news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mengurangi Risiko Banjir di Jakarta dengan Solusi Berbasis Alam

WRI Indonesia
Akun resmi dari WRI Indonesia | Lembaga penelitian independen yang berupaya mewujudkan gagasan besar menjadi aksi nyata demi mencapai pembangunan berkelanjutan
Konten dari Pengguna
23 Agustus 2021 9:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari WRI Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
NbS mampu menghadirkan multimanfaat dan bersifat lebih adaptif daripada infrastruktur fisik. Foto: CHUTTERSNAP/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
NbS mampu menghadirkan multimanfaat dan bersifat lebih adaptif daripada infrastruktur fisik. Foto: CHUTTERSNAP/Unsplash
ADVERTISEMENT
Berkaca pada banjir Jakarta pada awal 2021, kita dapat melihat bahwa jaringan drainase kota sudah kewalahan menampung air hujan yang turun hingga menimbulkan genangan di berbagai lokasi. Namun, secara garis besar, selain drainase ada tiga faktor utama yang kerap dianggap sebagai penyebab banjir di Jakarta:
ADVERTISEMENT
Pertama, curah hujan ekstrem. Tren curah hujan ekstrem dengan intensitas tinggi dan durasi singkat semakin sering terjadi. Curah hujan ekstrem adalah dampak nyata dari krisis iklim.
Kedua, perubahan tutupan lahan. Analisis data tutupan lahan KLHK tahun 2000 dan 2019 menunjukkan peningkatan luas hutan tanaman hingga 117.7% di kawasan hulu sungai yang mengalir menuju Jakarta, menggantikan dominasi lahan pertanian. Luas permukiman juga tumbuh pesat hingga 47.4%, menggantikan lahan pertanian dan ruang terbuka hijau di kawasan tengah dan hilir. Di Jakarta sendiri, luas ruang terbuka hijau hanya 9.8% di tahun 2019. Hal ini meningkatkan peluang meluapnya sungai dan jaringan drainase akibat besarnya air limpasan permukaan (runoff), belum lagi ancaman sedimentasi di sungai akibat laju erosi yang besar di kawasan hulu.
ADVERTISEMENT
Ketiga, penurunan permukaan tanah. Penurunan permukaan tanah Jakarta mencapai rata-rata 12 cm/tahun, dan terjadi dengan lebih ekstrem di bagian pesisir utara Jakarta dengan laju penurunan hingga 25cm/tahun. Menurut Takagi et al. (2015), hingga tahun 2050 diproyeksikan luasan banjir akibat penurunan tanah bertambah hingga 110.5 km2, setara dengan 75% luas wilayah Jakarta Utara. Beban bangunan di permukaan dan ekstraksi air tanah berlebih turut mempercepat laju penurunan tanah. Saat ini masih ada 35% warga Jakarta yang menggunakan air tanah untuk kebutuhan harian. Akibatnya, tinggi muka air tanah di Jakarta semakin dangkal dan kapasitas simpan air menjadi lebih rendah.

Solusi Berbasis Alam atau Nature-based Solutions (NbS) dalam Pengelolaan Banjir

Sampai sekarang, upaya Jakarta dalam pengendalian banjir dilakukan dengan basis infrastruktur fisik (grey infrastructure) berupa pembangunan dan perluasan waduk/situ, pompa air, polder, dan pemeliharaan kanal.
ADVERTISEMENT
Namun, efektivitas infrastruktur fisik ini akan menjadi terbatas, apalagi saat menghadapi krisis iklim, seperti kejadian bobolnya tanggul penahan banjir di New Orleans saat badai Katrina menerjang. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan lain yang lebih adaptif melalui pendekatan NbS dengan melibatkan berbagai fungsi alam seperti intersepsi air hujan melalui vegetasi, peningkatan infiltrasi air ke dalam tanah untuk meningkatkan kapasitas tampung air hujan, ataupun memperlambat laju aliran air untuk mengurangi laju erosi. Di kawasan perkotaan, pendekatan NbS mampu memberi manfaat lain seperti filtrasi polutan hingga mengurangi dampak urban heat island¹.
Selain itu, pendekatan NbS juga adaptif, karena implementasinya dapat dilakukan secara penuh melalui pendekatan restorasi alami dan infrastruktur ramah lingkungan (green infrastructure) atau implementasi hybrid dengan menggabungkan fungsi grey infrastructure eksisting dengan green infrastructure.
Solusi adaptif berupa hybrid infrastructure dapat menjadi pendekatan yang cocok diaplikasikan di Jakarta karena pendekatan ini bukan hanya dapat diterapkan pada daerah sungai, tapi juga bisa diterapkan pada daerah permukiman untuk memperluas kapasitas pengendalian runoff sehingga mencegah banjir lokal.
Pada skala terkecil, implementasi hybrid infrastructure dapat berupa pembuatan lubang resapan biopori (LRB), vegetasi di atap (green roof), dan wadah penampungan air hujan. Di skala lebih besar, Ruang Terbuka Hijau (RTH) multifungsi sebagai kolam resapan air, sistem parit bervegetasi (bio swale)², dan permeable pavement³ dapat menjadi alternatif. Manfaat lain dari bio swale dan permeable pavement yaitu mampu menyaring polutan dari air hujan sebelum masuk ke dalam drainase. Tambahan tutupan vegetasi dari green roof dan RTH juga dapat menurunkan suhu udara dan menghemat energi untuk pendingin ruangan selain juga sebagai unsur dekoratif.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Jakarta sendiri di dalam Instruksi Gubernur No.52 Tahun 2020 memang telah mulai berupaya mengadaptasi pendekatan NbS melalui beberapa rencana intervensi seperti penambahan fungsi RTH, drainase vertikal ataupun sumur resapan dengan pola kerjasama antar dinas terkait.
Berikut beberapa rekomendasi bagi kota Jakarta untuk menerapkan NbS:
ADVERTISEMENT
Jika diterapkan secara optimal, pendekatan NbS dapat menjadi alternatif yang efisien tidak hanya untuk membantu upaya pengurangan risiko banjir di Jakarta, namun juga membantu menambah keberadaan unsur penghijauan dan membuat kota menjadi lebih hidup dan nyaman.
Catatan:
Oleh: Yudhistira S. Pribadi, Retno Wihanesta, Dede Sulaeman, dan Adi Pradana
ADVERTISEMENT
Baca artikel lainnya di wri-indonesia.org.
Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di wri-indonesia.org pada 03 Agustus 2021.