Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Konten dari Pengguna
‘Last Men in Aleppo’, Film Suriah Pertama yang Mendapat Nominasi Oscar
15 Februari 2018 17:43 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari World Trivia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dari sutradara berdarah Suriah untuk tempat kelahirannya yang luluh lantak
ADVERTISEMENT
Last Men in Aleppo, film dokumenter besutan sutradara berdarah Suriah Feras Fayyad, premier di Sundance Film Festival tahun 2017 dan berhasil meraih Grand Jury Prize. Setelah kemenangan besar di ajang film bergengsi itu, film ini berhasil masuk nominasi “Documentary (Feature)” dalam Academy Award 2018.
Pusara cerita berangkat dari kehidupan organisasi sukarelawan The White Helmets, sebutan lain untuk Syria Civil Defence. Para anggotanya adalah yang paling pertama merespons panggilan darurat dari warga sipil, yang mana terjadi setiap hari tanpa jeda di tengah kecamuk perang yang diciptakan tirani Bashar Al-Assad.
Membuat film di situasi yang serba sulit bukan hal mudah. Seperti dilansir Middle East Eye, sebelum adegan pertama dibuat, Fayyad dan Steen Johannessen, co-director-nya yang berdarah Denmark, harus meyakinkan dua karakter di film bahwa tujuan film mereka bukan untuk mencari popularitas.
ADVERTISEMENT
Soal kerahasiaan identitas juga sempat menjadi ganjalan. Fayyad mengatakan beberapa kru filmnya sempat diserang oleh sekumpulan orang yang pernah menjadi korban media yang tidak menyembunyikan identitas narasumber ketika meliput Aleppo sepanjang tahun 2013 sampai 2014. Media menggunakan nama asli dan menyorot wajah mereka dengan jelas dan tanpa sensor, berujung menjadikan mereka target penyerangan pemerintah Assad.
Bagaimanapun, Fayyad tidak menyalahkan penyerang kru filmnya. Karena sudah banyak kasus serupa, pemerintah Assad menggunakan informasi yang dikumpulkan dari laporan media untuk melacak dan menyerang penduduk Aleppo yang menentang pemerintah penguasa.
Fayyad meyakinkan tokoh protagonisnya dengan argumen berikut: "Ini merupakan kewajiban untuk membagikan kisah ini kepada orang-orang di seluruh dunia. Ada yang tertarik untuk mendengarnya, yang bisa melakukan sesuatu. Kita perlu percaya pada orang tempat kita bercerita, percaya bahwa mereka akan bertindak dan percaya bahwa suatu hari film ini akan menjadi dokumen untuk menghukum penjahat perang."
Pembuatan film sempat berhenti selama berbulan-bulan ketika pemboman udara semakin parah hingga para karakter dalam film hampir kehilangan harapan. Ada juga saat ketika sinematografer dan kru lainnya menunda shooting untuk bergabung membantu sukarelawan The White Helmets.
ADVERTISEMENT
"Terkadang rudal dari pesawat atau laras peledak jatuh di sisi dekat dengan sinematografer. Terkadang kami ikut menjadi tim penyelamat karena korban luka-luka di sekitar kami, dan kami harus melupakan pekerjaan kami," kata Fayyad.
Selama satu tahun dari 2015 sampai 2016, kru film mengikuti dua sukarelawan The White Helmets, Mahmoud dan Khaled, keduanya berusia 30-an. Mendokumentasikan kehidupan sehari-hari Mahmoud dan Khaled untuk menghindari terjebak dalam cerita yang hanya berkutat pada gambaran besar konflik di Aleppo, lantas luput menangkap unsur humanis dari individu-individu yang terlibat.
The White Helmets, Nobel Prize, dan Amerika Serikat
Organisasi The White Helmets adalah pilihan populer dalam nominasi Nobel Prize 2016. Meskipun pada akhirnya, kemenangan diraih oleh presiden Kolombia untuk jasanya dalam kesepakatan damai bersejarah yang mengakhiri perang 50 tahun dengan pemberontak FARC.
ADVERTISEMENT
Selain itu, The White Helmets tidak selamat dari kritik. Terutama soal bantuan jutaan dolar yang diterima dari lembaga-lembaga milik negara Barat seperti USAID dan kantor luar negeri Inggris. Bahkan ada tuduhan bahwa mereka adalah aktor dalam "perang sipil" di Suriah, juga dituding merongrong upaya bantuan dari PBB.
Pengalaman pribadi sang sutradara
Fayyad punya pengalaman pribadi yang menggerakannya membuat film dokumenter tentang situasi di kampung halamannya, Aleppo. Sarjana lulusan di bidang art and film making ini pernah bekerja di beberapa media selepas lulus, baik itu media cetak, radio, maupun televisi.
Ia pernah dua kali ditangkap di Damaskus lantas disiksa kelompok pemerintahan Assad, yang menjadi alasan utama ia memutuskan membuat Last Men in Aleppo.
ADVERTISEMENT
Pengalamannya dipenjara untuk pertama kali dilalui selama tiga bulan, dimulai pada 30 Maret 2011. Ia ditangkap karena mengajarkan jurnalisme warga kepada penduduk dengan menggunakan ponsel mereka untuk menunjukkan kekejaman yang dilakukan oleh pasukan pemerintah.
Kali kedua dipenjara, pada 30 November 2011 selama delapan bulan. Kali ini karena ia membuat sebuah film tentang Pembantaian Hama tahun 1982.
Menjelang akhir 2012, ia memutuskan pindah ke Turki dengan alasan keamanan dan demi melanjutkan misinya untuk tetap menceritakan apa yang terjadi di negara asalnya kepada dunia.