Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Anak Muda dalam Jebakan Utang
7 November 2024 9:21 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Wulan Amalia Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Boneka monster Labubu menyita perhatian banyak orang. Boneka yang pertama kali dipamerkan oleh K-POP Lisa Blackpink ini membuat anak muda rela antri berjam-jam bahkan tidak sungkan merogoh kocek dalam-dalam untuk memilikinya.
ADVERTISEMENT
Gambaran ini sepintas telihat seru. Labubu, dia monster tapi imut. Boneka yang yang diproduksi secara ekslusif ini dinarasikan oleh media sosial sebagai standar yang relevan untuk menunjukkan prestise di lingkungan sosial. Memiliki Labubu berarti mengikuti tren global.
Pengaruh media sosial untuk membentuk citra suatu objek memang sangat besar. Menjadikan barang tersebut viral atau tidak, tergantung bagaimana media sosial mempublikasikannya. Mengingat, penetrasi internet pada anak muda usia 13-18 tahun mencapai angka 99,16%.
Secara ekonomi, tinginya aktivitas produksi tentu sangat menguntungkan, menjadi ladang cuan. Tetapi jika dipandang secara sosial, gaya hidup konsumerisme yang tercipta dari tren tersebut bisa jadi sangat merusak generasi muda.
Hal ini disebabkan karena keinginan untuk memiliki suatu komoditas yang sedang viral, belum tentu diiringi dengan kemampuan untuk membeli. Jadilah, anak muda yang doyan berutang, hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat.
ADVERTISEMENT
Korban Digital Natif
Data Statistik Fintech Lending Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2023 menyatakan bahwa mayoritas nasabah Pinjaman Online (pinjol) adalah anak muda. Generasi Z dan milenial ini merupakan penerima terbesar kredit pinjol, yakni 54,06% atau setara dengan Rp. 271 triliun. Sudah menjadi rahasia umum, ada yang baru berusia 19 tahun tetapi memiliki hutang hingga Rp. 200 juta di beberapa platform pinjaman online.
Generasi Z dan milenial adalah pengguna aktif dan produktif sosial media. Merekalah yang memiliki potensi digital natif, yaitu keadaan dimana mereka besar dan tumbuh di zaman teknologi digital yang merupakan bagian integral kehidupan sehari-hari.
Hanya saja, media sosial menjadi sangat mendominasi gaya hidup hingga menjadi tidak produktif. Mereka menjadi korban dari potensi teknologi yang mereka miliki. Sejumlah perilaku pragmatis yang mereka lakukan menggambarkan kondisi psikologis yang disebut Fear of Missing Out (FOMO), yaitu adanya perasaan takut ketinggalan atau kehilangan momen, tren ataupun pengalaman baru yang dilihat di media sosial.
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang menjadi objek FOMO. Biasanya untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya hiburan (leisure), bukan kebutuhan primer. Sebut saja, jadwal konser sejumlah musisi, tempat makan enak dan estetik, hingga ide OOTD (Outfit of The Day). Intinya, apapun yang menjadi trending topic di media sosial, harus diikuti dan dilakukan.
Sayangnya, pondasi keuangan yang tidak stabil menjadikan utang adalah satu-satunya jalan. Ditambah lagi, tekanan sosial kelompok sebaya berperan besar untuk menuntaskan perasaan harus “sama” dengan orang lain. Hingga muncul pula perasaan “tidak belanja berarti kiamat”.
Di sisi lain, kran utang terbuka lebar dengan adanya jasa pinjol, payLater dari aplikasi belanja online hingga judi online. Kemudahan persayaratan pinjaman, cepatnya pencairan, tawaran bunga rendah, dan jaminan legalitas di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi daya tarik utang pinjol. Hanya bermodalkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), sejumlah uang sudah bisa didapatkan dan digunakan untuk membeli barang yang sedang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Maasalah Mental, Butuh Solusi
Konsumerisme yang memunculkan perilaku doyan utang pada generasi muda sudah menyentuh masalah mental. Tekanan lingkungan sosial yang tidak dapat diimbangi bisa saja memuculkan perilaku agresif hingga tindakan bunuh diri.
Sebagaimana diketahui bahwa kelompok sebaya memiliki pengaruh besar pada perilaku seseorang. Jika tidak sama dengan kelompok sebayanya, perasaan rendah diri bisa muncul. Mungkin saja bisa diatasi dengan utang, tapi akan menjadi masalah jika terjadi gagal bayar. Justru masalah semakin besar.
Rasa malu karena utang, tidak mampu lagi mengikuti tren, bisa memicu Tindakan menyakiti tubuh. Karena itu, perilaku dan gaya hidup tidak sehat harus segera dieliminasi dari kehidupan generasi muda saat ini.
Pembentukan karakter sesuai nilai-nilai agama merupakan kunci. Tidak perlu merasa malu jika belum bisa memiliki sesuatu. Sebab, hal itu termasuk qadha (ketetapan) Yang Kuasa. Sesuatu yang belum bisa kita miliki, berarti memang bukan rezeki kita.
ADVERTISEMENT
Menentukan skala prioritas terhadap kebutuhan juga menjadi hal krusial. Membedakan mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang sekedar keinginan perlu terus diasah. Untuk memudahkan, perlu terus diingat bahwa suatu hal yang bisa mendekatkan pada Allah dan bernilai ibadah, adalah prioritas,
Kapitalisme materialistik adalah jebakan. Karena sifatnya sistemik, pertahanan individu untuk memfilter pengaruh buruknya suatu saat bisa rapuh. Sebab, lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan individu. Oleh karena itu, sangat penting bagi negara untuk meninjau kembali kebolehan pinjol dan sejenisnya.
Regulasi pinjol, payLter ataupun judi online seharusnya dibuat untuk meniadakan fasilitas tersebut. Bukan malah mengatur pelaksanaannya. Karena keberadaan sejumlah aplikasi tersebut justru membuka peluang rusaknya generasi.
Larangan berjudi dan semacamnya sudah dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an Surah Al Maidah: 90. “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
ADVERTISEMENT
Harus disadari bahwa posisi generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial sangat strategis bagi bangsa ini. Mereka adalah aset, agen perubahan. Banyaknya waktu luang, dorongan yang kuat untuk memiliki sesuatu dan teknologi digital yang semakin canggih seharusnya menjadi fasilitas untuk mengakselerasi diri menjadi generasi berkualitas.