaku pelecehan seksual, bahwa perbuatan mereka itu salah, dan layak dihukum? Ya nggak bisa. Tidak mengherankan jika pelecehan seksual terhadap perempuan sangat jamak terjadi, tanpa ada pelaku yang dihukum karenanya.
Jelas, untuk menegakkan keadilan dan melindungi korban pelecehan seksual, Indonesia butuh UU yang cakupannya spesifik, konkret, dan jelas. Hal itu sudah ada dalam RUU PKS. Sebagai gambaran, di dalam RUU tersebut, kekerasan seksual meliputi antara lain pelecehan, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, hingga pemerkosaan.
ADVERTISEMENT
Perempuan di Indonesia rata-rata cenderung diajarkan untuk sebisa mungkin menghindari dan mencegah terjadinya pelecehan seksual. Caranya macam-macam, bisa dengan mengenakan pakaian sesopan mungkin, tidak keluar rumah di malam hari, minta diantar jika berkegiatan di luar rumah, dan lain sebagainya.
Kesannya agak pasrah, seolah mengakui bahwa pelecehan seksual itu pasti ada, tinggal si perempuan berhasil menghindar atau tidak. Kadang saya bertanya-tanya, apa negara tidak malu ya, membiarkan warganya berusaha menghindar sendiri, tanpa ada upaya melindungi?
Terkadang, seolah-olah bahkan ada andil dari si perempuan jika ia mengalami pelecehan seksual, dan sekian persen merupakan kesalahannya sendiri. Yang pakaiannya dinilai kurang tertutup lah. Yang keluar malam sendirian lah. Padahal sering kali, meski semua langkah pencegahan sudah dilakukan, pelecehan seksual tetap terjadi. Terkadang mencegah dan menghindar itu tidak ada gunanya.
ADVERTISEMENT
Pelaku pelecehan seksual merasa bebas memuaskan hasrat mereka karena tahu tidak bakal tersentuh hukum. Kecuali untuk kasus pelecehan seksual yang amat berat seperti pemerkosaan. Itu pun korban yang harus berjuang keras melapor dan membuat visum et repertum atas biaya sendiri.
Dalam sebuah kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak yang terjadi tahun 2020 lalu, pihak korban sudah memenuhi segala syarat yang diperlukan untuk melapor. Namun pihak berwajib baru bergerak cepat setelah kasusnya diviralkan oleh seorang seleb medsos ber-follower puluhan ribu orang. Jika tak ada campur tangan si seleb medsos? Entahlah.
Kondisi ini tidak akan berubah, jika negara belum sepenuhnya hadir dan mendukung penuh, dengan cara menyediakan landasan hukum yang memadai. RUU PKS perlu segera disahkan agar landasan hukumnya jelas, korban berani melapor, dan pelaku dihukum.
Pelecehan seksual di ruang publik. Foto: Shutter Stock