Jembul dan Sedekah Bumi, Kearifan Lokal di Daerah Jepara

Wuryanti Sri
Ibu rumah tangga dan pemerhati pendidikan yang gemar menulis
Konten dari Pengguna
30 Juli 2021 15:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wuryanti Sri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jembul sebelum pandemi Covid-19 (Sumber : Foto koleksi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Jembul sebelum pandemi Covid-19 (Sumber : Foto koleksi pribadi)
ADVERTISEMENT
Pagi itu, alunan beberapa Gending Jawa sudah mulai terdengar dari rumahku yang kebetulan hanya berjarak tiga rumah dari rumah Pak Kepala Desa atau Pak Petinggi. Gending Jawa tersebut mengingat aku pada masa kanak-kanakku dulu yang setahun sekali dibela-belain memakai baju baru karena ada perayaan di desaku. Sedekah Bumi namanya.
ADVERTISEMENT
Sebelum pandemi melanda negeri, Sedekah Bumi di daerahku, tepatnya di desa Tulakan Donorojo Jepara, selalu dirayakan dengan sangat meriah. Meski tidak setiap desa yang ada di wilayah Jepara merayakan, namun sebagian besar masyarakat masih setia nguri-uri budaya peninggalan leluhur yang satu ini. Bahkan banyak masyarakat dari luar daerah yang menyatakan bahwa Sedekah Bumi di desaku sangat unik. Saking uniknya ketika Sedekah Bumi berlangsung selalu diliput beberapa televisi swasta terkenal.
Sedekah Bumi adalah wujud rasa syukur para penduduk desa, dari Kepala Desa (Petinggi) beserta seluruh warganya, atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan, kesejahteraan, kesehatan, kenyamanan dan lain sebagainya. Sedekah Bumi dilaksanakan setahun sekali setiap bulan Jawa kesebelas yaitu bulan Apit atau Dzulka'idah bertepatan dengan hari Senin Pahing.
ADVERTISEMENT
Mengapa dikatakan unik? Ya, khusus di desaku, upacara Sedekah Bumi tak akan lengkap bila tidak ada jembul. Yaitu semacam gunungan yang sering kita lihat di acara Mauludan di Solo. Jembul di sini bukan gunungan yang terbuat dari sayur mayur dan hasil bumi yang disusun. Tapi dibuat dari sejumlah bilah bambu yang sudah dibentuk sedemikian rupa, menjadi batang-batang kecil penuh rumbai-rumbai dan di beberapa pucuk rumbai dihias dengan bermacam warna kain perca. Bambu-bambu tersebut disusun hingga menyerupai gunungan dan di puncak gunungan bertengger sebuah golek (boneka) kayu.
Jembul semacam ini hanya ada di desaku. Belum diketahui secara pasti kapan Sedekah Bumi ini mulai dilaksanakan. Konon, istilah jembul ini muncul, masih ada hubungannya dengan kisah Nyai Ratu Kalinyamat yang pada saat itu terluka hatinya atas terbunuhnya sang suami, Sultan Hadirin oleh Arya Penangsang.
ADVERTISEMENT
Dengan terbunuhnya suami tercinta, hancurlah hati sang Ratu. Untuk meredam gemuruh di dada sang Ratu atas tragedi itu, maka dia bertapa di desa Tulakan dan bersumpah, "Ora pati-pati wudhar tapaningsun, yen durung keramas getihe lan kesed jambule Arya Penangsang," yang artinya, tidak akan saya akhiri pertapaan saya sebelum saya mencuci rambut dan mencuci kaki saya dengan darah dan jambulnya Arya Penangsang. Dari kata jambul inilah bagi lidah orang Jawa kuno akhirnya berubah menjadi jembul.
Keunikan lain dari Sedekah Bumi adalah adanya penyembelihan hewan kerbau di rumah Kepala Desa yang akan dinikmati oleh seluruh warga masyarakat. Di hari itu hampir setiap warga membuat panganan tradisional yaitu gemblong dan tape.
