Geliat Pedagang Kecil di Objek Wisata Alam Pantai Gua Manik dan Benteng Portugis

Wuryanti Sri
Ibu rumah tangga dan pemerhati pendidikan yang gemar menulis
Konten dari Pengguna
15 September 2021 20:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wuryanti Sri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pantai Gua Manik, Sumber : Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Pantai Gua Manik, Sumber : Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Matahari baru saja menampakkan diri ketika aku tiba di lokasi Pantai Gua Manik. Hanya ada sebuah kios minuman yang buka sepagi itu dan kios-kios yang lain belum ada tanda-tanda dibuka. Sepanjang mata memandang, pantainya sepi nyaris tak ada pengunjung selain aku dan putraku yang sengaja berangkat masih pagi demi mendapatkan momen cantik matahari terbit.
ADVERTISEMENT
Sejak dibuka kembali objek wisata alam di daerah Jepara usai PPKM, belum tampak animo pengunjung yang biasanya membeludak tiap akhir pekan. Kami berdua masih di lokasi hingga matahari meninggi dan berlanjut singgah di objek wisata sebelahnya yaitu Benteng Portugis.
Sudah banyak literatur yang menceritakan tentang objek wisata Benteng Portugis ini. Ada yang menyorot dari sisi sejarahnya, dari fakta dan mitosnya maupun dari perkembangannya sebagai salah satu objek wisata alam daerah. Secara kebetulan kedua objek wisata di atas berada di daerah sekitarku dalam kecamatan yang sama, berada sekitar 50 km dari pusat Kota Jepara.
Dalam tulisan ini saya tidak akan banyak menyinggung tentang keduanya, bagaimana cantiknya dan bagaimana menariknya. Tapi izinkan saya sedikit menyoroti pada pelaku-pelaku ekonomi mikro yang berada dalam area kedua objek wisata tersebut. Yaitu para pedagang aneka minuman ringan dari yang siap minum maupun yang harus melalui proses seduh lebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya minuman yang dijual tapi aneka jajan, cemilan, nasi dan lauk pauknya, gorengan juga tersedia di area wisata ini.
"Pisang gorengnya habis, Mbak?" Spontan kutanyakan pada mbak penjual ketika kulihat piring tempat pisang goreng kosong, hanya tinggal sejumput remah-remah tepung sisa.
"Tunggu sebentar nggih, Bu. Ibu mau pesan berapa tinggal nggoreng kok?" Mbak penjual (Mbak Tun namanya) menjawab sambil tersenyum ramah. Parasnya lumayan manis, tapi tampak gurat-gurat letih di wajahnya. Bisa jadi letih karena terlalu sibuk melayani pembeli atau letih karena tidak ada yang membantu waktu jualan.
Kios kecil di Pantai Gua Manik, Sumber : Dokumen pribadi
Di kios kecil itu, kulihat beberapa jenis kopi sasetan yang ditata rapi bergantungan di sisi kanan agak jauh dari piring pisang goreng berada. Juga ada beberapa kemasan minuman ringan yang bisa diminum seketika dan bermacam sasetan minuman lainnya.
ADVERTISEMENT
Tangan terampil Mbak Tun dengan cepat telah mengupas sejumlah pisang siap goreng. Dia sendirian, tapi kalau hari libur dibantu putrinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 5. Suami masih di perantauan belum bisa pulang karena terjebak PPKM. Andai pulang pun, bekal yang harus dibawa belum seberapa.
Bincang-bincang dengan Mbak Tun mengingatkanku akan keberadaan mbak-mbak penjual lain yang berada di lokasi objek wisata Benteng Portugis dan Pantai Gua Manik. PPKM yang diharapkan segera usai terpaksa harus dilewati hingga berlevel-level.
Ketika PSBB beberapa saat lalu diberlakukan, sesungguhnya telah membuat para pedagang kecil ini sangat terpukul. Bagaimana tidak? pintu masuk lokasi ditutup sedangkan yang berjualan ada di dalam lokasi, siapa yang beli? Sepi, adalah jawaban halus dari mereka, orang-orang yang sehari-hari mengais rejeki di kedua objek wisata alam tersebut.
ADVERTISEMENT
Hampir dua tahun objek wisata alam di seluruh Indonesia bagai mati suri. Pada awalnya ditutup sementara lalu benar-benar ditutup. Uji coba buka sebentar dengan sederet aturan kemudian tutup lagi karena grafik efek pandemi kembali meroket. Terakhir buka lagi dengan sejumlah syarat dan lahirlah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).
Objek wisata alam Benteng Portugis dan Pantai Gua Manik termasuk yang mengalami mati suri. Hal ini sangat memukul telak orang-orang yang selama ini berkecimpung dan mencari nafkah di situ. Dampak pandemi benar-benar merata di semua lapisan masyarakat. Para karyawan objek wisata, para pedagang kecil dan para penjual jasa lainnya langsung terkena imbasnya.
Tak terasa beberapa biji pisang goreng telah tandas. Mbak Tun tampak bersemangat melayani kami berdua. Mendengar cerita tentang putri sulungnya yang terpaksa tidak sekolah, membuatku terenyuh. Bahkan hingga dibukanya kembali objek wisata tempat ia mencari sesuap nasi, putrinya belum memberi kabar.
ADVERTISEMENT
Putri Mbak Tun yang baru kelas sebelas di SMK jurusan Tata Busana, memilih berhenti sekolah. Dia melamar kerja di sebuah perusahaan konveksi seragam sekolah bersama seorang temannya. Dengan penuh percaya diri, dia yakinkan ibunya bahwa dia akan bekerja dengan sungguh-sungguh.
Jika ternyata tak diterima di bagian menjahit, karena sekolahnya belum lulus, dia bersedia bekerja apa saja yang dia mampu. Misalnya, memasang kancing, menyetrika baju-baju yang sudah jadi atau apa saja yang ada hubungannya dengan produk pakaian.
Sepasang mata Mbak Tun berkaca-kaca ketika bercerita. Sambil tetap tersenyum, dia optimis objek wisata alam akan kembali berjaya. Dia dan teman-temannya sesama pedagang percaya badai pasti berlalu. Meskipun pelan, geliat mereka dalam memulihkan ekonomi keluarga yang sempat merana, diyakini akan membuahkan hasil yang menggembirakan.
ADVERTISEMENT