news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Budaya Sunatan di Daerahku

Wuryanti Sri
Ibu rumah tangga dan pemerhati pendidikan yang gemar menulis
Konten dari Pengguna
18 Januari 2022 12:36 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wuryanti Sri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sunatan, sumber : dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sunatan, sumber : dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
Di siang yang cukup terik setelah beberapa hari diguyur hujan tanpa henti, terdengar irama rebana semakin lama semakin keras. Kucoba untuk keluar rumah mencari sumber suara. Benar, di jalan depan rumah sudah ada barisan anak-anak dan beberapa bapak dibelakang sambil menabuh terbang (rebana). Mereka mengarak seorang bocah yang kebetulan hari itu akan di khitan.
ADVERTISEMENT
Sambil menunggang kuda yang sudah dirias dengan berbagai aksesoris, bocah itu pun dirias dengan memakai baju kebanggaan dan kuda yang ditunggangi berjalan pelan sementara si bocah tersenyum bahagia. Ke mana bocah ini diarak ramai-ramai? Ke rumah Kepala Desa untuk minta doa restu agar acara sunatannya diberi keselamatan, kelancaran dan sukses.
Di sini saya tidak akan membahas tentang sunatan atau khitanan secara mendalam. Biarlah para pakar yang akan mengupasnya secara tuntas. Apa itu khitan, kapan harus dikhitan dan mengapa harus dikhitan. Sedikit yang saya tahu bahwa khitan adalah perintah agama. Sebagian ulama mengatakan wajib dan sebagian lain menganggap sunnah.
Meskipun bagi umat muslim khitan adalah wajib namun tidak sedikit pemeluk selain Islam juga melakukan khitan. Ini semata-mata demi kesehatan kata mereka. Kemajuan teknologi telah membuktikan bahwa khitan yang dalam bayangan sebagian orang terasa sakit dan menyiksa, bisa diantisipasi dengan cara-cara modern dan canggih sehingga yang dikhitan tidak merasakan sakit.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan yang sering terjadi di daerahku, anak-anak yang sudah "berani" dikhitan biasanya akan minta ke orang tua. Bisa karena malu lantaran teman sepermainan sudah khitan semua atau murni keinginan sendiri. Berani dalam hal ini adalah sudah siap. Siap dengan rasa sakit dan siap dari masa kanak-kanak menuju remaja yang biasanya sudah siap di usia 7 hingga 12 tahun.
Acara sunatan atau khitan di masing-masing daerah tidak sama. Ada yang langsung ke dokter terus selesai. Ada yang sampai menggelar hajatan dan pesta. Yang terakhir ini biasanya di kampung. Seperti yang saya lihat tempo hari. Dengan mengendarai kuda, diarak anak-anak dan orang dewasa sambil menabuh rebana, suasana menjadi sedikit mewah.
Dikatakan sedikit mewah karena tidak setiap anak yang akan dikhitan punya kesempatan seperti itu. Ada rasa bangga dan bahagia bagi si anak dan ini terbukti mampu menyemangatinya untuk lebih berani menghadapi proses khitanan. Seakan terbaca dari raut mukanya bahwa "ini lho aku sudah berani khitan".
ADVERTISEMENT
Menunggang kuda diiringi tabuhan rebana sebenarnya sudah ada sejak lama. Tapi di dua tahun terakhir sama sekali tidak ada karena hadirnya Corona. Desember lalu sudah mulai ada lagi dengan pengiring seadanya dan tidak mengurangi keseruan bagi anak yang dikhitan maupun teman-temannya. Semua bergembira.
Bagi warga lain daerah, kebiasaan ini mungkin tidak ada apa-apanya. Namun bagi warga kami hal itu merupakan salah satu kearifan lokal yang mengandung keunikan sekaligus ajang pendidikan secara tidak langsung. Misalnya, ajaran untuk selalu hormat dan minta doa restu kepada yang lebih tua dengan segala kerendahan hati.
Ada satu lagi yaitu unsur mau berbagi bahagia dengan teman-teman sebaya dalam menikmati arak-arakan yang jarang mereka temui. Karena seusai mengarak teman yang sowan ke Kepala Desa, semua pengiring dijamu makan-makan layaknya pesta dan yang jelas berbuntut bahagia di hati mereka.
ADVERTISEMENT