Gemblong atau jadah atau di tempat lain di sebut uli adalah panganan yang terbuat dari ketan dan kelapa parut. Tape juga demikian, terbuat dari ketan. Yang membedakan dengan daerah lain hanyalah cara makannya. Kalau di tempat lain gemblong dan tape dimakan bersamaan, tapi di tempatku cara makannya terpisah.
ADVERTISEMENT
Mengapa harus gemblong dan tape yang terbuat dari ketan? Ini mengandung filosofi bahwa kita harus selalu rukun dan damai, menghadapi segala kemungkinan secara bersama-sama, ada ikatan erat antar warga sebagaimana rekatnya ketan. Jembul, gemblong dan tape merupakan ciri khas panganan yang ada saat Sedekah Bumi, selain daging kerbau yang bisa dimakan di rumah Pak Petinggi.
Dalam upacara Sedekah Bumi, pada malam sebelumnya diadakan selamatan dan kenduri yang dilanjutkan dengan pengajian. Puncak acara pada pagi harinya yang dimulai pukul delapan pagi dengan diawali datangnya jembul dari dukuh Krajan, yakni dukuh tempat di mana Kepala Desa tinggal. Kemudian disusul jembul-jembul dari dukuh lain dengan cara dipikul dan diikuti aparat desa yang berbaris rapi di belakang jembul.
ADVERTISEMENT
Selain jembul, dalam iring-iringan itu ada beberapa gunungan kecil yang berisi aneka panganan tradisional yang juga dipikul. Dengan diiringi alunan Gamelan Gending Jawa, acara Sedekah Bumi, ternyata mampu menambah suasana makin menarik. Setelah semua jembul hadir, dimulailah upacara adat yang dipimpinnya Pak Petinggi dengan pidato singkat dan tidak ketinggalan dibacakan pula sejarah tentang jembul.
Sebelum upacara ditutup oleh Pak Petinggi, ada pagelaran hiburan bagi masyarakat berupa Tayub, diambil dari kata ditata dan guyub yang artinya ditata agar selalu rukun. Tayub adalah suatu tarian yang dibawakan oleh beberapa wanita dan pria sambil memainkan sampur dengan diiringi gamelan dan tembang.
Dari serangkaian upacara adat yang saya lihat selama beberapa tahun, akhirnya saya tahu dan yakin bahwa, bila acara seremonial kearifan lokal semacam ini dikemas dengan lebih baik lagi, akan menghadirkan daya pikat yang luar biasa dan mampu menarik para wisatawan.
Jembul selama pandemi Covid-19 (Sumber : Foto koleksi pribadi)
Sangat disayangkan, Sedekah Bumi yang ditunggu-tunggu warga masyarakat pada tahun ini, tidak seindah dan semeriah dua tahun lalu. Meski begitu, kekhidmatannya masih bisa kita peroleh walau prokes tetap dijalankan.
ADVERTISEMENT
Tahun ini merupakan tahun kedua Sedekah Bumi di era pandemi yang berlangsung secara sederhana, singkat, ketat namun tidak mengurangi nilai-nilai sakral di dalamnya. Yang semula jembul berukuran besar dengan pemikul delapan orang, kini diperkecil yang hanya membutuhkan tiga atau empat pemikulnya dan tidak ada barisan warga yang menyertai.
Sebagai masyarakat yang memiliki rasa cinta akan seni budaya daerahnya, jujur saya sangat prihatin. Pandemi saat ini telah mengubah banyak hal. Di lubuk hati yang terdalam masih ada harapan, kelak Sedekah Bumi di desaku akan berlangsung secara meriah lagi seperti tahun-tahun yang lalu. Dengan keunikan jembulnya, gemblong dan tapenya yang telah menciptakan kristal-kristal rindu di hati setiap warga. Aku percaya, banyak yang merindukan saat-saat Sedekah Bumi sebagaimana sebelum pandemi.
ADVERTISEMENT